Satu Islam Untuk Semua

Sunday, 09 September 2018

Menjalani Laku Tasawuf Tanpa Irfan, Mungkinkah?


islamindonesia.id – Menjalani Laku Tasawuf Tanpa Irfan, Mungkinkah?

 

 

Kisah permohonan Nabi Musa mengikuti Nabi Khidir melegenda, khususnya dalam dunia Islam. Musa ingin mengikuti manusia saleh pilihan Allah itu untuk belajar padanya.

Namun Khidir menyaratkan satu hal. “Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu pun sehingga aku sendiri menerangkannya kepadamu.” (Surah Al-Kahfi : 70)

Dalam perjalanan, Musa menyaksikan Khidir menyikapi peristiwa dengan cara aneh. Tindakan yang tampak di luar akal sehat itu tidak hanya sekali dilakukan oleh Khidir.

Akhirnya, Musa tidak kuat menahan diri untuk bertanya padanya. Namun ‘pelanggaran’ Musa ini telah diingatkan oleh Khidir sebelum kedunya memulai perjalanan.

“Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup bersabar bersama-samaku.” (Surah Al-Kahfi : 67). Di tengah perjalanan, Khidir pun mengucapkan salam perpisahan sebelum meninggalkan Musa.

Menurut penulis buku Belajar Hidup dari Rumi, Haidar Bagir, ketidaksabaran Musa lantaran belum memiliki ilmu yang dibutuhkan dalam perjalanan itu. Karena itu, kisah ini mengajarkan urgensi ilmu dalam mencari hakikat.

“Makin lengkap ilmu kita, makin lurus jalan yang kita tempuh,” kata Haidar dalam Kajian Irfan di kanal Youtube Pesantren Tasawuf Virtual Nur al-Wala. “Lebih dari itu, orang yang memiliki ilmu itu dapat bersikap sabar”

Perjalanan ruhani munuju hakikat disebut suluk. Orang Jawa bisanya menyebutnya laku Tasawuf.

Walaupun puncak bertasawuf itu suluk, namun ilmu Tasawuf tetap dibutuhkan. Dalam hal ini, irfan – yang bermakna: ilmu bertasawuf – memiliki peran penting.

Irfan dan makrifat, secara umum, memiliki akar kata yang sama (‘arafa-ya’rifu) dengan makna: mengetahui atau mengenali. “Pengetahuan yang dimaksud di sini adalah pengenalan tentang Allah dan hakikat segala sesuatu yang tidak lain tercipta sebagai pancaran manifestasi-Nya,” kata Haidar

Di sisi lain, sebagian orang yang belajar irfan mudah terjebak dengan puas diri. Apalagi, mereka belajar Irfan namun terjatuh dalam lubang yang bernama: ujub, riya dan angkuh.

Mereka yang merasa memiliki irfan lebih tinggi di banding orang awam. Sedemikian angkuhnya sehingga mereka merasa lebih pantas ber-suluk dibandingkan orang yang tak berilmu. “Kita belajar irfan namun justru menjadikan ilmu sebagai hijab yang menghalangi kita menjalani suluk yang benar,” katanya. “Padahal kita belajar irfan untuk menjalani suluk dengan benar.”

Selain itu, hal penting yang perlu diingat: orang yang sampai pada hakikat-Nya terdiri dari dua kelompok. Pertama, orang yang menjalani suluk dengan ilmu dan “ditarik” oleh Allah.

Menurut Haidar, tidak ada orang yang dapat sampai kepada-Nya kecuali ia ditarik oleh Allah. “Tidak ada orang yang dapat mendakati Allah secara sendirian.” ujar pengajar Irfan dan Filsafat Islam ini.

Allah melihat upaya pesalik sebelum akhirnya menariknya mendekatNya. Allah mencintainya lalu menariknya.

Kedua, ada pula orang yang tak pernah belajar irfan, belum menjalani suluk, namun ditarik oleh Allah. Setelah ditarik, ia baru menjalani suluk.

“Sebetulnya, semua sufi atau arif pasti ditarik oleh Allah,” ujarnya. “Karena itu, seorang arif kadang kala disebut al arif billah yang berarti: menjadi arif karena Allah.”[]

 

[Baca juga: Perbedaan Irfan dan Tasawuf]

 

 

 

YS/Islamindonesia/Ilustrasi: deviantart.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *