Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 19 March 2014

Memulai Perjalanan Kembali Kepada Allah (Bagian 2)


henydwi.wordpress.com

Kita hidup di dunia tak lain hanyalah seorang musafir, yang duduk dan beristirahat di bawah naungan pohon dan kemudian bangkit dan meninggalkannya—Rasul Saw.

 

Hati Mengambang Bebas

Hati ibarat sebuah mesin gelembung. Mesin terlihat sederhana dengan baterai bertenaga mesin yang ketika diisi dengan gelembung-sabun cair dan dinyalakan, ratusan gelembung akan bergerak secara otomatis memenuhi ruangan.

Masing-masing lingkup transparan mengambang tinggi dan lebih tinggi ke langit-langit. Lalu, apa yang terjadi ketika tanah dimasukkan dalam gelembung itu? Tentu akan berat dan tidak lagi mampu terbang tinggi, begitu pun dengan hati apabila diisi dengan sampah kehidupan, atau tumpukan keinginan duniawi, hati tidak akan memulai untuk segera melakukan perjalanan.

Sehingga, untuk memulai kembali kepada-Nya, hati kita diharuskan bersih, transparan, dan ringan, seperti gelembung itu, yang bergerak ke atas melakukan perjalanan secara bebas pada-Nya.

Syurga di Dunia

Dengan demikian, ketika kita membiarkan hati ini terikat oleh hal-hal duniawi, pada dasarnya telah membebani hati kita dan mencegahnya dari melakukan perjalanan secara bebas kepada Allah. Ibadah kita akan terasa lebih berat, bahkan pada saat kita ingin melakukan perbuatan baik. Kedekatan ini Allah gambarkan sebagai balasan untuk mendapatkan syurga.

Namun, ketika kita melatih jiwa kita dan menyucikannya, kita membiarkan hati kita untuk terbebas dari keterikatan kehidupan duniawi ini dan mengapung lebih tinggi dalam kedekatan menuju Allah. Kedekatan ini Allah telah gambarkan sebagai rasa syurga, di dunia ini.

Shiekh al Islam, Ibnu Taimiyyah, mengatakan, syurga di dunia ini pada dasarnya bergantung pada kondisi hati kita.

“Siapa pun yang mengedepankan syurga di dunia, maka ia tidak akan masuk syurga di akhirat.”

Bagaimana kemudian seseorang mulai melakukan perjalanan dari hati?

Seperti usaha apapun, langkah pertama merupakan hal yang paling penting, yakni untuk mendapatkan tujuan yang jelas, maka kita memohon pada Allah untuk membimbing perjalanan kita kepada-Nya. Terlalu sering, kita hanya mengandalkan diri sendiri untuk mencapai tujuan kita. Kita lupa bahwa hanya dengan izin Allah, kita bisa mencapai apa yang kita inginkan. Berdoa kepada Allah, memohon kepada-Nya dan meminta bimbingan-Nya.

Langkah kedua adalah berpikir seperti seorang musafir. Nabi Muhammad sering menggunakan metafora seorang musafir dalam perjalanan ketika membahas bagaimana seseorang harus melihat dirinya sendiri dalam kehidupan ini. Dalam hadits, Rasul bersabda,

“Kita hidup di dunia tak lain hanyalah seorang musafir, yang duduk dan beristirahat di bawah naungan pohon dan kemudian bangkit dan meninggalkannya.” (At- Tirmidzi, 2377)

Bayangkan jika Anda hendak melakukan perjalanan panjang. Anda mungkin akan sangat selektif dan sangat berhati-hati dengan apa yang akan Anda bawa, apa yang akan masuk dalam daftar barang bawaan, agar semua itu tidak membebani diri dengan bagasi yang tidak perlu.

Sama seperti seorang musafir mencoba untuk tidak membebani dirinya dengan bagasi yang tidak perlu, demikian juga seharusnya Muslim, tidak akan membawa terlalu banyak di dunia ini dalam hatinya.

Artinya, Muslim harusnya hanya mengambil sesuatu yang memang sudah mencukupi bagi hidupnya, dan tidak disibukkan oleh hal-hal lain yang justru menambah haus lagi pada dunia.
Sama seperti traveler yang tiba di tempat tujuan terakhirnya, demikian juga seharusnya Muslim.

Dan meskipun ada banyak hal yang dibuat agar terlihat menarik dalam hidup ini (seperti kekayaan, anak, jabatan, dan kekuasaan), yang menyebabkan keasyikan tersendiri bagi Muslim, mereka mungkin begitu berat meninggalkan semua itu, sehingga memperlambat atau bahkan menghentikan sama sekali niat kita untuk “hijrah” pada jalan-Nya.

Dan seperti traveler yang tiba di tempat tujuan terakhirnya, demikian juga seharusnya Muslim, peduli dengan kondisi sekitar dan memastikan apa yang ia lakukan dapat bermanfaat bagi sesama makhluk, hingga kelak bisa diizinkan untuk memasuki syurga-Nya. Ini berarti mereka akan memenuhi perintah-perintah Allah dan meninggalkan apa-apa yang dilarang Allah.

Terakhir, kita harus memahami dari mana kita hendak melakukan perjalanan, sehingga kita sampai pada tempat tujuan yang benar.

Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (Qs. Al-Mulk: 2)

Jadi kehidupan ini, perjalanan ini, benar-benar merupakan ujian. Kita harus memahami hal ini dan pendekatan seperti itu, jika tidak kita akan sangat kecewa ketika semuanya berjalan tidak seperti yang kita rencanakan. Kita akan gagal melihat bahwa dalam segala sesuatu yang terjadi pada kita dan segala sesuatu yang tidak terjadi pada kita adalah ujian dari Allah, dan jika kita tidak melihat bahwa itu ujian, kita akan mengalami kesulitan dalam melewati itu.

Melalui jalan mana kita melakukan perjalanan, telah jelas tercantum dalam ayat-ayat yang tak terhitung jumlahnya dalam Qur’an.

Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur.  Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (Qs. Al-Hadid: 20)

Dunia ini tidak abadi, hanya bersifat sementara. Hal-hal yang dibuat agar terlihat menarik bagi kita pada akhirnya akan memudar. Mengingatkan diri dalam hal ini sangat penting, sehingga kita dapat mendekati dunia dengan sikap yang benar, yaitu, “Aku tahu aku akan meninggalkan tempat ini,”

Ini adalah langkah awal yang bisa kita ambil untuk membantu memurnikan hati kita.  

 

Sumber: On Islam

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *