Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 22 February 2017

TASAWUF – Mengingat Kematian


islamindonesia.id – TASAWUF – Mengingat Kematian

 

Kematian pada hakikatnya tidaklah berpola, melainkan bergerak melalui putik-putik yang samar, merambati hari-hari suka dan duka manusia. Ubun-ubun bumi dan langit ada dalam jangkauannya, sehingga tak ada yang dapat selamat dari kejarannya.

Pembasmiannya tehadap si muda belia tidak lebih lambat ketimbang terhadap orang tua bangka. Ada saat-saat di mana kematian menciptakan kisah horor yang sungguh menakutkan, dan ada saat-saat di mana kematian menebarkan keharuan yang menyayat sukma.

Kehidupan adalah gelombang laut kematian yang selalu menerpa para penumpang kapal yang berlayar di atasnya. Seberapa kuat sebuah kapal bisa bertahan dalam terpaan gelombang ombak samudera yang amat dahsyat!

Seberapa lama penumpang dapat bertahan di kapal yang terus terombang-ambing oleh ombak dan badai laut yang menyudutkan, menolengkan, menampar, melontarkan, dan membuang makanan yang tersisa? Seberapa jauh perjalanan dapat ditempuh dengan perahu reot yang sudah rusak oleh tingkah penumpangnya sendiri?

Apa yang dapat diharapkan dari sebuah perjalanan penuh gonjang-ganjing ini? Adakah nahkoda “banci” yang berjiwa kerdil dan penumpang yang terus berulah dapat memberikan harapan akan kekekalan perjalanan?

“Seorang raja mendirikan sebuah istana yang menghabiskan biaya ratusan ribu dinar. Disebelah luarnya, istana itu dihiasi dengan menara-menara dan kubah-kubah yang bersepuhkan emas, sedangkan perabotan dan permadani membuat ruang dalamnya serasa di dalam surga.

Setelah rampung dibangun, sang raja mengundang segenap orang dari semua negeri untuk mengunjunginya. Orang-orang ini datang dengan berbagai hadiah sebelum menuju ke tempat duduknya masing-masing.

Setelah dipersilahkan duduk, raja bertanya kepada mereka: “Katakan, bagaimana pendapat kalian tentang istanaku ini? Adakah sesuatu yang terlupa, yang dapat merusak atau mengurangi keindahannya?”

Serempak hadirin menyatakan bahwa belum ada istana semacam ini dan takkan ada kembarannya di dunia. Semua menyatakan demikian kecuali seorang arif yang bangkit dan berkata:

“Ada satu celah kecil yang menurut pendapat hamba merupakan cacat, Tuanku. Andaikan tak ada cacat ini, surga itu sendiri pun akan memberikan hadiah-hadiahnya kepada tuanku dari dunia gaib.”

“Aku tidak melihat cacat itu,” kata sang Raja murka. “Kau orang bodoh! Dan kau hanya ingin dirimu tampak penting.”

“Tidak, Raja yang sombong!” jawab si arif itu. “Celah yang kusebutkan itu ialah celah yang akan dilalui Izrail, malaikat pencabut nyawa, bila ia datang nanti. Semoga Tuhan berkenan, tuanku dapat tutup celah itu.

Sebab jika tidak, apakah gunanya istana, mahkota dan singgasana Tuanku yang megah ini. Bila maut datang, semuanya akan menjadi segenggam debu. Tak satu pun yang tetap bertahan lama, dan celah itulah yang akan merusakkan tempat semayam tuanku. Tiada kepandaian untuk membuat kekal apa yang tak kekal.”

Kematian adalah faktor yang menggerakkan orang-orang bijak untuk meninggalkan semua kepalsuan dan kesementaraan menuju Keabadian dan Kehidupan Hakiki.

Dalam Metode Menjemput Maut, al-Ghazali bertutur: “adalah kewajiban orang memandang kematian sebagai kefanaannya, … untuk tidak memikirkan apapun selain kematian.”

Namun, ironisnya, di dunia saat ini, dan barangkali sudah sejak dahulu kala, hal ihwal seperti gaya, fashion, kekayaan, gelar, kesuksesan, dan sebagainya dianggap lebih ketimbang kematian.

Orang akan jauh lebih terdorong untuk mengejar dan mengantisipasi kesemuan-kesemuan semacam itu daripada kepastian yang bernama kematian. Inilah paradoks yang ditimbulkan oleh apa yang disebut oleh orang-orang pandiri sebagai kemajuan dan modernitas.

Semua ini terjadi sedemikian rupa sehingga banyak orang yang merasa tidak akan mati atau setidaknya berilusi bahwa dia akan hidup selamanya. Dalam konteks itulah QS. al-Baqarah: 96 berbicara.

Ilusi hidup keka ini boleh jadi bermula dari angan-angan puak modern untuk menguasai dan menikmati seisi dunia. Adalah paradoks bila modernisme yang pada awalnya lahir untuk mengangkat derajat keberadaban (civility) manusia justru terjerumus pada labirin kerakusan merengku dunia.

Pada satu sisi, kematian adalah sebuah misteri yang harus cepat-cepat dikikis dari kesadaran publik yang hendak dijadikan sasaran tembak industrialisasi.

Namun, pada sisi lain, fantasi tentang omnipotensi manusia (baca: humanisme) yang mewujud dalam sains dan teknologi modern makin lama makin menggelandang manusia untuk terus alpa akan batas-batas dirinya. Dan tiada batas yang lebih pasti daripada kedatangan maut dan berakhirnya kehidupan.

Oleh sebab itu, tidak berlebihan jika saya katakan bahwa mengingat mati adalah salah satu metode terampuh untuk menyadarkan kembali manusia akan batas-batas dirinya, dus  mengembalikannya pada cara hidup wajar dan rasional. Menurut para sufi, panjang angan dan lupa mati adalah dua faktor utama yang melenakan manusia akan batas-batas dirinya, yang sebenarnya adalah benteng penjagaan dari keterbuaian dan kesesatan.

Allah berfirman:

Adapun orang yang melampaui batas dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah yang akan menjadi tempat tingganya. (QS. an-Nazi’at: 37-39).

 

MK/YS/islamindonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *