Satu Islam Untuk Semua

Monday, 31 December 2018

Tasawuf Rumi Menurut Haidar Bagir


islamindonesia.id – Tasawuf Rumi Menurut Haidar Bagir

 

Jalaluddin Rumi dilahirkan pada tahun 1207 di kota Balkh di Khurasan (dekat Mazar-I-Sharif, Afghanistan masa kini), Rumi adalah putra seorang cendekiawan Islam yang cemerlang. Pada usia 12 tahun, dia melarikan diri dari invasi bangsa Mongol. Rumi dan keluarganya pergi terlebih dahulu ke Makkah, dan kemudian menetap di kota Rum (Turki hari ini) pada tahun 1228. Nama Rumi sendiri, mengacu kepada tempat di mana dia tinggal.

Rumi kemudian mendirikan sebuah sekte sufi mistik bernama Maulawiyyah. Kini puisi-puisi dan syair-syair karya Rumi menjadi salah satu karya yang paling banyak dibaca di dunia. Ia telah banyak diterjemahkan ke berbagai bahasa. Karya Rumi yang ternama di antaranya adalah Diwan-e Kabir dan  Mastnawi-ye Ma’nawi.

Terkait Rumi, Haidar Bagir yang pada Januari 2018 ini akan me-release karya terbarunya yang berjudul Dari Allah Menuju Allah, menjelaskan, bahwa dunia hanya mengenal Rumi sebagai seorang penyair, namun sisi-sisi pemikirannya tentang irfani atau sufistik jarang dibahas. Menurut Haidar, buku tersebut akan mengulasnya dengan “tidak terlalu akademik, ringkas, populer, tapi pada saat yang sama cukup menyeluruh dan mendalam.”

Masih terkait Rumi, pada Senin (31/12), Haidar Bagir di dalam akun Twitternya membuat tulisan tentang Tasawuf Rumi. Berhubung Twitter memiliki keterbatasan ruang untuk penulisan, Haidar banyak menggunakan kata-kata yang disingkat. Atas pertimbangan itu redaksi mengedit tulisan Haidar Bagir tanpa mengubah maknanya sama sekali agar lebih nyaman dibaca dalam bentuk satu artikel. Berikut ini adalah pemaparan Haidar Bagir tentang Tasawuf Rumi:

Bismillahirrahmaanirrahim. Kita akan mulai kultwit… Sesuai rencana, saya akan kultwit ringkas tentang Tasawuf Rumi.

Benar, Rumi tak menulis sebuah buku sistematis tentang tasawuf. Rumi pun tak menguraikan dan mendefinisikan stasiun-stasiun dan keadaan-keadaan yang menerpa seseorang yang berjalan di jalan menuju Tuhan seperti umumnya seorang teoretisi tasawuf.

Tapi, seperti Chittick (William C. Chittick, seorang filsuf, penulis, penerjemah, dan penafsir karya-karya filsafat dan mistik Islam. Dia terkenal dengan karya-karyanya yang mengulas tentang Rumi dan Ibn ‘Arabi-red) kita merasakan adanya kesinambungan dalam hal tema(-tema) pokok yang secara konsisten menjalari seluruh Matsnawi – khususnya tema-tema menyangkut Tuhan, Alam, dan manusia (Mastnawi-ye Ma’nawi, syair-syair Rumi yang dituliskan oleh murid kesayangannya, Husamuddin Khalabi-red).

Memang, dalam banyak bagian, Rumi menyatakan dengan jelas bahwa tujuannya terutama bukan untuk menjelaskan, melainkan untuk membimbing. Tujuannya dalam menulis puisi dan berbicara kepada pendengarnya bukanlah untuk menyajikan uraian ilmiah tentang aspek-aspek dari ajaran Islam.

Juga bukan untuk menjelaskan kepada mereka segala hal tentang sufisme. Dia hanya mau membuat mereka menyadari bahwa sebagai manusia mereka terikat oleh fitrah mereka untuk kembali kepada Tuhan dan mengabdikan diri mereka sepenuhnya kepada-Nya.

Benar juga menurut Seyyed Hossein Nasr dalam pengantarnya untuk The Sufi Doctrine of Rumi (buku karya William Chittick-red), bahwa “Rumi tidak menulis eksposisi metafisis langsung seperti yang dilakukan seorang Ibn ‘Arabi  atau Shadr al-Din Qunawi.”

Tapi jangan salah, “Rumi adalah seorang ahli metafisika tingkat tinggi dan menggarap hampir semua pertanyaan gnostik dan metafisik, betapa pun sering dalam bentuk perumpamaan, narasi, atau bentuk lain dari perangkat sastra dan simbol puitis.”

Lalu, dengan kerangka apa kita bisa memahami ajaran tasawuf Rumi yang sedikit-banyak sistematis?

Sudah lazim di dunia Islam, sejak abad ke-14 dan seterusnya, bahwa sebagian besar komentator Rumi sangat bergantung pada pemikiran Ibn ‘Arabi untuk memberikan struktur pada tulisan-tulisan Rumi. Inilah juga cara yang dipakai Chittick dalam The Sufi Doctrine of Rumi.

Memang, jelang abad ke-19, mazhab wahdah al-wujud Ibn ‘Arabi ini telah memberikan arah untuk sebagian besar diskusi tentang kerangka teoretis Sufisme.

Seperti Chittick, saya percaya bahwa membiarkan Rumi berbicara sendiri – sebagaimana dilakukan Chittick dengan bukunya yang lebih belakangan, The Sufi Path of Love –- tetap diperlukan.

Namun, memahami Rumi dalam kerangka wahdah al-wujud juga tidak terhindarkan. Dan ini bukannya tanpa dasar yang kuat. Selain kemiripan-kemiripan yang begitu melimpah di antara keduanya, Rumi hidup di masa-masa yang dekat dengan masa hidup Ibn ‘Arabi. Keduanya diduga pernah bertemu di Konya (Turki hari ini-red).

Yang jauh lebih penting dari itu, Rumi adalah sahabat karib Shadr al-Din al-Qunawi, murid dan anak tiri Ibn ‘Arabi sekaligus penerus langsung dan paling penting Ibn ‘Arabi. Tak sulit diduga, keduanya menyerap juga semangat zaman (zeitgeist) yang sama.

Kapan-kapan saya kultwitkan juga pokok-pokok pemikiran Ibn ‘Arabi. Sementara itu bagi yang berminat, bisa membaca buku saya, Semesta Cinta: Pengantar kepada Pemikiran Ibn’ Arabi.

Demikian kultwit saya tentang Tasawuf Rumi. Bila ada pertanyaan, silakan. Pertanyaan terpilih akan dikumpulkan dan dijawab pada live hari Jumat (4/1/18).

 

PH/IslamIndonesia

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *