Satu Islam Untuk Semua

Friday, 18 March 2022

Syair Cinta Murni Rabiah Al-Adawiyah untuk Sang Khalik


islamindonesia.id – Alkisah, dalam sekejap mata, kedua orang tua Rabiah meninggal dunia kala dirinya masih amat belia. Kepada Rabiah, mereka menyisakan harta berupa perahu.

Rabiah bertahan hidup dengan menyeberangkan orang dari tepi sungai Dajlah ke tepian sungai lain. Di kesendirian tersebut, cintanya kepada Allah tak lagi terbagi.

Masa kecil penuh duka itulah, yang kemudian jadi pijakan Rabiah Al-Adawiyah, kini dikenang sebagai pemikir dan penyair Islam wanita yang masyhur dan dikenal sebagai “Ibu dari para Sufi”.

Sejumlah catatan menyebut bahwa Rabiah lahir sekitar 713-717 Hijirah, atau 95-99 Masehi di kota Basrah, Irak. Sepeninggal kedua orang tuanya, Rabiah dan ketiga adiknya harus berkelana bertahan hidup.

Suatu ketika Rabiah terpisah dari ketiga adiknya, dan sempat menelan lara hidup sebagai hamba sahaya. Kesendirian dan kesedihan ini dimanfaatkan Rabiah untuk senantiasa bermunajat kepada Allah.

Seakan Allah menjawab ketekunannya berdoa dan beribadah, Rabiah dibebaskan. Tinggal seorang diri, ia kemudian mengembangkan sebuah majelis yang kemudian dikunjungi banyak murid.

Sebuah nilai fundamental lahir dari majelis tersebut, yaitu cinta murni kepada Allah, dan mengenyampingkan segala urusan dunia. Nama-nama pemikir Islam lahir dari majelis tersebut, seperti Sufyan At-Tsauri, Al-Hasan Al-Bashri, Malik bin Dinar, dan Syaqiq Al-Balkhi.

Dari sejumlah catatan yang terhimpun, tampak bahwa yang menjadi ciri khas dari Rabiah adalah kebiasaannya bermunajat, menangis bersedih kala beribadah dan mengingat Sang Khalik.

Dari sanalah syair-syair cinta lahir. Tak lain, cinta yang ia ucap dan tulis hanyalah Allah semata. Salah satu konsep populer yang lahir dari pemikiran Rabiah adalah “mencinta tanpa imbalan”.

“Bagiku tidak ada bagian surga dan neraka. Aku tidak menginginkan atas cintaku imbalan pengganti,” ucap Rabiah seperti diriwayatkan dalam Risalatul Qusyairiyah.

“Ya Illahi! Jika sekiranya aku beribadah kepada Engkau karena takut akan siksa neraka, maka bakarlah aku dengan neraka-Mu. Dan jika aku beribadah kepada Engkau karena harap akan masuk surga, maka haramkanlah aku daripadanya!”

Bukan berarti seorang Rabiah Al-Adawiyah tak acuh pada akhirat, dan memikirkan dunia. Rabiah justru mengeyampingkan segala kepentingan duniawinya, semata untuk fokus mencintai Allah dalam ibadahnya.

Rabiah suatu ketika pernah ditanya, kapan seorang hamba bisa dikatakan ridha atas ketentuan Allah. Rabiah menjawab, “Ketika musibah membuatnya bahagia, sebagaimana kebahagiannya ketika mendapatkan nikmat.”

Ia pun pernah menggambarkan rasa cintanya kepada Allah dengan sebuah kalimat manis, “Apakah dengan api aku harus membakar hati ini yang mencintai-Mu?”

Hingga akhir hayatnya, Rabiah tak memutuskan untuk menikah. Diriwayatkan, ia menerima banyak lamaran menikah tapi tak satu pun ia terima, meski lamaran tersebut datang dari para pemikir Islam.

Rabiah takut, dengan menikah, cintanya kepada Allah akan terbagi. Betapa cintanya kepada Allah tak ingin ia sandingkan dengan apa pun di dunia.

Ajaran Rabiah tentang tasawuf berpengaruh besar pada perkembangan sufisme di dunia. Bahkan ajaran dan syair-syair cintanya disebut memengaruhi tokoh-tokoh besar seperti Al-Ghazali dan Jalaluddin Rumi.

EH/Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *