Satu Islam Untuk Semua

Thursday, 11 May 2023

7 Habib dengan Peran dan Jasa Besar untuk Kemerdekaan Indonesia


islamindonesia.id – Sejumlah habib memiliki peran dalam kemerdekaan Republik Indonesia. Mereka, dengan ilmu agama yang dimiliki, mengobarkan semangat perjuangan membela Tanah Air serta terlibat langsung dalam pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), habib berarti yang dicintai atau kekasih. Dalam definisi lain yang umum diketahui, habib adalah gelar kehormatan yang disematkan kepada para keturunan Nabi Muhammad s.a.w yang tinggal di daerah lembah Hadhramaut, Yaman; Asia Tengah; dan Pesisir Swahilim, Afrika Timur. Habib juga memiliki makna yang sama dengan Sayyid.

Para habib juga banyak yang tinggal di Indonesia sejak dulu. Mereka yang awalnya datang untuk berdagang sambil menyebarkan ajaran agama Islam, kemudian menetap. Para habib itu mendirikan majelis-majelis ilmu dan aktif dalam pergerakan atau berjuang melawan penjajah Belanda.

Berikut ini 7 habib yang memiliki peran dalam kemerdekaan RI:

1. Habib Ali Kwitang

Habib Ali Kwitang memiliki nama lengkap Habib Ali bin Abdurrahman Alhabsyi. Habib Ali lahir di Kwitang, Batavia, 20 April 1870 dari pasangan Abdurrahman bin Abdullah Alhabsyi dan Salmah. Ayahnya adalah seorang ulama dan dai keturunan Arab Sayyid, sedangkan ibunya merupakan putri ulama ulama Betawi dari Kampung Melayu, Jatinegara, Jakarta Timur.

Pada usia 11 tahun, Habib Ali yang ditinggal wafat sang Ayahnya saat masih kecil, kemudian dikirim ke Hadramaut untuk belajar agama. Ia langsung dibimbing ulama-ulama besar saat itu, seperti Shohibul Maulid Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi, Habib Hasan bin Ahmad al-‘Aydrus, dan Syaikh Hasan bin ‘Awadh.

Dari Yaman, Habib Ali memperdalam lagi ilmunya di Makkah dan Madinah, Arab Saudi. Ia berguru kepada Habib Muhammad bin Husain al-Habsyi (Mufti Makkah), Sayyid Abu Bakar al-Bakri Syatha ad-Dimyati, Syaikh Muhammad Said Babsail, dan Syaikh ‘Umar Hamdan.

Setelah kembali ke Tanah Air, Habib Ali membangun Masjid Al-Riyadh dan madrasah Unwanul Falah di Kwitang. Ia juga mendirikan majelis taklim yang kemudian dikenal dengan Majelis Taklim Kwitang. Dari situ, Habib Ali juga disebut sebagai pelopor majelis taklim di Indonesia.

Habib Ali yang juga turut mengobarkan semangat antipenjajahan kemudian dimintai pendapat oleh Soekarno terkait hari dan waktu yang tepat untuk membacakan Proklamasi Kemerdekaan RI. Setelah merdeka, Habib Ali juga ikut mendorong berdirinya partai politik berazaskan Islam pertama di Indonesia yakni Partai Syarikat Islam. Habib Ali wafat di Jakarta pada 10 Oktober 1968.

2. Habib Idrus bin Salim Al-Jufri

Ulama yang dikenal dengan Sayyid Idrus bin Salim Al-Jufri atau Guru Tua ini lahir di Hadramaut, 15 Maret 1892. Dia merupakan putra keempat dari enam bersaudara pasangan Habib Salim bin Alwi dan Syarifah Nur Al-Jufri.

Habib Idrus merupakan tokoh pejuang di Provinsi Sulawesi Tengah di bidang pendidikan agama Islam. Ia mendirikan lembaga pendidikan Alkhairaat di Palu, Sulawesi Tengah.

Dalam buku Perguruan Islam Alkhairaat dari Masa ke Masa yang disusun Pengurus Besar Alkhairaat, Habib Idrus datang ke Indonesia pada umur 17 tahun bersama ayahnya. Tujuannya untuk mengunjungi sanak saudara yang berada di Pulau Jawa dan Sulawesi.

Kunjungan keduanya ke Indonesia pada 1922 erat kaitan dengan sikap dan perlawanan terjadap imperialis Inggirs di Hadramaut. Sejak saat itu dia menetap dan berkiprah untuk umat Islam di Indonesia.

Lembaga pendidikan Alkhairat yang didirikan, selain sebagai media dakwah Islam, uga menjadi pusat doktrinasi nilai-nilai nasionalisme. Habib Idrus wafat di Palu pada 22 Desember 1969.

3. Al Habib Salim bin Jindan

Habib Salim bin Jindan lahir di Surabaya, 7 September 1906 dari pasangan Habib Ahmad bin Al Husain dan Syarrifah Muznah binti Ali. Lahir dari keluarga ulama dan keturunan Nabi, Habib Salim sudah mendapatkan pelajaran agama sejak kecil.

Ia menimba ilmu dari sekitar 400 ulama, baik langsung maupun surat-menyurat. Habib Salim juga kerap bepergian ke pelosok untuk menimba ilmu atau berdakwah.

Selain mengajarkan ilmu kepada masyarakat, Habib Salim juga merupakan tokoh perjuangan yang berpengaruh bersam Habib Ali Alhabsyi dan Habib Ali Alathas Bungur. Ia kerap mengeluarkan kritikan serta fatwa tegas tentang antipenjajahan. Akibat fatwa-fatwanya, Habib Salim pernah ditangkap di masa penjajahan Belanda maupun Jepang. Habib Salim wafat di Jakarta, 1 Juni 1969.

4. Al Habib Syeikh Al Athas

Habib Syeikh Al Athas merupakan putra Habib Salim bin Umar bin Syekh Al-Athas yang lahir di Hadramaut, Yaman pada 1891. Saat usia 7 tahun, ia berguru kepada Habib Abdullah bin Alwi Al Athas yangmerupajan ulama kelahiran Cirebon, Jawa Barat.

Habib Syeikh belajar sepanjang siang dan malam, kecuali di hari Jumat, di Masjid Ba ‘Alawi yang didirikan oleh Habib Abdullah. Bahkan ia tinggal di masjid tersebut untuk mendapatkan bimbingan langsung dalam berbagai hal, terutama terkait kemuliaan pribadi. Pada usian 12 tahun, Habib Syeikh telah menjadi seorang tahfiz Alquran.

Di usia 27 tahun, Habib Syekh berkunjung ke Indonesia, tepatnya Tegal, Jawa Tengah. Ia kemudian beliau menjalin silaturrahmi dengan para ulama, sesepuh, dan pembesar setempat, serta tokoh Alawiyyin yang ketika itu sudah banyak bermukim di Indonesia.

Dari silaturahmi yang dijalin itu, Habib Syeikh menjadi mengetahui situasi di Indonesia yang sedang dijajah Belanda. Ia pun akhirnya ikut dalam berjuang melalui jalur dakwah sambil berniaga. Habib Syekh berusaha mendorong dan menggalang kebersamaan dan kerukunan di antara kaum muslimin dalam bingkai roh kemanusiaan. Habib Syeikh Al Athas wafat di Jawa Barat, 1 Juli 1978.

5. Al Habib Husein Muthahar

Nama lengkapnya Sayyid Muhammad Husein bin Salim bin Ahmad bin Salin bin Ahmad Al-Muthahar. Habib kelahiran Semarang, 5 Agustus 1916 ini merupakan seorang komponis musik Indonesia. Lagu ciptaannya yang masyhur adalah Hymne Syukur dan mars Hari Merdeka. Lagu ciptaannya, Dirgahayu Indonesiaku menjadi lagu resmi HUT ke-50 Kemerdekaan RI.

Habib Husein Muthahar lahir dari keluarga Arab-Indonesia yang mapan dan termasuk kelompok Sayyid. Ia menamatkan pendidikan di MULO B pada 1934 dan AMS A-1 pada 1938. Ia sempat melanjutkan pendidikan tinggi di Universitas Gadjah Mada (UGM) mengambil Jurusan Hukum pada 1946-1947. Saat itu ia telah bekerja sebagai Sekretaris Panglima Angkatan Laut RI di Yogyakarta.

Habib Husein Muthahar menjadi pegawai tinggi Sekretariat Negara di Yogyakarta pada 1947. Setelah itu, jabatannya loncat-loncat antardepartemen. Puncaknya, habib yang menguasai enma bahasa ini ditunjuk menjadi Duta Besar RI untuk Vatikan pada 1967-1973.

Selain menjadi abdi negara, Habib Husein juga aktif dalam kegiatan kepanduan. Ia menjadi tokoh utama dalam peleburan semua gerakan kepanduan menjadi Gerakan Pramuka. Ia pun menciptakan sejumlah lagu kepanduan, antara lain Gembira, Tepuk Tangan Silang-silang, Mari Tepuk, Slamatlah, Jangan Putus Asa, Saat Berpisah, dan Hymne Pramuka.

Pada HUT ke-1 Kemerdekaan RI, Habib Husein Muthahar mendapatkan tugas dari Presiden Soekarno untuk menyusun upacara pengibaran bendera Merah Putih, 17 Agustus 1946. Ia kemudian memilih lima pemuda dari berbagai daerah yang berdomisili di Yogyakarta sebagai pengibar bendera. Menurutnya, pengibar bendera adalah anak-anak muda yang mewakili daerah-daerah di Indonesia.

Di era Presiden Soeharto, Habib Husein Muthahar yang duduk sebagai Direktur Jenderal Urusan Pemuda dan Pramuka Depdikbud, juga diminta menyusun tata cara pengibaran Bendera Pusaka. Ia kemudian membagi satu pasukan pengibar bendara menjadi tiga kelompok. Kelompok 17 sebagai pengiring atau pemandu; kelompok 8 sebagai kelompok inti pembawa bendera; kelompok 45 sebagai pengawal. Pembagian menjadi tiga kelompok tersebut merupakan simbol dari tanggal Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia.

Atas pengabdiannya kepada negara, Habib Husein Muthahar meraih penghargaan Bintang Gerilya dan Bintang Mahaputra. Ia wafat di Jakarta pada 9 Juni 2004.

6. Al Habib Syarif Sultan Abdul Hamid II

Syarif Abdul Hamid Al-Qadri atau dikenal dengan Sultan Hamid II lahir di Pontianak, Kalimatan Barat pada 12 Juli 1913 dari pasangan Syarif Muhammad Al-Qadri dan Syecha Jamilah Syarwani. Dia merupakan perancang Lambang Negara Indonesia, Garuda Pancasila.

Sultan Hamid II menempuh pendidikan sekolah dasar atau Europeesche Lagere School (ELS) di beberapa kota, yakni Sukabumi, Pontianak, Yogyakarta, dan Bandung. Ia kemudian meneruskan pendidikan sekolah menengah umum atau Hoogere Burgerschool (HBS) di Bandung selama setahun. Lalu melanjutkan Technische Hoogeschool (THS) Bandung tapi tidak tamat.

Sultan Hamid II lalu menamatkan belajar di Koninklijke Militaire Academie (KMA) di Breda, Belanda. Ia meraih pangkat letnan pada kesatuan tentara Hindia Belanda. Setelah lulus pada 1937, ia dilantik sebagai perwira KNIL berpangkat Letnan Dua.

Pada 17 Desember 1949, Sultan Hamid II dipilih Presiden Soekarno masuk dalam Kabinet Republik Indonesia Serikat (RIS) tetapi tanpa adanya portofolio atau Menteri Negara Zonder Portofolio. Ia kemudian ditugaskan merencanakan, merancang, dan merumuskan gambar lambang negara.

Pada 10 Januari 1950 dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinator Sultan Hamid II. Sebagai ketua adalah Muhammad Yamin, dan Anggota Ki Hajar Dewantoro, MA Pellaupessy, Mohammad Natsir, dan RM Ngabehi Poerbatjaraka. Panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah.

Dalam prosesnya, muncul dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M Yamin. Namun pemerintah dan DPR kemudian memilih rancangan Sultan Hamid II. Rancangan itu kemudian disempurnakan oleh Sultan Hamid II, Soekarno, dan Mohammad Hatta, dengan mengganti pita yang dicengkeram Garuda. Dari semula pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”.

Rancangan Lambang Negara juga kembali disempurnakan dengan mempertimbangan masukan-masukan dari banyak pihak, sehingga tercipta bentuk rajawali yang menjadi Garuda Pancasila dan disingkat Garuda Pancasila. Rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS.

Sultan Hamid II wafat pada 30 Maret 1978.

7. Al Habib Ahmad Assegaf

Habib Ahmad bin Abdullah Assegaf lahir di Syihr, Hadramaut pada 1879. Ia merupakan seorang ulama, sastrawan, dan pendidik terkemuka. Dia juga merupakan salah satu pendiri dan pengurus Rabithah Alawiyah, organisasi yang bertanggung jawab mencatat dan menghimpun keturunan Nabi Muhammad SAW di Indonesia.

Saat usia 4 tahun, Habib Ahmad Assegaf dibawa orang tuanya ke Kota Seiwun yang terkenal sebagai penghasil ulama besar dan shalihin. Di kota ilmu ini, ia belajar ushuluddin, fiqh, tata bahasa, sastra, dan tasawuf.

Untuk memenuhi rasa haus akan ilmu, Habib Ahmad Assegaf kemudian pergi ke Tarim yang juga dikenal sebagai pusat para ulama besar. Hampir setiap hari, ia mendatangi majlis-majlis ilmu berguru ke sejumlah ulama, seperti Sayid Abdurahman bin Muhammad al-Masyhur, Syaikh Saleh, Syaikh Salim Bawazier, Syaikh Said bin Saad bin Nabhan, Sayyid Ubaidillah bin Muhsin Assegaff, Habib Ahmad bin Hasan Alattas, dan Habib Muhammad bin Salim As-Siri.

Dari catatan sejarah, Habib Ahmad Assegaf datang ke Indonesia pada 1908 untuk mengunjungi saudaranya Sayyid Muhammad binh Abdullah bin Muhsin Assegaf di Pulau Bali. Namun ia kemudian memutuskan menetap di Indonesia.

Habib Ahmad lalu berniaga ke sejumlah daerah seperti Surabaya, Solo, Yogyakarta, Jakarta sambil berdakwah mensyiarkan Islam. Di Jakarta, ia menjadi pimpinan sekolah Jami’at Kheir. Ia kemudian membuka kelas-kelas baru dan menyusun tata tertib bagi pelajar, dan mengarang buku-buku dan lagu-lagu untuk sekolah. Buku-buku pelajaran yang ia susun terdiri dari buku-buku agama, sastra, dan akhlaq.

Habib Ahmad juga mendirikan Yayasan Arrabithah Al-Alawiyyah yang bertujuan untuk memajukan bangsa Arab Hadrami baik secara jasmani maupun rohani, kemudian untuk menguatkan tali persaudaraan antara golongan sayyid dan orang Arab Hadrami lainnya, mendidik para anak piatu, menolong janda dan orang yang tidak mampu bekerja dan juga fakir miskin. Perkumpulan ini juga bertujuan untuk memelihara keturunan Sayyid dan menyebarkan penyebaran agama Islam, bahasa Arab serta ilmu lainnya.

Melalui pergerakan Arrabithah Al-Alawiyyah pula, ia mempunyai pengaruh yang sangat kuat di dalam memberikan petunjuk dan pentingnya persatuan di kalangan umat Islam dalam menghadapi penjajahan. Semua itu dapat dilihat dalam qasidah, syair serta nyanyian yang ia karang. Habib Ahmad Assegaf wafat pada 1949.

EH/Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *