Satu Islam Untuk Semua

Friday, 22 August 2014

Murid-murid yang Mengungguli Gurunya


sabilarosyad.com

Berikut ini kisah yang cukup populer di khazanah tasawuf. Tentang seorang pemuda yang memutuskan kembali ke kampung halamannya usai menamatkan pendidikan sebagai guru agama di kota. Orang sekampung menyambut kepulangannya. Dia dibanggakan karena jadi satu-satunya yang terpelajar, yang tahu baca tulis dan pernah mengenyam kehidupan kota. Orang juga suka dengan penampilannya yang bersahaja, raut wajahnya yang tenang, dan besarnya keinginan dia berbakti pada kampung sendiri.

Kejutan datang belakangan. Orang-orang desa perlahan melihat dia laksana orang suci. Jika hujan terlalu lebat, orang sekampung mendesaknya berdoa agar hujan dikurangi debitnya. Jika sapi petani sakit, orang berpaling pada dia, meminta doanya. Jika ada warga yang sakit parah, buru-buru orang mengetok rumahnya walau di malam buta.

Guru agama muda itu awalnya tak begitu yakin dengan doanya sendiri. Tapi karena hormat pada warga kampungnya, dia pun berdoa sebisanya. Keajaiban muncul seperti air bah. Setiap kali dia berdoa, hajat warga kampung segera terpenuhi. Adegan demi adegan yang seperti komedi hitam susul menyusul setelahnya.

Saban hari, orang mengantri di depan rumahnya, mengeluhkan sakit ini itu dan minta segera disembuhkan dengan doa. Ada yang mengeluh sakit kepala, pening-pening, pegel linu, encok, mual-mual, mencret-mencret dan sebagainya. Sebagian lagi minta segera disebuhkan dari sakit hati, disambungkan dengan yang baru saja memutus, menjadi ratu di rumahnya sendiri dan lain-lain.

Guru agama muda itu awalnya masih bisa memaklumi. Tapi saat orang mulai menyemut di depan rumahnya, dia memutuskan untuk menyudahi “kekeliruan” warga desa. “Kalian salah alamat,” katanya berusaha meyakinkan. “Saya ini hanya guru agama, hanya tahu soal tajwid dan sedikit tafsir, bukan memperbaiki gigi yang rusak, apalagi memotong tali pusar bayi. Dokter lebih tepat untuk semua kebutuhan kalian itu.”

Warga desa tak membeli penjelasan itu. Mereka sudah melihat kemujaraban doa guru mengaji itu. Tapi sekuat apapun warga berusaha meminta, pemuda itu tetap menolak. Sekali waktu, seorang warga datang di tengah malam buta, meminta dia mengujungi dan mendoakan seorang nenek yang sakit parah. Guru agama itu menolak dan kabar yang datang keesokan harinya, menghancurkan hatinya: nenek itu meninggal. Dia menyesali keengganannya, meski akalnya membenarkan penolakannya itu. Sejak fajar hari itu dia bertekad untuk kembali melayani tiap permintaan doa apapun dari warga desa.

Tapi entah mengapa, sejak hari itu tak ada lagi warga desa yang datang mengeluh. Kehidupan seperti berjalan lancar, normal, tanpa hambatan berarti. Guru agama itu pun senang, tenang. Dia punya lebih banyak waktu untuk mengajar murid-murid mambaca Alquran dan menguraikan kisah-kisah para nabi dan orang-orang terdahulu yang terkandung di dalamnya.

Namun kejutan berikutnya sudah di tikungan.

Sekali waktu, saat sampai di sekolah, guru muda itu mendapati banyak bangku kosong. Murid-murid yang datang terlambat bercerita alasannya. “Jembatan putus, Pak Guru,” kata mereka. “Ada banjir bandang dan kami terpaksa harus mengambil jalan memutar.”

Guru muda itu prihatin. Dia berusaha menghibur mereka dengan kisah Nabi Musa membelah lautan. “Nabi Musa berdoa dan seketika itu pula beliau dan kaumnya mampu berjalan di atas air.”

Murid-murid terpegun dengan cerita itu. Tapi sang guru tak pernah membayangkan akibatnya. Ketika pekan berganti, saat hendak memulai pelajaran lagi, seisi kelas meminta sang guru menjenguk orang tua salah seorang murid yang tidak masuk, karena orang tuanya sakit. Mereka mendesak dan guru itu tak enak. Perjalanan mereka harus lewat sebuah sungai. Kebetulan hari itu jembatan yang putus belum diperbaiki.

Di tepi sungai, guru muda itu menyaksikan sebuah keajaiban besar. Murid-muridnya melangkah di atas air, dengan penuh riang. “Ayo Pak Guru, ayo jalan. Baca saja doa yang Pak Guru sebutkan tempo hari: doa Nabi Musa membelah lautan.”

Takjub dan ingin mencoba, guru itu membaca doa yang sama dan mulai menginjakkan kakinya ke sungai. Dia tercebur, hampir-hampir tenggelam. Sambil berjuang menarik dirinya ke tepi, dia berteriak lantang: “Kalian saja yang pergi. Kalian lebih suci, doa-doa kalian lebih manjur di langit.”

Kisah selesai di situ. Namun pesannya jelas dan berlaku untuk semua manusia: jika Anda bisa mempertahankan kesucian jiwa Anda seperti saat Anda masih kanak-kanak, pintu-pintu langit akan terbuka dengan sendirinya. Jangan keruhkan hati dengan prasangka-prasangka buruk terhadap Allah, Raja Diraja, Penguasa mutlak alam raya ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *