Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 23 December 2020

Zahra lari, Atlet Wanita Seluncur Es Pertama di Dunia yang Mengenakan Hijab: Saya Ingin Menunjukkan kepada Dunia Bahwa Para Wanita Kuat dan Tak Terbendung


islamindonesia.id – Zahra lari, Atlet Wanita Seluncur Es Pertama di Dunia yang Mengenakan Hijab: Saya Ingin Menunjukkan kepada Dunia Bahwa Para Wanita Kuat dan Tak Terbendung

Selama beberapa tahun terakhir, jumlah wanita dari Timur Tengah yang berpartisipasi dalam acara olahraga internasional terus meningkat, salah satunya adalah Zahra Lari. Zahra adalah salah satu atlet seluncur es (ice skating) yang sosoknya telah dikenal secara internasional.

Zahra percaya bahwa penting untuk dapat menginspirasi wanita Arab untuk mematahkan stereotip yang ada, karena memang sesungguhnya menurut dia mereka memiliki kemampuan.

Lahir dan dibesarkan di Abu Dhabi, Zahra membuat sejarah baru pada tahun 2017 saat tampil sebagai atlet seluncur es pertama yang mengenakan jilbab saat berkompetisi di tingkat internasional.

Meskipun partisipasinya itu sendiri merupakan prestasi yang luar biasa, untuk dapat sampai ke titik itu bukannya tanpa perjuangan dan rintangan, sebab lingkungan keluarga, norma, dan tradisi budaya dari mana dia berasal masih cenderung menentang atlet putri untuk dapat bersaing pada tingkat yang lebih tinggi.

Pada tahun 2012, saat Zahra mengikuti kompetisi besar pertamanya – Piala Eropa di Canazei, Italia – jilbab menjadi masalah. Para juri mengurangi beberapa poin dari skornya karena pelanggaran cara berpakaian.

“Saya tidak kesal atau marah,” katanya. “Saya hanya tahu saya harus melakukan sesuatu agar tidak terjadi lagi pada saya atau siapa pun yang ingin tetap tertutup (bagian tubuhnya).

“Untuk melakukan itu, kami harus bertemu dengan pejabat yang ingin melihat saya meluncur dengan hijab untuk memastikan bahwa itu tidak berbahaya. “

Peristiwa ini kemudian menarik perhatian Nike, saat perusahaan tersebut sedang mencari seorang atlet untuk tampil dalam kampanye hijab olahraganya. Nike dengan demikian menjadi perusahaan besar pembuat pakaian olahraga pertama yang menjual jilbab tradisional Islam yang dirancang khusus untuk tujuan kompetisi.

Hal ini sangat sesuai dengan tujuan Zahra yang lebih besar, yaitu mendobrak batasan bagi wanita berhijab untuk mengikuti semua jenis kegiatan olahraga.

Dia sudah bisa melihat dampaknya dengan disebutkan dalam daftar 30 Under 30 Majalah Forbes tahun ini, yang menyebutkan sekitar 600 orang di bawah usia 30 tahun yang telah menjadi inovator dan pemimpin di berbagai bidang.

Foto: Bukhash Brothers

“Tanpa hijab saya, saya tidak akan menjadi Zahra Lari,” katanya. “Jilbab saya adalah bagian dari diri saya. Pertama kali saya berkompetisi dengan mengenakan jilbab, saya tidak terlalu memikirkannya; bahwa itu menjadikan saya berbeda. Waktu itu saya masih muda dan hanya fokus pada kompetisi.”

Hanya saja setelahnya dia menyadari bahwa dirinya telah membuat sejarah baru. “Perasaan yang luar biasa dan sangat sulit untuk dijelaskan, karena saya tahu pada saat itu segala sesuatunya tidak akan pernah kembali seperti sebelumnya. Itu juga membuat saya merasa bersemangat dan saya ingin menunjukkan kepada dunia bahwa para wanita Emirat kuat dan tak terbendung.”

Penerimaan Wanita Dalam Dunia Olahraga

Meskipun banyak atlet Muslim secara resmi tergabung dalam asosiasi nasional mereka, namun beberapa cabang olahraga masih belum dapat memenuhi kebutuhan khusus wanita Muslim dan aturan berpakaian mereka. Ini adalah penghalang institusional.

Badan pengatur bola basket, FIBA, misalnya, melarang pemainnya mengenakan hijab karena alasan kesehatan dan keselamatan.

Sementara itu, badan sepak bola dunia FIFA, melarang pemakaian jilbab pada 2007 setelah dikhawatirkan dapat menyebabkan kecelakaan di lapangan.

Kasus ini menimpa tim sepak bola wanita Iran ketika mereka menolak untuk bermain di pertandingan kualifikasi Olimpiade London, karena mereka tidak diizinkan mengenakan hijab. Tim Iran akhirnya didiskualifikasi.

Iran memprotes, dan mengangkat masalah tersebut ke Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pada tahun 2014, setelah banyak diskusi, pengujian, dan klarifikasi, FIFA akhirnya mengalah dan membatalkan larangan tersebut setelah melakukan “tes keamanan”. Peristiwa itu ditandai sebagai bentuk kemajuan multikultural dan hal terbaik bagi kepentingan dunia olahraga.

Pada Olimpiade 2016 di Rio de Janeiro, pemain anggar Ibtihaj Muhammad dari New York menjadi atlet Olimpiade pertama dari Amerika Serikat (AS) yang bertanding sambil mengenakan hijab. Dia memenangkan medali perunggu dalam kompetisi pedang beregu.

Hal-hal ini, kata Zahra, menunjukkan banyak hal telah berubah dalam beberapa tahun terakhir. “Segala sesuatunya perlahan-lahan menuju ke tempat yang seharusnya. Anda sekarang dapat melihat wanita kami dalam setiap olahraga yang memungkinkan dan mereka sukses. Itu selalu menjadi impian saya; untuk melihat wanita dari Timur Tengah berpartisipasi di tingkat olahraga tertinggi dan itu terjadi.”

Menurut Zahra, olahraga itulah yang telah membuatnya percaya diri seperti saat ini. Setelah menonton film tentang Putri Es keluaran Disney saat dia berusia 11 tahun, dia memberi tahu kepada keluarganya bahwa dia ingin menjadi pemain seluncur es.

Sekarang, Zahra yang telah berusia 25 tahun, yang telah menjadi juara nasional UEA sebanyak lima kali itu dimanajemeni oleh ibunya, Roquiya Cochran, seorang wanita kelahiran AS, yang juga CEO Klub Skating Emirates.

Klub itu sendiri didirikan oleh ayah Zahra, Fadhel, yang awalnya prihatin dan menolaknya untuk dapat berkompetisi karena pandangan konservatif di wilayah tersebut, bahwa olahraga yang serius tidak sesuai untuk wanita.

Sepuluh tahun yang lalu, memang demikian adanya, hal ini adalah konsep yang relatif baru. Namun, dia akhirnya mengizinkannya setelah melihat betapa antusiasnya Zahra saat menyemangati teman-temannya yang ikut dalam kompetisi.

Salah satu momen paling membanggakannya adalah ketika menjadi yang pertama – dan satu-satunya – atlet UEA yang mewakili negaranya tahun lalu dalam kompetisi Winter Universiade Games di Krasnoyarsk, Rusia.

“Itu membuat saya sangat bangga mengibarkan bendera UEA di seluruh dunia,” katanya. “Itu juga membuatku senang untuk melihat gadis-gadis lainnya yang memulai karena saya. Saya selalu ingin melakukan yang terbaik untuk mereka.”

Tentu saja, masih ada kemajuan yang harus dikejar. “Saya mengalami banyak perjuangan dan tantangan. Sejujurnya, tantangan tidak akan pernah berakhir. Begitu saya mengatasi satu, tantangan lain akan muncul, tetapi saya belajar untuk fokus pada solusi karena yang terpenting adalah tetap fokus pada tujuan dan bekerja keras untuk meraihnya.”

Foto: Bukhash Brothers

Beberapa tahun terakhir, Zahra memiliki aktivitas keseharian yang sangat padat. Rata-rata setiap harinya dia harus bangun pukul 04.30 dan berkendara ke arena es untuk berlatih hingga pukul 07.30.

Setelahnya dia pergi ke universitas tempat dia belajar kesehatan dan keselamatan lingkungan, lalu kembali ke arena es dan angkat beban. Sambil mengerjakan hal-hal tersebut, dia juga harus mengerjakan tugas kuliah, rapat dengan sponsor, dan melakukan wawancara.

Menurut Zahra, kualitas terpenting untuk mengatasi keraguan orang lain terhadap kemampuan dan kesuksesannya adalah dedikasi, semangat, dan kerja keras.

“Menurut pendapat saya, jika seseorang menunjukkan karakteristik ini, mereka dapat dengan mudah berhasil dalam olahraga apa pun. Cari tahu apa yang Anda sukai dan berikan 110 persen setiap hari, dan impian Anda bisa menjadi kenyataan,” pungkasnya.

PH/IslamIndonesia/Sumber artikel: Middle East Monitor/Foto utama: Tom Dulat/Getty Images

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *