Satu Islam Untuk Semua

Saturday, 24 March 2018

TOKOH – Teuku Moehammad Hasan, Pejuang Kebhinekaan dari Serambi Mekah


Islamindonesia.id – TOKOH – Teuku Moehammad Hasan,  Pejuang Kebhinekaan dari Serambi Makkah

 
Pada 7 Agustus 1945, Teuku Moehammad Hasan bak mendapat durian runtuh. Sebuah berita tak terduga tiba-tiba datang dari seorang Somobucho atau Kepala Urusan Umum, yang menyampaikan kabar gembira bahwa penguasa militer Jepang menunjuknya sebagai utusan Sumatera di Dokuritsu Junbi Inkai atau Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Peristiwa itu hanya berselang sehari setelah pesawat sekutu membombardir Hiroshima dan Nagasaki dengan bom atom.

Bersama Dr. M. Amir, dokter pribadi Sultan Langkat, dan Dr. Mr. A. Abbas, pengacara dari Lampung, pria kelahiran Gampong Sot, Sigli, Aceh, 4 April 1906, itu berangkat ke Jakarta mewakili Sumatera. Hasan mulai terlibat dalam rapat-rapat PPKI setelah Kaisar Jepang, Tenno Heika, akhirnya menyerah kalah kepada Sekutu pada 14 Agustus 1945. Takluknya Jepang itu membuat tokoh-tokoh pemuda mendorong Bung Karno dan Bung Hatta untuk memproklamirkan kemerdekaan bangsa Indonesia, 17 Agustus 1945. Negara baru telah lahir, namun Konstitusi, Presiden dan Wakil Presiden baru ditetapkan PPKI keesokan harinya.

Pagi hari, 18 Agustus 1945, Teuku Moehammad Hasan bergegas meninggalkan Hotel Merdeka, yang berada di Jalan Gajah Mada, menuju gedung Raad van Indie, di Pejambon. Memasuki gedung bekas wakil rakyat di zaman Hindia Belanda itu, Mohammad Hatta langsung menghadang. Bung Hatta kemudian mengajak Hasan ke sebuah kamar yang di dalamnya Bung Karno sudah menunggu. Kedua Proklamator itu membujuk tokoh Serambi Makkah tersebut untuk meyakinkan Ki Bagus Hadikusumo, tokoh Muhammadiyah, untuk menghapus tujuh kata dalam Preambul dan Pasal 29 Ayat 1 rancangan UUD RI yang ditentang kelompok Kristen dan Katolik demi persatuan Indonesia.
Mereka menginginkan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai ganti dari tujuh kata “dengan kewajiban melaksanakan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Hasan pun menyanggupinya. Bersama Bung Hatta, Hasan menemui Ki Bagus Hadikusumo dalam kamar terpisah. Kepada Hadikusumo, Hasan berujar, “dalam perjuangan menuntut kemerdekaan tanah air perlu persatuan yang bulat dari semua golongan untuk menghadapi musuh bersama, jangan sampai Belanda memecah belah kita sama kita dan mempergunakan golongan Kristen dan lain-lain melawan golongan Islam,” kata Hasan sebagaimana ditulisnya sendiri dalam buku otobiografi Mr. Teuku Moehammad Hasan, Memoir Gubernur Sumatera dari Aceh ke Pemersatu Bangsa, yang diterbitkan Papas Sinar Sinanti, tahun 1999.

Mendengar penjelasan Hasan, kata Profesor Dwi Purwoko, peneliti senior sejarah politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Ki Bagus Hadikusumo yang terkenal keras kemudian melunak . “Soekarno Hatta sudah angkat tangan. Hanya dengan lobi Teuku Moehammad Hasan sebagai tokoh Aceh, maka tujuh kata itu bisa dihilangkan dari UUD 1945,” ujarnya kepada Prioritas beberapa waktu lalu. Menurut Purwoko, dalam pikiran Hasan kala itu yang terpenting Indonesia merdeka dan terbebas dulu dari belenggu penjajah. “Kalau tujuh kata itu tidak selesai, mungkin Indonesia tidak akan merdeka. Akan terus berkelahi di dalam negeri,” kata Purwoko yang pernah menulis buku Dr. Mr. T.H. Moehammad Hasan, Salah Seorang Pendiri Republik Indonesia dan Pemimpin Bangsa, yang diterbitkan Pustaka Sinar Harapan, tahun 1995.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh, Teuku Kemal Fasya, menilai bahwa Mohammad Hatta bisa dengan mudah membujuk Hasan karena keduanya sudah dekat ketika menempuh pendidikan di negeri Belanda. Hasan, kata Kemal, merupakan putera seorang bangsawan Uleebalang Aceh terkemuka, Teuku Bentara Pineung Ibrahim, sehingga dengan mudah berpendidikan Barat. “Ketika itu banyak Uleebalang yang terdidik dalam pendidikan Belanda. Mereka menjadi bagian pemerintahan Hindia Belanda,” ujarnya.
Sejak usia 8 tahun Hasan sudah disekolahkan di Sekolah Rakyat (Volkschool) Lampoih Saka kemudian pindah ke Europeesce Lagere School (ELS), sekolah dasar Eropa di Sigli. Setelah itu ia menempuh studi di Koningen Wilhelmina School (KWS) di Batavia, selesai tahun 1928. Dia juga menyelesaikan studi dari Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), sekolah kejuruan, tahun 1927 di Bandung dan Algemeene Middelbare School (AMS), sekolah menengah umum, di Jakarta. Selepas irtu dia memperoleh gelar Sarjana Muda dari Rechtschoogeschool tahun 1931. Otak Hasan boleh dikatakan moncer. Dia masih melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi lagi ke negeri Belanda, tepatnya ke Rijks Universiteit di Leiden dan lulus gelar Mr (Meester in de Rechten) pada November 1933.
Selama di Belanda inilah kesadaran nasionalisme Hasan mulai terbentuk, kata Kemal. Di sini Hasan mulai bergabung dengan Perhimpunan Indonesia, yang saban hari bertukar gagasan dengan Muhammaf Hatta, Ali Satroamidjojo, Abdul Madjid Djojodiningrat dan Nasir Datuk Pamuntjak. “Dengan begitu, kesadaran pluralisme Hasan terbangun bagaimana Indonesia ini beragam meskipun didominasi umat Islam,” katanya. Karena luasnya pergaulan Hasan, makanya tak heran Hasan lebih banyak dikenal di Jakarta ketimbang di kampung halamannya. “Muhammad Hasan ini adalah ikon bagaimana orang Aceh itu menjadi Indonesia. Berbeda dengan Teungku Daud Beureueh dan Hasan di Tiro yang menginginkan orang Aceh yang harus dipahami Indonesia,” ujar Kemal yang juga Ketua Komunitas Peradaban Aceh (KPA).

Setelah menyelesaikan tugas sebagai anggota PPKI, Teuku Moehammad Hasan ditunjuk Bung Karno sebagai Gubernur se-Sumatera sekaligus Wakil Pemimpin Besar Bangsa Indonesia di Sumatera, pada 22 Agustus 1945. Dengan pesawat terbang milik Jepang, Gubernur Hasan berangkat pulang ke Sumatera untuk menjalanlan tugas pertamanya. Pusat pemerintahan RI di Sumatera dijalankan Hasan dari kota Medan. Namun, tak mudah bagi Hasan untuk meyakinkan para penguasa feodal, raja ataupun sultan, bahwa dia merupakan wakil resmi republik Indonesia yang baru lahir.

“Pada permulaan revolusi kemerdekaan, sikap para sultan dan raja di Sumatera Timur adalah kurang tegas. Tidak ada seorang sultan atau raja yang datang untuk menyatakan dukungan kepada saya,” ujar Hasan. Justru para penguasa lokal itu lebih memilih membangun hubungan samar-samar dengan Belanda ataupun sekutu, Inggris. Malah pernah wakil resmi pemerintah itu dihina keluarga Sultan Deli.

Hasan menceritakan dalam buku obiografi itu ketika Istana Kerajaan Deli sedang berkabung akibat wafatnya Sultan Amaloedin Sani Perkasa wafat, 4 Oktober 1945. “Pembesar Jepang dan wakil Pemerintah Hindia Belanda diterima dengan hormat, saya ditempatkan ditempatkan di sudut ruangan istana,” kata Hasan lagi dalam buku itu. Akan tetapi, rakyat umum yang berdiri di luar Istana Deli ternyata memberi tempat yang lebih terhormat. Ketika rombongan Gubernur se-Sumatera itu turun dari istana Deli rakyat memekik salam perjuangan “Merdeka”.

Pada masa-masa revolusi awal itu, Hasan memainkan peran penting dalam konsolidasi perjuangan. Dia misalnya mengangkat residen dan walikota seluruh sumatera, pembentukan Kominte Nasional Indonesia (KNI) di Medan, mengendalikan api revolusi sosial yang mengamuk akibat kebencian rakyat terhadap penguasa lokal yang feodal, dan membentuk Bank dagang Nasional Indonesia yang menjadi bank sentral RI di Sumatera. Salah satu jasa Hasan adalah mengeluarkan Maklumat Gubernur Sumatera untuk menerbitkan Uang Kertas Republik Indonesia Provinsi Sumatera, yang kala itu dikenal URIPS sebagai alat tukar menukar dalam perdangan yang sah. Belakang, URIPS bisa ditukar dengan Oeang Republik Indonesia (ORI) dengan nilai tukar 1:1.
Setelah menyelesaikan tugas sebagai Gubernur Sumatera, Hasan kembali diminta ke Jakarta untuk menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, antara 1948 hingga 1949, dalam Kabinet Darurat. Dia pernah juga menjadi Menteri Agama. Peran menonjol Hasan yang lain, Mosi nasionalisasi pertambangan tahun 1951, yang dilakukannya sebagai ketua Komisi Perdagangan dan Industri di DPRS (Dewan Perwakilan Rakyat Sementara). Menurut Direktur Eksekutif Institute Resourcess Studies (IRESS), Marwan Batubara, dalam mosi itu Hasan meminta pemerintah meninjau kembali Indische Mijn Wet 1899, undang-undang kolonial yang digunakan sebagai dasar pengelolaan minyak di Indonesia. “Waktu itu meskipun kita sudah merdeka tapi penguasaan tambang migas dan mineral itu masih di tangan asing,” ujar Marwan.

Dalam mosi itu, Hasan menilai perusahaan asing seperti Shell, Stanvac dan Caltex yang beroperasi di Indonesia sangat tidak menguntungkan rakyat Indonesia. Ujung dari mosi ini terbentuknya Panitia Negara Urusan Pertambangan (PNUP), Maret 1956, dengan Hasan sebagai ketua. Dia berhasil menasionalisasi beberapa perusahan minyak asing menjadi Permina (1957) dan Pertamin (1961), yang keduanya menjadi cikal bakal Pertamina (1968). “Teuku Moehammad Hasan konstisten kepada amanat Konstitusi. Esensinya hak menambang itu ada di pemerintah. Yang diperjuangkan Hasan hak pengelolaan tambang itu ada di tangan Badan Usaha Milik Negara (BUMN),” kata Marwan lagi. “Itu juga yang masih kita perjuangkan sampai sekarang. Karena semangat mosi itu seakan hilang sekarang ini,” Marwan menambahkan.

Pelopor perminyakan nasional itu meninggal kala melaksanakan salat zuhur di kediamannya di Jalan Jatiwamangun No. 1 Jakarta Timur, pada tanggal 21 September 1997. Salman Nasution

 

 

 

 

 

YS/islamIndonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *