Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 24 June 2020

Miraj Abu Yazid al-Busthami


islamindonesia.id – Miraj Abu Yazid al-Busthami

Abu Yazid al-Busthami (wafat 261 H/874-5 M) [atau di Barat lebih dikenal dengan sebutan Bayazid Bastami] adalah Sufi pertama yang menggambarkan pengalaman rinci tentang pengalaman mistiknya dan menyebutnya dengan miraj, sebuah praktik yang kemudian diikuti oleh Ibnu Arabi dan lainnya.

Di bawah ini adalah beberapa bagian tentang pengalamannya itu sebagaimana disampaikan oleh Fariduddin Attar dalam Tadhkirat al-Awliya:

Ketika aku mencapai tahap pengabaian (istighna) terhadap hal-hal dunia ini dan diterangi oleh cahaya Allah, beberapa misteri terungkap kepadaku. Aku melihat dari Allah ke arah diriku sendiri dan menemukan bahwa terangku adalah kegelapan total dibandingkan dengan terangnya Allah, kemuliaanku adalah kerendahan total; semuanya murni di sana dan gelap di sini.

Tetapi ketika aku melihat lagi, aku menemukan cahayaku di dalam terang-Nya, kemuliaanku di kemuliaan-Nya, dan bahwa apa pun yang aku lakukan, aku lakukan melalui kuasa-Nya. Cahaya-Nya bersinar di hatiku dan aku menemukan bahwa sebenarnya semua ibadah berasal dari Allah dan bukan dariku, meskipun sepanjang waktu aku berpikir bahwa akulah yang menyembah.

Aku merasa bingung dan mendapatkan penjelasannya: Semua yang ada, adalah Aku dan bukan selain Aku…. Aku melihat dari Allah ke Allah dan melihat Dia sebagai satu-satunya kenyataan.

Aku tetap dalam tahap ini untuk waktu yang lama, meninggalkan semua upaya dan semua pengetahuan yang telah diperoleh. Rahmat dari Allah mulai mengalir dan aku mendapat pengetahuan kekal (azli). Aku melihat bahwa segala sesuatu tunduk di dalam Allah.

Kemudian aku diberikan sayap dan aku mulai terbang di udara dan melihat hal-hal aneh dan indah. Ketika Dia memperhatikan kelemahanku, Dia membuka pintu gerbang penyatuan ilahi (tauhid) di hadapanku. Kemudian aku tinggal di maqam malakut hingga sisi-sisi yang tampak maupun yang tersembunyi dari ke-aku-an menghilang.

Sebuah pintu terbuka ke dalam kegelapan hatiku dan aku mendapatkan lidah yang fasih untuk mengekspresikan tauhid dan tajrid (kesatuan abstrak). Sekarang, lidahku berasal dari Allah, hatiku merasakan kilau dari cahaya-Nya dan mataku mencerminkan ciptaan-Nya. Aku berbicara melalui Dia dan berbicara melalui kuasa-Nya.

Karena aku hidup melalui Dia, aku menjadi kekal dan abadi. Ketika aku mencapai tahap ini, gerak-gerik dan ibadahku menjadi kekal; lidahku menjadi lidah tauhid dan jiwaku menjadi jiwa tajrid. Dialah yang menggerakkan lidahku dan peranku hanyalah sebagai seorang penerjemah: yang berbicara pada kenyataannya adalah Dia dan bukan aku.

Jiwaku menembus seluruh alam yang tak terlihat. Surga dan Neraka ditunjukkan kepadanya tetapi ia tidak menaruh perhatian kepada mereka. Ia melintasi berbagai langit di mana ia bertemu dengan jiwa para nabi.

Ketika ia mencapai langit jiwa Muhammad, ia melihat jutaan sungai api tanpa akhir dan seribu selubung cahaya. Jika aku menempatkan kakiku ke dalamnya. Aku akan terbakar. Aku kehilangan kesadaran karena kagum sekaligus takut. Aku mencapai Allah.

Setiap orang dapat mencapai Allah sesuai dengan cahayanya, karena Allah bersama semua; tetapi Muhammad menempati posisi yang unggul dan karenanya, ketika seseorang berjalan ke lembah tauhid, dia tidak dapat mencapai lembah Muhammad, meskipun pada kenyataannya kedua lembah itu adalah satu.

*Dikutip dari N. Hanif, Biographical Encyclopaedia of Sufis: Africas & Europe (Sarup & Sons: New Delhi, 2002), hlm 14-15.

PH/IslamIndonesia/Foto utama: New Scientiest

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *