Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 25 May 2016

PROSA—Dalam Cinta tak ada Kesempatan Kedua


IslamIndonesia.id—Dalam Cinta tak ada Kesempatan Kedua

 

Sobat, marilah kita sedikit berbual ihwal jalan cinta. Di sini, tak ada kemacetan. Di jalan ini semuanya lurus dan lapang tak berkesudahan. Begitu “on”, kau takkan lagi merasa kesulitan, atau kemandekan atau kelambanan. Klik, dan semuanya berjalan tanpa halangan, kencang tanpa hitungan. Inilah jalan cinta.

Jalan cinta adalah jalan derita yang paling menyenangkan. Ya, semua itu pastilah ada deritanya. Tapi derita cinta, kata penyair Nizar Qabbani, adalah yang paling lezat dan manis.

Di jalan ini, sakit pun bisa terasa lebih enak dari kesembuhan. Dan nikmat kesembuhannya terasa berlipatganda. Di jalan ini, panas terasa sejuk dan kesejukannya akan terus terasa meski panas sesekali datang menggoda.

Di jalan ini, tak ada aku, kau dan mereka. Di sini semua tampak sama, sama-sama tak tampak lagi. Tak ada benjolan, desakan, tekanan ataupun kepadatan. Di sini semua sudah dikosongkan; disedot bersih oleh kekuatan cinta.

Inilah jalan orang-orang yang sakitnya adalah kesembuhan, bingungnya adalah kepastian, miskinnya adalah kekayaan, tidurnya adalah keterjagaan, pening kepalanya adalah kelegaan, gilanya adalah kesadaran, dan kesadarannya tak pernah sirep.

Sobat, jika kita baca hidup orang-orang yang meniti jalan ini, maka kita tak mungkin paham. Mereka seperti anak-anak yang tak kenal lelah bermain, bercanda dan bermesraan. Tapi mereka tidak pernah main-main. Seperti anak-anak itu, mereka melakukan segalanya dengan sungguh-sungguh. Mereka telah menemukan sosok di balik bayang-bayang yang dicari kebanyakan orang dari kejauhan. Mereka tepekur menikmati suasana yang tak ada lagi lahir dan batinnya–di sini semuanya jadi Bathin sekaligus Zhahir, Awal sekaligus Akhir.

Jalan ini mirip kereta cepat yang meluncur tanpa stasiun pemberhentian, melaju terus tanpa perlu bahan bakar. Bahan bakarnya adalah Sang Kekasih, masinisnya adalah Sang Kekasih, penumpangnya adalah Sang Kekasih, relnya adalah Sang Kekasih, keretanya adalah Sang Kekasih dan tujuan akhirnya adalah Sang Kekasih. Di kereta ini tak ada kategori, analisis, konsep, bahasa, atau komunikasi. Di dalamnya semua melebur jadi kesatuan.

Di jalan ini, ada khalayak ramai bersenandung: Pagi ini aku menengok pantai. Aku mengingatmu, Kekasih. Sekiranya pantai ini mengenalimu, ia pasti akan meninggalkan laut, melupakan ikan dan segenap kekayaan di dalamnya, menarik dirinya dari tepian lalu berlari mengikuti ingatanku.

Di jalan ini, Rumi bertutur: Karena cinta yang pahit jadi manis, duri jadi mawar, cuka jadi anggur segar, api yang berkobar jadi cahaya berpendar, batu yang keras jadi lembut bak mentega, duka jadi riang gembira, amarah jadi kasih sayang, setan jadi malaikat, busuk jadi harum semerbak, logam jadi emas berkilau.

Oh sobat, sekiranya kita bisa sampai di jalan ini, maka tak ada lagi perasaan kehilangan, seperti juga tak ada perasaan memiliki. Di jalan ini, yang ada hanya Sang Kekasih. Selainnya hanya kekosongan, yang menggendong kita untuk terus maju menghampiri Sang Tujuan.

Ya, di jalan cinta tak ada kesempatan kedua, tak ada keraguan yang mendera, tak ada kesulitan yang melanda, tak ada kata-kata, tak ada apa-apa. Mereka yang masih senang berjalan di tengah kemacetan cita-cita dan tumpukan perkakas analisa jangan pernah bermimpi melintasi jalan ini. Mereka bakal menggigil ketakutan di sini, merasakan dahsyatnya kesenyapan.

Sobat, hanya sekali ini saja, mari kita coba ingat kembali pesan sang guru: “Lupakan apa yang bukan jadi urusanmu, semisal hidup dan matimu, sial dan mujurmu, harta dan statusmu, perut dan auratmu, kening dan pahamu, tubuh dan jiwamu. Sekali ini saja fokuslah pada urusanmu sendiri, yakni kehampaan dan ketiadaanmu.”

Terakhir, sobat, izinkan aku menggaruk gatal di jidatku dan mengucapkan selamat tinggal pada prosa yang tak penting ini.

 

AJ/IslamIndonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *