Satu Islam Untuk Semua

Tuesday, 05 July 2016

OPINI–Belajar Memahami Tauhid dari Rumi


Islamindonesia.id— Belajar Memahami Tauhid dari Rumi

Oleh Parni Hadi

parni_hadi_islamindonesia.id

Sepuluh malam menjelang akhir Ramadhan adalah saat terbaik untuk mendapatkan Lailatul Qadar, yang diyakini umat Islam sebagai malam yang bernilai lebih dari seribu bulan. Lailatul Qadar ditafsirkan oleh sejumlah orang sebagai sebuah pencerahan batin yang nikmatnya tiada tara dan tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Ada yang bilang, suasana hati menjadi tenteram dan bahagia atau “adhem ayem”dalam bahasa Jawa. Tidak ada kekhawatiran apa pun, semuanya serba terang benderang atau “padhang terawangan” berkat “spiritual enlightenment” atau hidayah, petunjuk Adi Kodrati (Allah).

Pengalaman batin itu bersifat pribadi, karena itu sulit untuk diverifikasi (dibuktikan kebenarannya) oleh orang lain. Orang saleh yang sudah tinggi ilmu agama (maqam)-nya tidak berani mengklaim dirinya telah mendapat Lailatul Qadar. Takut dianggap riya atau pamer. Karena itu, pengalaman memperoleh Lailatul Qadar menjadi rahasia pribadi yang bersangkutan. Bukan untuk diceritakan kepada orang lain.

Ilmu untuk mengetahui rahasia atau misteri hal-hal spiritual yang bersifat gaib itu dikenal sebagai sufisme atau tasawuf. Setiap muslim wajib percaya adanya “yang gaib” seperti Sabda Allah dalam Alquran, surat Al Baqarah, ayat 3 (QS 2:3). Jalaluddin Rumi (1207-1273), yang sering disebut Rumi, dikenal sebagai maulana atau guru spiritual dan jenius sastra pilih tanding dalam hal sufisme.

Dalam “Fihi ma Fihi”, buku karya Rumi yang diterjemahakan sebagai “Signs of the Unseen” atau “Tanda-tanda dari yang Tidak Kelihatan”, disebutkan sufisme adalah pemikiran dan praktik Islam. Bermula sebagai gerakan asketis ketat (zuhud) pada sekitar abad ke-9, sufisme pada abad ke 13 telah berkembang menjadi ekspresi alternatif dari kepatuhan kepada Allah yang telah dilembagakan dalam sruktur sosial dan keagamaan Islam secara luas. Sering disebut sebagai “mistisisme Islam”, sufisme adalah mistik dalam artian harfiah, yakni inisiasi untuk memasuki misteri atau pekerjaan mendalami keyakinan agama Islam.

Pengikut sufisme atau kaum sufi tidak puas dengan apa yang tampak di luar, manifestasi luar dari agama dan doktrin-doktrinnya. Mereka ingin menginternalisasi atau menjiwai/menghayati kesadaran spiritual arti esoteris (tertutup, hanya untuk kalangan tertentu) dari doktrin eksoteris (terbuka) agama, yang untuk siapa saja. Ungkapan yang dipakai dalam sufisme sulit dimengerti oleh awam. Karena itu, sufisme tidak menarik orang banyak. Kaum sufi ingin melihat apa di balik doktrin-doktrin agama, menukik ke dalam realitas spiritual atau “kasunyatan” dalam bahasa Jawa. “Beyond logic” dalam bahasa Inggris. Alias di luar nalar (rasio) normatif atau biasa.

Orang tertarik mempelajari sufisme karena ingin memahami substansi dari perintah dan larangan ajaran agama. Orang ingin memahami dan merasakan sendiri langsung, bukan menurut kata orang lain atau buku. Misalnya, kewajiban puasa Ramadhan dan anjuran memperbanyak ibadah di malam hari, termasuk shalat sunah tarawih dan witir, dan bersedekah dalam bulan suci ini. Di samping manfaat yang bisa dijelaskan oleh akal seperti badan lebih sehat dan lebih berjiwa sosial karena bisa mengalami seperti apa penderitaan orang miskin, “apa lagi” manfaat yang tidak dapat dijelaskan dengan akal? “Apa lagi” yang bisa dinikmati langsung, otomatis, secara batiniah. Suatu kenikmatan yang dirasakan bukan berkat panca indera dan rasionalisasi pikiran, tetapi berkat “rasa” yang langsung merasuk dalam kalbu. Dengan memahami dan merasakan sendiri secara langsung, keimanan seseorang akan lebih mantap.

Dasar sufisme adalah tauhid (keesaan Tuhan), tiada Tuhan yang harus disembah kecuali Allah. Juga hadis, kumpulan sabda dan tindakan Rasulullah, Nabi Muhammad Saw, sebagai utusan Allah, yang terakhir dan sekaligus nabi penutup.

Tiga tahap perkembangan jiwa manusia

“Fihi ma Fihi” juga diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai “It is what It is” atau “In it What is It”. Dipakai kata-kata yang berliku untuk memahami hakekat Tuhan. Dalam buku itu Rumi menyebut tiga tahap perkembangan jiwa manusia untuk mencapai pemahaman hakikat Tuhan.

Tahap pertama adalah manusia berjiwa hewani, terikat dan menyembah atau “menuhankan” hal-hal duniawi, seperti uang, kekuasaan, kepandaian dan pencapaian intelektual. Secara tidak sadar, ia menolak tauhid. Bagi dia, Tuhan adalah “Dia” yang jauh. Yang ia lihat hanya “saat ini”.

Tahap kedua adalah fase asketik, yakni orang yang menempuh hidup sederhana (zuhud) dan bertekad menyembah hanya Tuhan. Ia menolak hal-hal duniawi dan melihat “akhir” jaman. Ia berbuat untuk menuai ganjaran surga. Ia berangkat dari posisi orang ketiga dalam hubungannya dengan Tuhan dan menjadikan Tuhan sebagai “Anda” atau orang kedua dan “saya menyembah-Mu”. Ia menempatkan dirinya sebagai orang lain terhadap Allah. Ia masih belum menjangkau sejatinya tauhid.

Tahap ketiga dicapai melalui kesadaran bahwa semua hal, termasuk ego subyektifnya adalah determinasi semu dari Realitas Tunggal, yakni Allah sendiri. Orang harus membuang egonya untuk menyatu dengan Tuhan. Bagi orang yang mencapai tingkat ini Allah menjadi “mata, telinga dan tangan, masing-masing untuk melihat, mendengar dan memegang.” Manusia yang dapat mencapai tahap ini adalah para nabi, wali, atau manusia pilihan Allah.

Rumi menyatakan, orang bisa mencapai tataran ini bukan sebagai hadiah“taken for granted” atas usaha kerasnya sendiri untuk berbuat kebaikan, melainkan karena “hadiah sesuka” Tuhan atau semata berkat rahmat Allah. Tuhan memilih sendiri siapa yang dikehendaki Nya. Atas perkenan atau “seneng parenge Gusti Allah”. Manusia hanya bisa berusaha, tapi Tuhan yang menentukan hasilnya. Allah tidak bisa didikte. Apalagi, disogok dengan apa pun. Wallau alam bissawab.

 

AJ/IslamIndonesia

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *