Satu Islam Untuk Semua

Saturday, 16 January 2016

HIKMAH – Kebenaran dan Kurangnya Kebijakan


Suatu hari ketika Ali Bin Abi Thalib sedang berada di medan pertempuran, pedang musuhnya patah dan pemiliknya terjatuh dari kuda. Ali lalu leluasa berdiri di atas musuhnya itu. Dia meletakkan pedangnya ke dada lawannya, lalu berkata, “Jika pedangmu berada di tanganmu, maka aku akan lanjutkan pertempuran ini, tapi karena pedangmu patah, aku tidak boleh lagi menyerangmu.”

“Kalau aku punya pedang saat ini, aku akan memutuskan tangan dan kakimu,” kata lawan yang sudah tak berdaya itu.

“Baiklah kalau begitu,” kata Ali. Seketika itu dia menyerahkan pedangnya ke tangan lawannya.

“Apa yang kau lakukan?” Musuh itu kebingungan. “Bukankah aku ini musuhmu?”

Ali menatapnya dalam-dalam. “Kau telah bersumpah bila memiliki sebuah pedang di tanganmu, maka engkau akan membunuhku. Sekarang engkau telah memiliki pedangku, karena itu majulah dan seranglah aku”.

Tapi sang lawan sama sekali tak kuasa.

“Itulah kebodohanmu dan kesombonganmu dalam berkata-kata,” kata Ali kemudian. “Di dalam agama Allah, tidak ada perkelahian atau permusuhan antara engkau dan aku. Kita bersaudara. Perang yang sebenarnya adalah antara kebenaran dan kurangannya kebijakanmu. Yaitu antara kebenaran dan dusta. Engkau dan aku sedang menyaksikan pertempuran itu. Engkau adalah saudaraku. Jika aku menyakitimu dalam keadaan seperti ini, maka aku harus mempertanggung jawabkannya pada Hari Kiamat. Allah akan mempertanyakan hal ini kepadaku.”

“Inikah cara Islam?” Lawan yang terperangah itu tergerak bertanya.

“Ya,” jawab Ali, “Ini adalah firman Allah yang Mahakuasa, dan Sangat Unik.”

Lawan itu tersungkur di kaki Ali dan memohon, “Ajarkan aku syahadat.”

Kejadian serupa pernah terjadi di pertempuran lain. Ali berhasil menjatuhkan lawannya. Dia meletakkan kaki di atas dada lawannya dan menempelkan pedangnya ke leher. Tapi dia menghabisinya.

“Mengapa engkau tidak membunuhku?” Lawan itu berteriak marah.

“Aku adalah musuhmu. Mengapa engkau hanya berdiri saja?” Kemarahannya memuncak. Dia meludahi wajah Ali.

Ali menahan geram. Tapi, sesaat kemudian, dia mengangkat kakinya dari dada orang itu dan menarik pedangnya.

“Aku bukan musuhmu,” katanya menasehati. “Musuh yang sebenarnya adalah sifat-sifat buruk yang ada dalam diri kita. Engkau adalah saudaraku, tetapi engkau meludahi wajahku. Ketika engkau meludahiku, aku menjadi marah dan keangkuhan datang kepadaku. Jika aku membunuhmu dalam keadaan seperti itu, maka aku akan menjadi seorang yang berdosa, seorang pembunuh. Aku akan menjadi seperti semua orang yang kulawan. Perbuatan buruk itu akan terekam atas namaku. Itulah sebabnya aku tidak membunuhmu.”

“Kalau begitu tidak ada pertempuran antara engkau dan aku?”

“Tidak… Pertempuran adalah antara kearifan dan kesombongan. Antara kebenaran dan kepalsuan, meskipun engkau telah meludahiku, dan mendesakku untuk membunuhmu, aku tidak boleh melakukannya.”

“Dari mana datangnya ketentuan semacam itu?”

“Itu ketentuan Allah. Itulah Islam.”

Dengan segera orang itu tersungkur di kaki Ali dan mengucapkan dua kalimat syahadat.

Dua kejadian itu senafas dengan nasihat Ali pada sahabatnya yang dia tunjuk sebagai Gubernur Mesir, Malik Alasytar: “Wahai Malik…Saudaramu ada dua, satu saudaramu seagama, dan kedua saudaramu sesama manusia.” []

MH/Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *