Satu Islam Untuk Semua

Saturday, 14 November 2020

OBITUARI – Sang Sufi itu Berpulang


Air mata Ahmad Iftah Sidiq meleleh ketika melihat Ketua Jurusan Ushuluddin STAIN Surakarta, Umar Ibrahim Assegaf, menyodorkan duit kepadanya. “Kamu pasti kehabisan uang kan, ambil ini, jangan sungkan dan jangan jalan kaki lagi,” kata sang dosen kepada mahasiswanya itu.

Ustaz Umar – demikian ia disapa oleh para mahasiswanya – berulang kali menyaksikan Iftah berjalan kaki pulang pergi dari kampus ke asramanya di Pesantren Al-Muyyad Mangkuyudan. Jarak keduanya kurang lebih sembilan kilometer atau seperti jarak antara Tugu Monas di Jakarta Pusat dan Pantai Ancol di Jakarta Utara.

Iftah sempat berusaha mengelak menerima pemberian gurunya dengan mengaku masih menyimpan uang dan memilih jalan kaki lantaran ingin berolahraga. Tapi upayanya tak berhasil.

“Sudahlah…, ambil saja. Saya pernah jadi mahasiswa kayak kamu. Mana ada anak muda mau olahraga tiap hari jalan kaki 18 kilometer pulang pergi tengah hari bolong,” kata pria jebolan IAIN Sunan Ampel Surabaya itu.

Sikap asih dosen kepada mahasiswanya itu tak terlupakan oleh Iftah. Meskipun peristiwa itu terjadi sekitar 22 tahun silam.

“Sikapnya terhadap kami sangat kebapakan,” kata Iftah kepada Islamindonesia.id, Jumat, 13 November 2020, sehari setelah ustaz penyandang gelar doktor bidang Tasawuf dan Tarekat itu menghembuskan nafasnya yang terakhir di Rumah Sakit Pasar Minggu Jakarta.

Ya, Ustaz Umar merupakan pakar tarekat, khususnya Alawiyah. Menurutnya, tarekat Alawiyah adalah satu di antara 41 tarekat yang muktabar dan diakui di dunia, termasuk di Indonesia.

Umar menelusuri jejak tarekat ini hingga ke Hadramaut, Yaman. Penelusurannya sampai ke “pasar gelap” di Arab Saudi dan menemukan buku “Al Islam fil Indonesia” (Islam di Indonesia) karya Muhammad Diya Shihab dan Abdullah bin Noeh, terbitan Jeddah, 1977. Karya yang ia tak temukan di Tanah Air ini mencatat penyebar Islam pertama di Indonesia.

Dalam risetnya, ia juga berhasil memecahkan teka teki Imam Muhammad bin Alawi bin Ali Ba Alawi atau yang dikenal Alfakih Almukaddam. Ulama Hadramaut ini disebut penggagas tarekat Alawiyah pada abad enam hijriah tapi Umar tak menemukan satu pun karyanya dalam bentuk kitab.

Padahal dalam dunia tarekat, kata Umar, salah satu syarat seseorang disebut ‘pendiri’ itu harus memiliki buku panduan tentang ketarekatan. “Menurut nalar saya, tidak mungkin disebut seseorang itu dengan Alfakih Almukaddam tapi tidak memiliki karya,” ujarnya.

Penelitian inilah yang kemudian mengantarnya menyandang gelar doktor dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2000. Setahun kemudian, karyanya diterbitkan oleh Mizan dengan judul ‘Thariqah Alawiyah’ dan cendekiawan muslim Azyumardi Azra menuliskan kata pengantar untuknya.

Dalam perjalanan intelektualnya, pria kelahiran Surabaya ini menelurkan karya lainnya di antaranya: “Puasa dalam Revolusi Sosial di Aceh pada tahun 1946,” “Tasawuf Hitam Tasawuf Putih”,”Ratib Syaikh Abdullah Al-Haddad Diraaaah Tahliiliyyah Tasawwufiyyah”, dan “Moralitas Berpolitik dalam perspektif pemikiran Thariqah ‘Alawiyyah”.

Meski demikian, tasawuf dalam kehidupan Umar bukan sekadar teori yang disampaikan di mimbar-mimbar akademik. “Di tangan dan lisan beliau, ajaran sufisme begitu hidup. Lebih mudah dicerna karena saya melihat contohnya di depan mata saya. Dalam gerak-gerik dan gaya bicara santun Ustadz Umar,” kata Iftah.

Iftah belajar rendah hati darinya. Bagaimana ketinggian nasab tidak membuat Habib Umar sombong. Iftah masih terngiang dengan ucapan gurunya: “Kita ini sama-sama umat Rasulullah yang butuh syafaat beliau.”

Darinya juga Iftah menimba ilmu hidup bersahaja. “Kehidupan Ustaz Umar sangat sederhana untuk ukuran seorang doktor. Beliau sangat dekat dengan putra-putrinya. Saya sering diajak makan makan lalu salat berjamaah. Beliau ini sangat egaliter. Menerima tamu mahasiswa sama baiknya dengan menerima tamu pejabat,” ucapnya.

Setelah STAIN Surakarta – kini bernama UIN Raden Mas Said, Umar melanjutkan karirnya sebagai dosen pascasarjana di UIN Syarif Hidayatullah dan PTIQ Jakarta. Di luar kampus, Umar aktif di sejumlah kegiatan kemasyarakatan. Ia pernah menjadi anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat pada 2005-2010, Wakil Ketua Yayasan Muslim Peduli Nusantara, Jakarta sejak 1997 dan Pimpinan Pondok Pesantren Daarul Qur’an “Baituna” sejak 2006.

Ia juga mengempu beberapa majelis tarekat termasuk Syadziliyah dan Alawiyah. Videonya berbaiat dan menerima ijazah tariqat Syadziliyah dari Habib Luhtfi bin Yahya di Pekalongan pernah beredar luas.

Dengan gaya bicaranya yang sederhana tapi sarat makna, humoris dan santun, ia berdakwah dari masjid ke masjid. Di antaranya, ia rutin mengisi pengajian di Masjid Raya Bintaro Jaya Tangerang Selatan.

“Masjid ini ngangenin,” katanya membuka pengajiannya pada Januari 2019 seperti direkam kanal Youtube masjid setempat. “Saya kadang-kadang salat di sini tapi tidak pakai gamis jadi bapak-bapak tidak tahu.”

Ia bilang, masyarakat biasanya menghormati seseorang karena pakaiannya. “Jadi kalau saya pakai kaos dan celana jeans, tak ada yang tahu saya. Tapi ketika pakai gamis, semuanya langsung salaman ke saya. Jadi salamannya kepada gamisnya,” katanya diikuti dengan tawa jemaah.

“Itulah bedanya Allah dan kita,” lanjut dia. “Kalau Allah melihat hati orang, kalau kita melihat pakaiannya.”

Ia juga tak pernah bosan mengingatkan pentingnya persatuan di tengah keragaman pandangan umat Islam. “Percekcokan yang terjadi antar satu tokoh dengan tokoh yang lain, antar satu masjid dengan masjid yang lain, semuanya terjadi lantaran pembicaraan yang bukan esensi Islam,” katanya pada acara haul gurunya, Sayid Husein bin Abu Bakar Al-Habsyi, di Pasuruan, Jawa Timur.

Walau kian dikenal oleh masyarakat, akhlaknya tak berubah. “Masih seperti Ustaz Umar yang saya kenal belasan, dua puluhan tahun lalu. Rendah hati, ramah dan tulus,” kata Iftah yang kini menjadi Pengasuh Pondok Pesantren Fatahillah di Bekasi. Bagi Iftah, Ustaz Umar adalah sufi sejati.

Sementara Hery Wibowo mengenal Habib Umar sejak sepuluh tahun terakhir. Bagi pria yang berdomisili di Ciputat ini, Habib Umar adalah sahabat, guru, dan rekan kerja. Keluarga besarnya bahkan memilih Habib Umar sebagai konsultan fikih dan perihal umum terkait rumah tangga.

Kepercayaan pada Habib Umar itu bukan tanpa dasar. Bagi Hery, Habib yang satu ini sangat hangat pribadinya. Dia tidak mudah menyalahkan maupun menghakimi orang lain.

“Sangat longgar memberikan waktu seseorang bisa berubah. Memahami dan mengerti kondisi, prinsip orang lain, sehingga tidak memaksakan kehendak beliau, sekalipun yang beliau hadapi adalah orang-orang yang masih jauh dari kebaikan,” katanya kepada Islamindonesia.id.

Empat hari lalu, 10 November 2020, Habib Umar menginjak usia 59 tahun. Tapi umur yang baru ini tak berlangsung lama. Dua hari kemudian, Allah memanggilnya pulang ke pangkuan-Nya.

Ia meninggalkan seorang istri dan lima orang anak. Ketika dikebumikan di TPU Mochdar Cimanggis, Jumat, 13 November, salah satu anaknya, Ridho, menyampaikan kenangannya dididik oleh almarhum. Ayahnya, kata Ridho, ‘mewajibkan’ anak-anaknya salat subuh berjamaah di masjid sejak usia belum baligh hingga anak-anaknya dewasa.

Jika di antara anak-anaknya ada yang tidak melaksanakan, sang ayah akan memotong uang jajan dan hak-hak lainnya. Anaknya yang masih kecil dan masih tidur sekalipun, ia gendong ke masjid.

“Mengapa sampai digendong padahal di masjid juga ia tidur dan tidak shalat?” tanya Ridho. Ayahnya menjawab, “Bagi aba, di waktu subuh, anak aba lebih baik tidur di masjid dari pada tidur di rumah.”[]

YS/IslamIndonesia

One response to “OBITUARI – Sang Sufi itu Berpulang”

  1. Syafiq Basri A says:

    Masha-Allah. Semoga ustadz yg baik dan rendah hati ini ditempatkan pada posisi yg mulia, bergabung bersama jamaah syuhada’ dan solihin, di barusan kakeknya Rasulullah SAW dan keluarga sucinya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *