Satu Islam Untuk Semua

Thursday, 17 September 2015

KISAH – Hari Pertama Sang Muallaf


Alkisah, seorang Muslim bernama Amir bertetangga dengan seorang Nasrani bernama Samir. Keduanya hidup rukun dan saling memberikan perhatian. Tidak jarang mereka saling bertukar pandang tentang keyakinannya masing-masing. Hingga suatu ketika Amir yang  saleh membicarakan sesuatu tentang Islam, yang membuat Samir memutuskan memeluk Islam.

Menjelang tengah malam, terdengar suara dari balik pintu rumah Samir. Tidak lama kemudian, pintunya diketuk pelan oleh seseorang. Samir yang telah memejamkan mata terbangun dan merasa gelisah dengan seseorang yang mengetuk pintu rumahnya tengah malam.

“Siapa ya?” kata Samir.

“Saya Amir, tetanggamu..”

“Ada apa Amir? Mengapa datang tengah malam begini…”

“Ayo cepat, nanti saya jelaskan. Sekarang, ganti pakaianmu dan berwudhulah. Kita akan ke masjid…”

Samir mengganti pakaiannya dan pergi ke halaman depan tempat Amir menunggu untuk berwudhu. Inilah air wudhu pertama Samir. Setelah itu muallaf ini mengikuti temannya berjalan menuju ke masjid.

“Ini adalah waktu yang paling baik untuk salat Sunah Tahajjud,” kata Amir.

Samir mengikuti apa yang dikatakan temannya itu. Mereka menghabiskan malam dengan sholat hingga menjelang adzan Subuh. Setelah Adzan dan Iqamah, mereka berdua melanjutkan sholat Subuh. Tidak lama setelah selesai salat Subuh, Samir beranjak keluar masjid.

“Mau kemana?” tanya Amir yang menghentikan langkah Samir.

“Pulang ke rumah. Kita sudah selesai salat Subuh dan saya pikir tidak ada lagi yang perlu saya lakukan.”

“Tunggulah sejenak, sebaiknya kita berdzikir dan berdoa setiap selesai salat.”

“Baiklah.”

Amir memimpin dzikir dan doa hingga terbit matahari. Ketika cahaya matahari menyingsing, Amir memberikan Alquran ke Samir. “Bacalah ini hingga matahari agak meninggi. Saya juga menyarankan untuk berpuasa hari ini. Tahukah kamu bahwa betapa banyak pahala yang kita dapatkan dari puasa Sunah?”

Samir mengikuti apa yang dikatakan Amir. Sambil menahan lapar, Samir membaca Alqur’an hingga mendekati waktu Dzuhur. Setelah membaca Alqur’an, Amir berkata, “Waktu salat dzuhur sudah dekat. Mari kita bersiap untuk salat.”

Setelah salat Dzuhur, Amir berkata lagi, “Waktu Asar tidak begitu lama, supaya kita bisa salat tepat waktu sebaiknya kita menunggunya di masjid saja. Lebih baik lagi jika sambil berdzikir atau membaca Alquran.”

“Sebentar lagi Magrib tiba,” kata Amir yang lagi-lagi menyarankan Samir untuk tetap di masjid. Waktu Magrib tiba, dan mereka buka puasa bersama.

“Satu salat lagi yang belum, namanya salat Isya,” kata Amir sambil mempersilahkan Samir duduk sejenak menunggu waktu Isya. Setelah salat Isya, mereka pulang ke rumahnya masing-masing.

Pada jam yang sama di tengah malam, Samir mendengar seseorang mengetuk pintu rumahnya.

“Siapa ya..?”

“Saya Amir, tetanggamu. Jangan lama-lama, ganti pakaianmu dan ambillah air wudhu. Kita pergi ke masjid sekarang…”

“Ketika saya pulang dari masjid tadi malam, saya sudah keluar dari agamamu. Tolong jangan ganggu saya lagi dan carilah orang lain yang menganggur dan bisa menghabiskan waktunya seharian di masjid. Saya ini orang miskin yang punya istri dan anak. Karena itu, saya harus mencari nafkah.”

Setelah menyampaikan kisah ini, seorang sufi berpesan ke murid-muridnya, “Dengan cara ini, seorang Muslim telah ‘menendang keluar’ dari Islam orang yang telah ia bawa masuk Islam. Seharusnya kita peka terhadap keadaan orang lain sehingga tidak mengusik orang lain apalagi dengan sesuatu yang tidak wajib. Dengan mengetahui posisi dan kapasitas orang lain, kita mampu bersikap yang proporsional. Dengan demikian orang lain tidak lari dari agama ini. Bukankah kalian telah mengetahui pemerintahan Dinasti Umayah yang didasarkan pada pemaksaan, kekerasan dan intimidasi? Berbeda dengan ajaran Islam yang seharusnya didasarkan pada keramahan, kebijaksanaan dan menjunjung tinggi persaudaraan.”

Edy/IslamIndonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *