Satu Islam Untuk Semua

Tuesday, 21 June 2016

TASAWUF—Syekh Siti Jenar: Tuhan Tak Perlu Nama


IslamIndonesia.id—Syekh Siti Jenar: Tuhan Tak Perlu Nama

 

What’s in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet. Apalah arti sebuah nama? Andaikata kita sebut mawar dengan nama lain, toh darinya kan tetap tercium semerbak wangi.

Konon begitu perkataan Shakespeare yang sering dikutip banyak orang, kerap kita dengar dan boleh kita akui bahwa penulis dan filsuf itu dalam sebagian hal memang benar.

Meski tentu saja nama mawar tetap penting bagi mawar, agar ia dikenali sebagai bunga yang berbeda dengan melati. Sebagaimana nama kamboja juga penting bagi kamboja, sebab ia bukanlah anggrek, bukan pula tulip atau seruni. Maka begitulah penamaan berbeda tetap penting bagi bunga yang memang tak sama, agar kita mudah membedakannya. Tak mengapa, jika karena begitu banyaknya jenis bunga, maka banyak pula sebutan nama-namanya.

Mirip bebungaan, manusia pun demikian, masing-masing mesti bernama. Salah satu alasannya adalah karena setiap manusia yang jika berbaur di antara kerumunan manusia lain yang miliaran jumlahnya, meski beda bangsa biasanya juga beda rupa, namun tetap saja masing-masing dari mereka perlu dipanggil sesuai namanya. Yakni nama khusus yang sengaja dipilihnya untuk dirinya atau biasanya sengaja diberikan untuknya oleh kedua orangtuanya. Hal ini perlu dilakukan agar orang lain tak salah mengenalinya.

Namun berbeda dengan manusia, dengan bunga dan makhluk-makhluk lainnya, menurut Syekh Siti Jenar, sebenarnya Tuhan sendiri tak perlu nama.

Kenapa demikian? Sebab Dia Maha Esa, hanya satu adanya.

Bukankah sesuatu diberi nama dengan tujuan untuk membedakannya dengan sesuatu lainnya? Bukankah nama perlu diberikan, semata agar kita tak keliru tunjuk dan salah sebut, berhubung banyak jumlah dan beragamnya jenis sesuatu itu?

Maka untuk apa sebenarnya manusia memberikan nama bagi Tuhan yang sejatinya hanya satu adanya?

Apa perlunya nama bagi Tuhan, sehingga nama-Nya menjadi bermacam-macam sesuai dengan bahasa dan bangsa manusia yang menamai-Nya? Jika ada yang menyebutnya Allah, berbedakah Dia dengan Sang Hyang Taya?

Bagi kaum Muslimin, bukankah cukup bahwa sebutan apapun yang disematkan kepada-Nya haruslah sebutan yang terpuji, baik, dan pantas, sebagaimana dalam Al-Qur’an, Surah al-A’raf ayat 180 telah dinyatakan dengan tegas bahwa kita diperintah untuk memohon kepada-Nya dengan nama-nama baik-Nya, atau al-asmâ-ul-husnâ?

وَلِلَّهِ ٱلۡأَسۡمَآءُ ٱلۡحُسۡنَىٰ فَٱدۡعُوهُ بِهَاۖ وَذَرُواْ ٱلَّذِينَ يُلۡحِدُونَ فِيٓ أَسۡمَٰٓئِهِۦۚ سَيُجۡزَوۡنَ مَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ ١٨٠

  1. Hanya milik Allah asmâ-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmâ-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.

Sedangkan pada Surah al-Isra’ ayat 110, bukankah telah dinyatakan pula bahwa Dia dapat diseru dengan nama Allah, Ar-Rahman, atau dengan nama-nama baik-Nya yang lain?

قُلِ ٱدۡعُواْ ٱللَّهَ أَوِ ٱدۡعُواْ ٱلرَّحۡمَٰنَۖ أَيّٗا مَّا تَدۡعُواْ فَلَهُ ٱلۡأَسۡمَآءُ ٱلۡحُسۡنَىٰۚ وَلَا تَجۡهَرۡ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتۡ بِهَا وَٱبۡتَغِ بَيۡنَ ذَٰلِكَ سَبِيلٗا ١١٠

  1. Katakanlah: “Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu.”

Jika demikian, maka untuk apa kita saling berebut nama Tuhan? Apa gunanya kita melarang mereka yang beragama lain selain Islam, menggunakan lafal Allah bagi sebutan Tuhan pada agama lain tersebut? Bukankah menolak pemeluk agama lain menyebut Allah bagi Tuhannya, sama artinya—sadar atau tidak, kita mengakui bahwa Tuhan lebih dari satu, sementara dengan tegas sudah dinyatakan dalam Islam bahwa Tuhan itu Maha Esa?

Jika hal semacam itu kita lakukan, bukankah ini serupa tuduhan sekelompok orang yang menyatakan dan meyakini adanya Al-Qur’an lain yang dijadikan pedoman oleh sebagian kaum Muslimin, sementara dalam Al-Qur’an sendiri sudah Allah tegaskan bahwa kemurnian kitab suci Islam ini akan senantiasa terjaga hingga akhir zaman, karena Dia sendirilah yang akan menjaganya?

Lalu sampai kapan kita akan beragama dan memahami ketuhanan dengan cara salah sehingga kita ibarat berebut kardus tanpa isi?

Tidakkah mengamalkan nilai-nilai agama dan ketuhanan dengan benar, jauh lebih penting dalam hidup, dibandingkan dengan berebut nama-nama Tuhan yang sebenarnya hanya diberikan oleh kita sendiri, sesama manusia?

 

EH/IslamIndonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *