Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 25 October 2017

TASAWUF – Cinta Menurut Imam Al Ghazali


islamindonesia.id – TASAWUF – Cinta Menurut Imam Al Ghazali

 

Mahabbah (kecintaan) merupakan warisan tauhid dan makrifat. Setiap maqam dan keadaan spiritual sebelumnya kembali pada mahabbah dan mengambil manfaat darinya. Makrifat yang berkaitan dengan Mahabbah adalah setiap yang berkaitan dengan zat Allah Swt dan sifat-sifat-Nya berupa penolakan kekurangan dan penegasan kesempurnaan.

Makrifat itu wajib menurut Al Qur’an, sunah, dan ijmak umat. Perbedaan pendapat hanya terjadi dalam menetapkan hakikat dan maknanya. Mahabbah tidak memiliki makna selain kecenderungan pada kelezatan yang sesuai. Sesungguhnya makrifat kepada Allah Swt itu sendiri merupakan zikir kepada-Nya karena makrifat merupakan kehadiran bersama-Nya dan syuhud kepada-Nya. Di antara tanda-tanda Mahabbah pada permulaannya adalah lawa’ih, thawali’, lawami’, dan buruq. Istilah-istilah ini memiliki istilah yang berdekatan. Perbedaan antara barq (bentuk tunggal dan buruq) dan wajd, barq adalah izin untuk memasuki jalan tauhid, sedangkan wajd adalah yang menyertaimu. Apabila langgeng, warj menjadi dzawq.

Dzawq adalah merasakan manis dan meneguk apa yang engkau saksikan dari cahaya barq.

Lahzh adalah ungkapan bagi melihat al-Haqq dengan kalbu, sebagaimana sabda Rasulullah Saw, “Sembahlah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya.”

Waqt adalah kata yang menunjukan waktu ketika sesuatu itu berada. Waqt hamba adalah waktu ketika dia berada di dalamnya.

Shafa’ (kejernihan) adalah kata yang menunjukan keterbebasan diri dari kotoran.

Nafas adalah beristirahatnya hamba karena kelemahannya memikul keadaan-keadaan yang datang kepadanya, baik karena ketinggian maupun karena pengucapan kata-kata atau isyarat tentang apa yang ada di dalamnya. Sebab, selama hamba itu hidup mestilah dia menghirup dan menghembuskan napas. Apabila napas itu kuat, maka ia menyebabkan gharq (tenggelam).

Gharq adalah ketiadaan kemampuan bernapas disebabkan dia menahannya, maka dia tidak bernapas dan tidak pula gaib. Apabila memperoleh kekuatan, dia masuk ke dalam ghaybah (lenyap).

Ghaybah adalah kata yang menunjukan kelupaan terhadap hal-hal penting karena mengingat sesuatu yang paling penting dari semua itu.

Sukr adalah kata yang menunjukan jatuhnya kekuasaan dalam kesedihan. Apabila seorang hamba diiringi oleh pertolongan, ia disadarkan untuk menambah pengetahuan. Sebab, sukr (kemabukan) tidak bertambah dengan sesuatu yang memabukkan di dalam al-Haqq dan kesadaran, semata-mata ia dengan al-Haqq.

Mabuk di dalam al-Haqq adalah memandang sifat-sifat-Nya, serta menikmati dan merasakan kelezatan karunia-Nya. Sementara itu, kesadaran kepada Allah Swt adalah berlepas diri dari nafsu dan dari merasakan lezat dan ihwalnya. Apabila setelah itu seorang hamba diberi syuhud kepada Zat (dapat menyaksikan Zat) yang bersifat Maha Berdiri Sendiri (Qayyumiyyah), yakni salah satu sifat Uluhiyyah, ia menjadikannya fana dari selain sembahannya. Kemudian, ia fana dari kefanaannya.

Hakikat fana’ pada indera adalah hilangnya jisim-jisim dan ‘aradh, dan lenyapnya ia secara keseluruhan.

Karena segala sesuatu selain Allah Swt maujud dan tegak karena-Nya, bukan dengan dirinya sendiri, maka eksistensinya adalah kiasan (majas). Dia Yang Tegak Sendiri dan menegakkan selain Dia, eksistensi-Nya teguh hakiki. Saya meminjam bagi orang yang dimuliakan dengan makrifat ini lafal fana’, karena hilangnya segala maujud dalam mata hati hamba tersebut ketika dia menyaksikan semuanya bersama kekuasaan (qudrah), seperti anak kecil yang tidak dihukum akibat perbuataannya.

Jika hamba telah sempurna, dia diangkat ke maqam keabadian (al-baqa’); sebab, apabila tidak ada lagi perhatian pada selain Allah di dalam kalbunya, maka dalam keadaan ini ia dikatakan kekal (senantiasa) bersama Allah Swt.

Wujud dan baqa’ adalah dua kata yang sinonim. Wujud adalah kata yang menunjukan perolehan hakikat sesuatu; baqa’ adalah hakikat tertinggi yang ingin diperoleh; demikian pula halnya maqam penghimpunan (maqam al-jam’). Sebagian pemuka sufi berkata, “Al-Jam’ adalah yang menggugurkan pemisahan serta memutuskan isyarat. Maknanya adalah disebutkan Allah Swt dan disebutkan dari Allah Swt.”

 

YS/Irwan K/IslamIndonesia/Sumber: Buku Rawdhah ath-Thalibin wa ‘Umdah as-Salikin, karya Imam Ghazali

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *