Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 01 February 2023

Menyingkirkan Kesedihan ala Al-Kindi dan Memantapkan Syukur ala Al-Ghazali


islamindonesia.id – Al-Kindi dalam kitabnya Daf ‘Al-Ahzan (Menyingkirkan Kesedihan) mengatakan, “Orang yang bersedih hati karena kehilangan miliknya atau gagal memperoleh sesuatu yang dicarinya, lalu merenungkan kesedihannya secara filosofis, kemudian dia mengerti penyebab kesedihannya itu bukanlah keharusan, lalu dia saksikan banyak orang yang tidak memiliki harta tapi mereka tidak sedih, bahkan gembira dan bahagia. Dia tak pelak lagi akan tahu bahwa kesedihan bukanlah hal yang niscaya dan tidak alami dan bahwa orang yang bersedih hati serta menimpakan kejadian ini pada dirinya pasti dia akan gembira dan kembali pada kondisi alaminya.”

Kata Kindi lagi, “… Jika kita bersedih hati di setiap kali kita kehilangan niscaya kita akan selamanya bersedih hati. Oleh karena itu, seseorang yang berakal hendaknya tidak memikirkan hal-hal yang mudharat dan memedihkan serta karena hilangnya harta menyebabkan kesedihan hati, maka dia hendaknya memilikinya sesedikit mungkin. Suatu ketika Socrates ditanya orang, apa yang menyebabkan selalu bersemangat dan jarang sedih. Socrates pun menjawab: ‘Karena saya tidak mencari hal-hal yang kalau hilang akan membuat saya sedih’.”

Kita dalam hidup ini sering menerima dua hal, yaitu anugerah dan musibah. Biasanya kita akan sangat mengharapkan selalu mendapatkan anugerah, lalu dengan mudah kita bersyukur atas anugerah itu. Kita merasakan hidup ini indah mempesona manakala kita menerima anugerah dan dengan sangat mudah pula kita akan mengucapkan “alhamdulillah” atas keindahan hidup tersebut.

Bagaimana tatkala kita menerima suatu musibah? Apakah kita masih bisa bersyukur? Adalah sesuatu yang berat bila kita bersyukur saat kita menerima musibah. Umumnya kita lebih banyak mengeluh dan merasa tidak siap atas datangnya musibah. Mungkin kita sempat berpikir Tuhan tidak adil ketika kita menerima musibah. Tak jarang pula kita menyalahkan hidup, menyalahkan Tuhan, dan seterusnya.

Imam Al-Ghazali menyebutkan bahwa tasyakur terdiri atas tiga komponen: ilmu, hal dan amal. Ilmu, menunjukkan kesadaran kita akan nikmat-nikmat Allah yang dianugerahkan kepada kita. Kita tahu bahwa rahman Allah jualah yang menyebabkan kita masih hidup sampai saat ini. Kita tahu bahwa rahim Allah jualah yang menyebabkan kita masih sanggup berpuasa, bertakbir dan menyampaikan syukur kita kepada-Nya.

Komponen tasyakur kedua adalah hal. Menggambarkan sikap kita akan nikmat Allah SWT. Kita bahagia karena diberi kesempatan menunaikan ibadah puasa. Kita senang karena Allah senantiasa menolong kita pada saat-saat yang diperlukan. Hati kita penuh dengan rasa terima kasih kepada-Nya, karena Dia telah membawa kita pada keadaan seperti sekarang ini.

Rasulullah s.a.w bersabda: “Hendaklah kamu (berbahagia) bila mempunyai hati yang bersyukur, lidah yang berzikir dan isteri (suami) Mukminin (at) yang membantunya dalam urusan akhirat.” (HR Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Komponen tasyakur yang ketiga adalah amal. Amal diwujudkan dalam seluruh anggota badan kita. Bersyukur, kata Al-Ghazali, ialah “Menggunakan nikmat-nikmat Allah SWT untuk menaati-Nya serta menjaga agar tidak menggunakan nikmat-nikmat-Nya itu untuk maksiat kepada-Nya.”

Walhasil, ungkapan syukur dari seorang hamba adalah sebuah tindakan pengagungan yang mencegah terjadinya sebutan, “mengingkari Dzat yang memberi kebaikan kepadanya”.

Ungkapan syukur dapat dilakukan dengan menyebut-nyebut kebaikan yang memberi nikmat dan kebaikan perilaku orang yang bersyukur. Sekaligus menunjukkan buruknya orang yang melakukan pengingkaran terhadap nikmat.

Dengan demikian, hakikatnya kewajiban bersyukur yang sebenarnya bagi seorang hamba adalah melakukan pengagungan kepada Allah SWT, di mana pengagungan itu dapat menghalang-halangi antara dia dengan maksiat sesuai dengan ingatannya kepada nikmat-Nya itu.

Kemudian, kata Al-Ghazali dalam Minhajul Abidin, mengimbangi pengagungan itu dengan rajin, taat dan bersungguh-sungguh dalam berkhidmat kepada-Nya. Karena rajin, taat dan berkhidmat kepada Allah SWT termasuk di antara hak nikmat. Maka, menjaga diri dari kemaksiatan menjadi sebuah keharusan bagi setiap hamba-Nya.

EH/Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *