Satu Islam Untuk Semua

Monday, 15 February 2016

KHAS – Serial Hikayat Si Bahlul (3)


Saudagar dan Penjual Minyak Wangi

Setelah waktu zuhur sinar matahari sangat terik di atas langit Baghdad. Kebanyakan orang berdiam diri di rumah mereka pada waktu-waktu seperti ini karena suhu panas yang tak tertahankan. Oleh karena itu, sudut-sudut kota menjadi tenang dan sunyi.

Biasanya tidak lama setelah suhu panas berakhir, jalan-jalan yang sepi itu akan dipenuhi oleh lalu lalang manusia dan hiruk pikuk aktifitas jual beli. Namun kali ini, di waktu yang sepi dan terik ini terdengar langkah kaki menjejak bumi seribu satu malam dengan derai air mata dan putus asa. Walau cuaca begitu panas, dia menangis di salah satu gang sempit di kota Baghdad.

Munculnya suara kesedihan dan rintihan dari seorang miskin yang melintasi sudut kota yang sangat panas adalah hal yang jarang terjadi. Dia berhenti di pojok jalan sambil menumpahkan segala dukanya dan menyandarkan kepalanya di tembok yang rapuh. Tak lupa ia pun membawa sapu tangannya untuk menghapus derasnya air mata.

“Apakah gerangan yang membuatmu sedih, kawan?” demikian pertanyaan yang menggelayuti pikiran Si Bahlul.

Hampir semua penduduk Baghdad pernah mendengar sosok Si Bahlul. Dia seorang ‘alim, ahli ibadah, seorang beriman, dan tidak cinta dunia. Dia telah berjanji mewakafkan dirinya untuk menolong kaum tertindas dan membela mereka meskipun dengan kegilaannya yang tidak diakui orang banyak.

Tingkah lakunya selalu saja menggelitik akal, namun hanya sedikit manusia yang memahami rahasia di balik perilakunya itu.

Nah, orang yang menangis tersedu-sedu ini sama sekali tidak mengenal sosok si Bahlul bahkan belum pernah mendengarnya. Di kota Baghdad, hanya Si Bahlul saja yang berjalan di tengah teriknya matahari. Maka berjumpalah kedua orang ini dan terjadi percakapan di antara mereka.

Aku mohon kepadamu tuan, usah kau tanya hal yang menimpaku. Menceritakannya hanyalah menambah deritaku! Hanya kepada Allah saja aku mengeluh duka lara.” tukas sang pemuda.

Si Bahlul merangkul sang pemuda seraya berkata, “Benar bahwa Allah semata tempat mengadu seluruh hamba, namun boleh jadi Allah jua yang melepaskan belenggu kesusahan dengan perantara diriku.

Sang pemuda penuh kesusahan menghela nafas seraya berkata, “Baiklah tuan. Aku ceritakan kepadamu…. Aku datang ke Baghdad membawa harta dalam jumlah besar yang telah aku kumpulkan sepanjang hidupku sebagai modal untuk berdagang. Dengan begitu, aku berharap memperoleh keuntungan yang berlipat ganda. Karena seringnya aku berkeliling mencari-cari barang-barang yang aku ingin beli, maka aku putuskan untuk menyimpannya di dalam tembikar. Kemudian aku putuskan menitipkannya kepada penjual minyak wangi di pasar. Aku melakukannya untuk menghindari pencuri dan kehilangan.

Sang pemuda terdiam sejenak dan Si Bahlul mulai mengerti dan menatapnya penuh rasa penasaran. Sang pemuda melanjutkan kisahnya, “Demikian tuan, lalu aku membawa tembikar berisi hartaku dan menuju kios penjual minyak wangi yang menyiratkan wajah takwa dan jujur. Aku tidak mempercayai orang selainnya yang amanah menjaga hartaku… namun… sungguh aku menyesalinya!”

Kalimat itu mencekik sang pemuda dan mulai menghempaskan tangisnya seperti semula. Si Bahlul tanpa perlu mendengar kisah selanjutnya, ia telah memahami akhir cerita. Bahwa sang penjual minyak wangi mengingkari titipan saudagar malang tatkala ia memintanya kembali.

Si Bahlul berpikir sejenak dan menemukan jalan keluar sebelum mengerlipkan matanya. Ia pun berkata, “Simpanlah air matamu tuan, alhamdulillah aku telah mendapatkan cara memperoleh kembali seluruh hartamu secara utuh. Percayalah kepadaku dan jangan bersedih.

Kemudian Si Bahlul menanyakan alamat penjual minyak wangi yang dititipkan harta saudagar malang itu. Mereka sepakat untuk berangkat ke sana keesokan paginya sebelum matahari meninggi. Mereka juga sepakat pergi sendiri-sendiri seolah-olah tidak pernah berjumpa sebelumnya.

Sang saudagar bertanya, “Ketika aku melihatmu apa yang harus aku katakan?

Si Bahlul menjawab, “Ketika engkau melihatku, jangan menyapaku sedikit pun. Engkau hanya meminta harta titipanmu kepada penjual minyak wangi, tidak lebih!

Sang saudagar mulai tenang hatinya, tidurnya pun nyenyak setelah diyakinkan hartanya akan kembali kepadanya.

Hari berikutnya, sebelum matahari meninggi, Si Bahlul mengenakan pakaian yang indah dan mahal. Ia mengubah tampilannya supaya tidak dikenali oleh pedagang minyak wangi. Kemudian ia pergi ke kedai sang penjual minyak wangi dengan tembikar di tangannya yang pada masa itu, umumnya untuk menyimpan pundi-pundi harta.

Si Bahlul mengucapkan salam kepada penjual minyak wangi dan berkata, “Sesungguhnya aku bertekad melakukan perjalanan jauh dengan izin Allah ke Khurasan.

Wajah penjual minyak wangi mulai sumringah mendengarkan Si Bahlul dan berharap ia melanjutkan pembicaraannya. Si Bahlul pun berkata, “Oleh karena itulah aku datang kepadamu mengingat kesulitan yang aku alami. Aku pernah mendengar keutamaanmu dan terpercaya menurut beberapa orang. Semoga Allah menjadikanmu sebagai penolongku.

Penjual minyak wangi pun senang bukan kepalang mendengarnya. Namun begitu dia merasa Si Bahlul masih belum yakin untuk menitipkan amanat kepadanya. Maka dia mencoba meyakinkan Si Bahlul, “Aku akan membantu anda tuan atas segala hal yang anda inginkan. Namun anda tidak perlu risau dan berpanjang kata, mengingat pekerjaanku menumpuk. Kiriman sedang dalam perjalanan ke sini.

Penjual minyak wangi mengatakannya sambil menata botol-botol di rak kedainya. Sementara Si Bahlul menggenggam erat tembikar yang mahal dan dipenuhi perhiasan dalam benaknya.

Bahlul berkata, “Dengar wahai orang saleh. Di dalam tembikarku ini perhiasan senilai tiga puluh dinar emas. Jumlah itu sama saja dengan harta karun sebagaimana anda memakluminya.

Si Bahlul mengelabui perasaan penjual minyak wangi karena ia tahu keserakahannya atas harta. Lalu ia melanjutkan, “Ketika aku mendengar sifat terpercaya anda mengemban amanat, dan yang terbaik menurutku adalah menitipkan perhiasan ini kepadamu karena khawatir tercuri atau hilang dalam perjalananku menuju Khurasan. Bagaimana menurutmu?

Alangkah senangnya sang penjual minyak wangi mendengar ucapan Si Bahlul. Tetapi ia berhasil menutupi rasa senangnya di hadapan Si Bahlul. Dia segera mengatakan, “Sungguh engkau akan membebaniku dengan menjaga amanah dalam jumlah sangat besar. Namun biarlah. Aku akan memikulnya semata karena kecintaanku demi meraih pahala dari Allah swt.

Saat itu tibalah saudagar malang ke kedai penjual minyak wangi. Ketika ia masuk, Si Bahlul sedang mengeluarkan isi tembikarnya beberapa perhiasan di atas meja di hadapan keduanya. Tentu saja semuanya merupakan perhiasan palsu yang terbuat dari kaca yang murah!

Sungguh dilematis keadaan yang dihadapi oleh penjual minyak wangi. Yang tersulit adalah menutupi kesenangannya memperoleh harta titipan seperti ini. Namun bersamaan dengan itu, tanpa sempat memeriksa keaslian perhiasan itu, ia harus mengalihkan perhatiannya kepada saudagar yang menyapanya, “Aku datang hendak memintamu mengembalikan amanah yang pernah aku titipkan kepadamu.

Tentu saja sang penjual minyak wangi tidak dapat mengingkari titipan saudagar itu. Seandainya ia lakukan hal itu, maka ia akan mengalami kerugian karena tidak memperoleh titipan saudagar lain berupa tembikar berisi perhiasan dalam jumlah besar dan mahal. Maka ia memutuskan untuk mengorbankan titipan sebelumnya dan mengambil titipan yang berjumlah setara dengan tiga puluh dinar emas – pikirnya.

Sang penjual minyak wangi segera mengutus pelayannya untuk mengantar titipan saudagar yang sebelumnya ia ingkari.

Sementara Si Bahlul tetap berbincang-bincang di kedai sehingga pelayan mengembalikan titipan saudagar yang keluar dari kedai dengan riang gembira. Setelah itu Si Bahlul menyerahkan tembikarnya kepada penjual minyak wangi dan berterima kasih kepadanya karena mau menjaga amanahnya. Lalu keluar dari kedai!

Apa gerangan yang terjadi atas penjual minyak wangi? Dia sabar menunggu pelayannya berlalu dan mengeluarkan isi tembikar Si Bahlul berharap perhiasan-perhiasan mahal dan menghitungnya sendirian.

Alangkah malangnya!!

Ia mendapatkan tembikar itu penuh dengan kaca yang disepuh, kerikil berwarna-warni, dan perhiasan-perhiasan palsu!

Ia pun tersadar dan mengingat-ingat paras Si Bahlul dan menerka-nerka dimana pernah bertemu dengannya sebelumnya. Dia mirip dengan orang yang dikenal dengan baik oleh warga Baghdad.

Ya. Ya. Dia adalah Bahlul!” gumamnya. Dialah orang gila yang tidak ada orang melebihi kepandaiannya.

Namun sayang sekali penjual minyak wangi tidak dapat mengulang peristiwa itu.[]

MK/IslamIndonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *