Satu Islam Untuk Semua

Saturday, 30 May 2020

Ateis yang Tulus Bukanlah Ateis


islamindonesia.id – Ateis yang Tulus Bukanlah Ateis

Ateis yang Tulus Bukanlah Ateis

Oleh Faqry Fakhry | Penulis lepas (@FakhryFaqry/Twitter)

Ateisme berasal dari kata a-theism. Maknanya, bersifat nir-Tuhan. Ateis bisa bermakna penolak keberadaan Tuhan, tapi – khususnya di dunia akademik – istilah ini juga bisa dipahami sebagai orang yang berkeyakinan nirtuhan personal.

Di sisi lain ada istilah teis. Maknanya, selain terkait dengan keyakinan yang melibatkan kepercayaan kepada Tuhan, juga bisa dipahami sebagai orang-orang yang memiliki kepercayaan kepada Tuhan yang bersifat personal.

Orang seperti ini tak percaya bahwa Tuhan adalah person yang memiliki sifat-sifat manusia. Mereka lebih senang percaya kepada gagasan tentang kebenaran, lebih ingin setia kepada gagasan dan praktik kebaikan, dan lebih gandrung kepada dan mempromosikan segala sesuatu yang indah.

Yang sebagian ateis sering tak tahu – bahkan juga para teis alias para penganut agama – bahwa bahkan dalam agama, pada puncaknya Tuhan juga dipahami dengan cara seperti pemahaman kaum Ateis jenis ini.

Bahwa, dalam segenap tanazul (tindakan turun, descent) Tuhan ke martabat yang lebih rendah/lahir sehingga membuat-Nya mengambil sikap sebagai person – seperti murka, cinta, rela/senang, bahkan dalam beberapa hadis disebutkan “tertawa”, dan sebagainya – Allah adalah laysa ka mitslihi syai (QS Asy-Syura [42]: 11).

Dalam martabat-Nya yang paling luhur ini, Dia sepenuhnya impersonal. Tak ada sama sekali sifat makhluk pada diri-Nya. Kalau pun mau diberi atribut, maka paling jauh kita hanya bisa mengatakan bahwa Dia al-Haqq (Sang Kebenaran), al-Muhsin (Sang Kebaikan), dan al-Jamaal (Sang Keindahan).

Sering tanpa mereka sadari – setidaknya sebagian ateis juga berbagi kepercayaan yang sama. Saya sedang berbicara tentang (sebagian) ateis yang memiliki sifat seperti di atas – bahwa mereka setia kepada kebenaran, baik hati dan dermawan, dan juga sangat mengapresiasi keindahan.

Terkait dengan kaum ateis seperti ini, kita pun harus bertanya, dari mana sumber kesetiaan mereka kepada kebenaran, kebaikan hati, dan kedermawanan? Dan bagaimana bisa mereka begitu mengapresiasi keindahan?

Menurut saya, akarnya ada dalam fitrah kemanusiaan mereka. Dan seperti disebutkan dalam surat ar-Rum ayat 30:

“Dan hadapkan wajahmu lurus kepada din; (Yakni) fitrah Allah yang atas (model) itu manusia diciptakan.Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”

Pasalnya gagasan tentang Tuhan sudah kadung dimonopoli orang-orang yang beragama secara lebih formal institusional ketimbang spiritual. Dan itu bermakna seolah Tuhan hanya memiliki sifat personal. Padahal justru sifat “asli” Allah adalah impersonal.

Jadilah mereka sendiri – orang-orang Ateis itu – berpikir bahwa mereka tak ber-Tuhan. Padahal, jangan-jangan, itulah makrifat ketuhanan, itulah – seperti kata Nabi sendiri – (awal) agama. Bahkan mereka mungkin lebih beragama ketimbang orang-orang beragama yang tuna spiritualitas/kebatinan – termasuk yang kehilangan kesadaran tentang Tuhan yang Mahabatin/impersonal.

Orang-orang begini sulit untuk disebut sebagai kafir. (Tentang penjelasan makna “kafir” ini lihat antara lain tulisan karya Haidar Bagir: Apakah non-Muslim itu Kafir?). Ateis dalam makna ini bukan orang angkuh yang hanya mencari popularitas atau mengikuti hawa nafsu kesombongan yang mendorongnya menjadi pembangkang. Mudah-mudahan Allah menerima amal-amal baik mereka.

“Apa lagi balasan bagi orang-orang yang berbuat ihsan (kebaikan yang sempurna) kecuali ihsan (dari Allah) juga?” (QS ar-Rahman [55]: 60).

Dan mudah-mudahan Allah memberi petunjuk kepada mereka dan kepada kita semua.[]

PH/IslamIndonesia/Foto utama: Zacharias Trust

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *