Satu Islam Untuk Semua

Friday, 09 June 2023

4 Elemen Kebahagiaan Versi Imam Al-Ghazali


islamindonesia.id – Semua orang pasti menginginkan kebahagiaan. Namun belum tentu semua orang mengetahui hakikat kebahagian yang sebenarnya. 

Secara sederhana, kebahagiaan menurut Imam Al-Ghazali adalah merasakan kelezatan atau kenikmatan pada suatu kecenderungan yang menjadi tabiat segala sesuatu.

Dipilah dari sifatnya, setidaknya ada dua macam kebahagiaan, yaitu kebahagiaan dunia dan kebahagiaan akhirat. Sehingga dalam penyikapannya, di antara manusia ada yang standar kebahagiaanya hanya diukur dengan nilai duniawi, ada pula yang pandangannya jauh ke depan, yakni yang utama adalah ukhrawi.

Kebahagiaan dunia dan akhirat

Bagi kebanyakan orang, dunia ini tampak indah dan mempesona. Namun sesungguhnya semua kesenangan atau kebagiaan dunia itu hanyalah menipu, sementara atau fana. Maka alangkah bijak bila semua kenikmatan dunia yang fana ini digunakan untuk meraih kenikmatan hakiki di akhirat nanti.

Menurut hadis Rasulullah s.a.w, perbandingan nikmat dunia dengan nikmat akhirat itu ibarat tetesan air pada jari yang dicelupkan ke lautan, tak sebanding dengan akhirat yang nikmatnya ibarat seluruh air di lautan. Di sisi lain, Rasulullah juga pernah menyebutkan bahwa nikmat dunia itu tak lebih berharga dari sayap seekor nyamuk.

Dari Sahl bin Sa’id as-Sa’idi, Rasulullah s.a.w bersabda: “Seandainya dunia ini di sisi Allah senilai harganya dengan sayap nyamuk, niscaya Allah tidak akan memberi minum barang seteguk sekalipun kepada orang kafir.” (HR. Tirmidzi)

Nikmat dunia apa yang tidak sementara? Kenikmatan tamasya di hari weekend misalnya, menikmati indahnya alam sembari berkumpul bersama keluarga tercinta tentu mengasyikan. Akan tetapi, kalau hari weekend sudah habis, maka kita akan kembali sibuk dengan aktivitas biasanya, dan nikmat tamasya itu juga sudah habis. Bukan berarti menikmati weekend itu tidak boleh, hanya saja hal ini menunjukkan bahwa nikmatnya itu sementara saja, dan sudah semestinya liburan weekend itu tidak membuat kita lupa mengingat Allah, seperti tidak melalaikan shalat, senantiasa berzikir, dan seterusnya.

Satu contoh lagi, seseorang yang dikaruniai istri cantik atau suami ganteng, apakah kalau sudah tua juga masih secantik dan seganteng waktu muda? Apakah mereka juga tak akan pernah berpisah di dunia? Itulah realita kenikmatan dunia: Fana, semua bakal ditinggalkan alias sementara. Mana ada orang yang hidupnya abadi. Suka atau tidak suka. Harta kita, istri kita yang cantik, kendaraan-kendaraan kita. Semua akan ditinggalkan di dunia ini.

Didunia ini tidak ada keadaan yang bisa dikatakan benar-benar bahagia atau sebaliknya betul-betul sedih. Begitulah hidup yang kita jalani; bahagia sebentar, lalu datang masalah melanda. Sedih sebentar, lalu dating rasa bahagia. Begitulah dunia akan berputar. Demikian pula tak ada keberhasilan hakiki di dunia, karena manusia kadang berhasil, kadang gagal dalam hidupnya.

Hal ini sebagaimana firman Allah: “Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurauan, perhiasan dan saling berbangga di antara kamu serta berlomba dalam kekayaan dan anak keturunan, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian (tanaman) itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang palsu.” (QS. Al-Hadid:20)

Elemen kebahagian

Karena itulah manusia perlu mengetahui hakikat kebahagiaan yang sejati. Selain itu, manusia juga harus mengetahui elemen-elemen apa saja yang bisa mengantarkan untuk memperolehnya.

Menurut Imam Al-Ghazali, ada 4 elemen supaya kita mendapatkan kebahagiaan yang sejati; Yakni mengenal diri, mengenal Allah, mengenal dunia, dan mengenal akhirat.

Pertama: Mengenal diri (Ma’rifatun Nafs)

Al-Ghazali mengatakan bahwa mengenal diri adalah kunci untuk mengenal Tuhan yakni Allah SWT. Sebagaimana dikatakan Al-Qur’an: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar. Tidak cukupkah (bagi kamu) bahwa Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” (QS. Fussilat:53)

Dengan bertafakur siapakah kita ini, darimana kita berasal, siapa yang menciptakan, berpikir tentang keadaannya, anggota tubuhnya, serba kelemahannya, maka hal itu akan mendorong kita menemukan Tuhan. Karena apa pun di dunia ini pasti ada yang menciptakan, mustahil kalau adanya manusia, dan alam semesta itu tiba-tiba ada dengan sendirinya, melainkan diciptakan oleh Allah Sang Pencipta.

Kedua: Mengenal Allah (Ma’rifatullah)

Mengenal Allah dengan sebaik-baiknya akan mengantarkan seorang manusia untuk tidak salah dalam memilih Tuhannya. Ia akan terhindar dari sifat menyekutukan-Nya karena Allah tidak suka untuk disekutukan. 

Bila manusia mengenal Allah dengan baik, maka ia juga tidak akan putus asa dari rahmat-Nya yang begitu luas. Sehinga Ia akan berusaha menaatinya dalam rangka untuk memperoleh ridha-Nya.

Ketiga: Mengenal dunia (Ma’rifatud-dunya)

Seseorang yang mengenal dunia dengan baik, maka ia tidak akan menjadikan dunia sebagai tujuan utama. Melainkan menjadikannya wasilah untuk memperoleh kebahagiaan yang sejati di akhirat.

Imam Al-Ghazali membuat perumpamaan manusia di dunia ibarat menumpang kapal yang kemudian kapalnya beristirahat sebentar di pelabuhan. Nakhoda kapal mengumumkan bahwa kapal akan berlabuh selama beberapa jam, dan mereka boleh berjalan-jalan di pantai, tetapi jangan terlalu lama.

Akhirnya, para penumpang turun dan berjalan ke berbagai arah. Kelompok penumpang yang bijaksana akan segera kembali setelah berjalan-jalan sebentar dan mendapati kapal itu kosong sehingga mereka dapat memilih tempat yang paling nyaman. Ada pula para penumpang yang berjalan-jalan lebih lama di pulau itu, mengagumi dedaunan, pepohonan, dan mendengarkan nyanyian burung.

Saat kembali ke kapal, ternyata tempat yang paling nyaman telah terisi sehingga mereka terpaksa diam di tempat yang kurang nyaman. Kelompok penumpang lainnya berjalan-jalan lebih jauh dan lebih lama; mereka menemukan bebatuan berwarna yang sangat indah, lalu membawanya ke kapal.

Namun, mereka terpaksa mendekam di bagian paling bawah kapal itu. Batu-batu yang mereka bawa, yang kini keindahannya telah sirna, justru semakin membuat mereka merasa tidak nyaman.

Kelompok penumpang lain berjalan begitu jauh sehingga suara kapten, yang menyeru mereka untuk kembali, tak lagi terdengar. Akhirnya, kapal itu terpaksa berlayar meninggalkan mereka. Dan mereka menjadi terlunta-lunta serta terancam menjadi santapan binatang buas.

Kelompok pertama adalah orang beriman yang sepenuhnya menjauhkan diri dari dunia, dan kelompok terakhir adalah orang kafir yang hanya mengurusi dunia dan sama sekali tidak memedulikan kehidupan akhirat. Dua kelompok lainnya adalah orang beriman, tetapi masih disibukkan oleh dunia yang sesungguhnya tidak berharga.

Keempat: mengenal akhirat (Ma’rifatul akhirah)

Manusia yang mengenal akhirat dengan baik akan membuatnya tidak silau dengan gemerlap dunia. Ia tahu bahwa perjalanannya sangat panjang dan melelahkan setelah menjalani hidup di dunia yang sementara, sehingga berusaha untuk mempersiapkan bekal sebaik-baiknya menuju akhirat.

Syahdan, dengan mengetahui keempat elemen tersebut, seorang manusia akan terdorong untuk memahami hakikat tujuan manusia diciptakan.

Semoga kita semua dimudahkan oleh Allah untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Aamiin. 

EH/Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *