Satu Islam Untuk Semua

Sunday, 24 June 2018

Cinta Menurut Imam Al-Ghazali


islamindonesia.id – Cinta Menurut Imam Al-Ghazali

 

Menurut Imam Al-Ghazali cinta terbagi ke dalam empat jenis tingkatan, yaitu:

Tingkatan Pertama. Seorang manusia dicintai karena memiliki kelebihan. Ada kemungkinan bahwa seseorang dapat menjadi objek cinta orang lain dengan cara yang alami, ketika seseorang melihat seorang lainnya, mengenalnya, dan menganggapnya baik setelah melihat karakter dan tingkah lakunya. Segala sesuatu yang indah adalah objek kesenangan bagi seseorang yang mencintai keindahan. Ada hal lainnya mengenai cinta, yaitu kualitas internal.

Orang terpelajar berkata, bahwa Allah, setelah menciptakan jiwa, membiarkan mereka terbang di udara dan mereka berkeliaran di sekeliling singgasana. Jiwa-jiwa yang saling mengenal di udara saling bertemu di dunia dan saling mencintai.

Nabi Muhammad SAW berkata: “Jiwa dua orang yang beriman bertemu satu sama lain dari sejak jarak satu hari perjalanan meskipun satu jiwa belum melihat jiwa yang lainnya.”

Orang bijak, Malik bin Dinar berkata: “Dari sepuluh orang, dua orang akan tidak setuju, tetapi jika sifat kedua orang itu sama, mereka akan setuju. Ini membuktikan bahwa seorang akan mencintai orang lain yang memiliki sifat yang sama, bukan untuk mendapatkan keuntungan apa pun, bukan untuk memperoleh kekayaan, tetapi karena sifatnya sama, dan kualitas internalnya sama.”

 

Tingkatan Kedua. Seseorang mencintai sesuatu karena untuk mendapatkan cinta dari yang lainnya. Segala sesuatu yang digunakan untuk mendapatkan rasa sayang, juga menjadi hal yang disayangi. Untuk alasan ini, emas dan perak disayangi manusia meskipun sebenarnya tidak memiliki kegunaan, karena mereka tidak dapat dimakan, juga tidak dapat digunakan sebagai pakaian tetapi itu adalah sarana untuk mendapatkan itu semua.

Jenis manusia ini adalah di antara orang-orang yang mencintai emas dan perak, karena itu dapat digunakan untuk mencapai tujuan, dan karena bantuannya, kekayaan, nama, dan ketenaran dapat diraih.

 

Tingkatan Ketiga. Sesuatu yang dicintai bukan karena dirinya, tetapi untuk hal lain yang bukan untuk kebaikan dunia ini tetapi untuk kebaikan dunia berikutnya. Hal ini terbuka dan bukan rahasia, misalnya, untuk mencintai seorang pembimbing spiritual karena dia menjadi sarana untuk mendapatkan pengetahuan spiritual. Tujuannya adalah untuk mendapatkan kesuksesan di dunia berikutnya.

Nabi Isa AS berkata: “Dia yang memiliki pengetahuan, bertindak sesuai dengan pengetahuannya, dan mengajarkannya kepada orang lain disebut tindakan mulia di dalam dunia spiritual. Pengetahuan tidak lengkap tanpa murid. Jadi, murid adalah sarana guru untuk kesempurnaan. Guru mencintai para murid sebagai ayah. Ini adalah langkah untuk menuju kemajuan.”

Dia yang membelanjakan kekayaannya untuk temannya, memberinya pakaian, memelihara dia dengan makanan, menempatkan dia di sebuah rumah untuk tinggal, dan membantunya dalam segala urusan, adalah sebuah tindakan yang memberinya kesenangan karena untuk pengabdian kepada Ilahi. Siapapun yang diperlakukan seperti itu, sesungguhnya dia telah menjadi objek dari orang tersebut untuk mewujudkan cintanya kepada Allah.

Seseorang harus mencintai kebahagiaan untuk hari esok karena hari esok akan menjadi kondisi keabadian. Jadi penting untuk mencari tahu tentang kondisi yang paling akhir. Ada dua jenis kesenangan di dunia ini. Pertama, kesenangan yang bertentangan dengan kesenangan hari esok dan membuatnya terhambat terhadap kesenangan hari esok. Para Nabi dan orang-orang shaleh sangat berhati-hati terhadap kesenangan jenis ini. Kedua, kesenangan yang tidak bertentangan dengan dunia selanjutnya, dan ini tidak terlarang, misalnya menikah, makan makanan halal, dan lain-lain.

 

Tingkatan Keempat. Cinta karena Allah. Ini adalah cinta yang tidak mementingkan diri sendiri dan tidak berkepentingan. Ini adalah jenis cinta tertinggi, paling rahasia dan halus. Cinta jenis ini dimungkinkan, seolah-olah cinta ini melampaui batas, ia menyebar ke hal-hal yang memiliki hubungan dengan yang dicintai. Seorang kekasih bahkan mencintai hal-hal milik sang terkasih, dan dia bahkan mencintai orang-orang yang dicintai oleh sang terkasih. Seorang kekasih juga mencintai mereka yang melayani sang terkasih. Dia mengasihi orang-orang yang memuji dan memuliakan yang terkasih dan berusaha menyenangkan hati mereka.

Baqiah bin Walid berkata: “Ketika orang beriman mencintai orang beriman, dia bahkan mencintai anjingnya.” Sang pecinta, Majnun, karena itu, menyanyikan:

“Ketika aku pergi ke rumah Laila,

Aku mencium dindingnya.

Cinta bukan untuk dinding,

Tetapi untuk pemiliknya.”

Jika cinta kuat, itu menyebar ke banyak hal lainnya. Cinta untuk Allah serupa. Ketika cinta Allah menyelimuti hati, itu mengendalikan hati dan bahkan menyebar ke segala sesuatu. Sang kekasih kemudian melihat kekuatan-Nya dalam segala hal. Ketika Allah mencintai seseorang, maka dia juga mencintai karya-karyanya, tulisan-tulisannya, dan tindakan-tindakannya.

Dalam sebuah kisah, ketika buah segar dibawa kepada Nabi Muhammad SAW, beliau mengangkatnya ke atas matanya, menghormatinya dan berkata: “Ini telah diadakan dengan bantuan Tuhanku. Kekasih mengurangi kepedihan kekasih.”

Cinta manusia mencapai tingkatan tertingginya ketika mereka berkata: “Kami tidak membedakan antara kesedihan dan kebahagiaan karena semuanya datang dari Allah. Kami merasakan kebahagiaan dalam kesenangan-Nya.”

 

PH/IslamIndonesia/Sumber: Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din Vol.4 (Karachi: Darul-Ishaat, 1993), hlm 92-94.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *