Satu Islam Untuk Semua

Friday, 07 April 2023

Kisah Guru Hidr dan Kehidupan Mojud yang Tak Terpahami


islamindonesia.id – Pada zaman dahulu, ada seorang benama Mojud. Ia hidup di sebuah kota kecil dan bertugas sebagai seorang pegawai rendahan, dan tampaknya kelak ia akan menjabat sebagai Pengawas Timbangan dan Ukuran.

Pada suatu hari, ketika ia sedang berjalan-jalan melewati kebun sebuah gedung kuno di dekat rumahnya, Khidr, Penuntun Para Sufi yang gaib, muncul di hadapannya, berpakaian hijau bercahaya.

Khidr berkata, “Orang yang berpengharapan cemerlang! Tinggalkan tugasmu dan temui aku di pinggir sungai tiga hari lagi.”

Kemudian, bayangan itu pun lenyap. Mojud menghadap atasannya dengan ragu bercampur takut dan berkata bahwa ia harus meninggalkan tugasnya. Semua orang di kota kecil itu segera mendengar perihal itu dan berkata, “Mojud malang! Ia pasti sudah gila.”

Akan tetapi, karena ada banyak orang yang bisa menggantikan pekerjaan yang ditinggalkannya itu, orang-orang pun segera melupakannya.

Pada hari yang ditentukan, Mojud bertemu Khidr, yang berkata, “Lepas pakaianmu dan ceburkan dirimu ke sungai. Mungkin ada seseorang yang akan menolongmu naik.”

Mojud berbuat demikian, meskipun ia bertanya-tanya, jangan-jangan dirinya memang sudah gila. Karena bisa berenang, ia tidak tenggelam, tetapi terbawa arus cukup jauh sebelum seorang nelayan menariknya ke perahunya, dan berkata, “Orang tolol! Arus sungai begitu kuat. Apa yang mau kau lakukan dengan berhanyut-hanyut ini?’

Mojud berkata, “Saya juga tidak tahu pasti.”

“Kau ini gila,” kata Si Nelayan, “Nah, kau boleh singgah di gubuk buluhku di sungai sebelah sana, nanti kita pikir lagi apa yang bisa dilakukan untukmu.”

Ketika nelayan itu mengetahui bahwa Mojud halus budi bahasanya, ia pun belajar membaca dan menulis darinya. Sebagai gantinya, Mojud diberi makan dan bisa membantu nelayan itu melaut.

Setelah beberapa bulan, Khidr pun muncul, kali ini di tepi tempat tidur Mojud, katanya, “Bangun sekarang juga dan tinggalkan Si Nelayan. Kau akan dibekali untuk perjalananmu.”

Mojud pun buru-buru meninggalkan pondok itu, berpakaian seperti seorang nelayan, dan terus bertanya-tanya dalam hati hingga ia sampai di jalan besar.

etika fajar, dilihatnya seorang petani di atas seekor keledai sedang bergerak menuju pasar.

“Apa Saudara mencari pekerjaan?’ tanya petani itu. “Saya butuh seseorang untuk menolongku membawakan belanjaan.”

Mojud pun mengikutinya. Ia bekerja pada petani itu hampir dua tahun lamanya, dan belajar banyak hal tentang pertanian, selain itu, tidak.

Pada suatu sore, katika ia sedang membungkus wol, Khidr muncul dan berkata, “Tinggalkan pekerjaan itu, pergilah ke Kota Mosul, dan gunakan tabunganmu untuk menjadi seorang pedagang kulit.”

Mojud pun patuh. Di Mosul, ia menjadi terkenal sebagai seorang saudagar kulit. Ia berdagang dan tak pernah melihat Khidr tiga tahun lamanya.

Ia telah mendapatkan sejumlah uang yang cukup banyak, dan sedang berpikir membeli sebuah rumah ketika Khidr muncul lagi dan berkata, “Sini uangmu; pergilah dari kota ini ke Samarkand yang jauh, dan di sana bekerjalah sebagai seorang penjual bahan makanan.”

Mojud melakukannya. Kini, ia mulai menunjukkan tanda-tanda pasti adanya pencerahan. Ia menyembuhkan yang sakit, melayani sesama manusia di toko dan sepanjang waktu senggangnya, dan pengetahuannya mengenai berbagai hal gaib semakin mendalam.

Para pendeta, filsuf, dan yang lain, menemuinya dan bertanya, “Siapa gerangan gurumu?”

“Hal itu sulit dikatakan,” kata Mojud.

Para pengikutya bertanya, “Bagaimana Tuan memulai pengabdian?”

Katanya, “Sebagai seorang pegawai rendahan.”

“Lalu, Tuan berhenti agar bisa bertekun dalam penyangkalan diri?”

“Tidak, saya hanya berhenti saja.”

Orang-orang itu tidak bisa memahami tindakannya. Mereka pun mendekatinya untuk menuliskan kisah kehidupannya.

“Apa yang telah Tuan alami dalam hidup Tuan?” tanya mereka.

“Saya terjun ke sebuah sungai, menjadi seorang nelayan, lalu pada suatu malam pergi meninggalkan gubuk buluh milik nelayan yang menolongku. Setelah itu, saya menjadi seorang petani. Ketika sedang mengepak kain wol, saya beranjak pergi ke Mosul, di mana saya menjadi seorang saudagar kulit. Di sana saya mendapat banyak uang, namun melepaskannya juga. Kemudian, saya berjalan ke Samarkand dan bekerja menjual bahan pangan. Dan, di sinilah saya kini.”

“Namun, perilaku-perilaku yang tak terpahami itu tidak memberikan penerangan atas kemampuanmu yang ajaib dan teladanmu yang mengagumkan,” kata para penulis riwayat itu.

“Hanya itu pengalaman-pengalamanku,” kata Mojud.

Begitulah, para penulis tadi menyusun bagi Mojud, sebuah kisah kehidupan yang menarik dan menakjubkan, sebab semua orang suci harus mempunyai kisah kehidupan, dan ceritanya harus sesuai dengan selera pendengarnya, bukan kenyataan kehidupannya yang sebenarnya.

Dan, tak ada orang yang diperbolehkan menyinggung tentang Khidr secara langsung. Itulah sebabnya mengapa kisah tersebut tidak benar. Kisah itu merupakan suatu gambaran mengenai sebuah kehidupan. Kisah ini merupakan kisah nyata tentang kehidupan salah seorang sufi terbesar yang pernah hidup.

Syaikh Ali Farmadhi (meninggal tahun 1078) menganggap kisah ini penting dalam menjelaskan kepercayaan sufi bahwa “dunia tak kasat mata” selalu menembus kenyataan sehari-hari, pada setiap saat, di berbagai tempat. Hal-hal, katanya, yang kita anggap tak terpahami, sebenarnya bisa ditelisik pada campur tangan di atas.

Lebih lanjut, orang-orang tidak mengenali keterlibatan “dunia” ini dalam dunia kita, sebab mereka yakin bahwa mereka mengetahui penyebab senyatanya dari berbagai peristiwa. Padahal sebenarnya tidak. Hanya jika mereka bisa menyimpan dalam pikiran mereka tentang kemungkinan adanya dimensi lain yang terkadang bergesekan dengan pengalaman-pengalaman sehari-hari manusia, barulah dimensi ini bisa mereka dapati.

Syaikh Ali merupakan Syekh kesepuluh dan guru pengajaran dari tarekat Khwajagan (“Para Guru”), yang belakangan dikenal sebagai tarekat Naqshbandi. Versi ini berasal dari naskah abad ketujuh belas milik Lala Anwar, Hikayt I Abdalan (Kisah Para Terubahkan).

EH/Islam Indonesia – Dinukil dari Idries Shah, Tales of The Dervishes, The Octagon Press, London, penerjemah Ahmad Bahar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *