Satu Islam Untuk Semua

Tuesday, 19 October 2021

Teka-teki Prabu Siliwangi, Tolak Islam atau Terima Diam-diam? (1)


islamindonesia.id – Dalam diskusi “kecil” di Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) beberapa tahun lalu, banyak dipertanyakan sejak kapan penduduk Betawi (Jakarta) memeluk agama Islam. Apakah proses Islamisasi di Jakarta dan sekitarnya baru terjadi sejak Fatahillah, panglima Kerajaan Islam Demak yang menaklukkan Sunda Kelapa pada 22 Juni 1527.

Pendapat ini dibantah keras budayawan Betawi, Ridwan Saidi. Menurut dia, proses Islamisasi di Jakarta dan sekitarnya sudah terjadi jauh lebih awal.

Bahkan, lebih dari 100 tahun sebelum kedatangan balatentara Fatahillah yang mengusir orang Barat (Portugis) di Teluk Jakarta (sekitar Pasar Ikan). Tepatnya pada 1412, yang digerakkan Syekh Kuro, seorang ulama dari Campa (Kamboja).

Pada tahun tersebut, ia telah membangun sebuah pesantren di Tanjung Puro, Karawang. Sementara, Siswadi, dalam tulisan mengenai “Perkembangan Kota Jakarta”, menulis: “Dalam abad ke-14 dan 15 kraton-kraton di Jawa sudah menerima Islam karena alasan politik.”

Menurut kitab Sanghyang Saksakhanda, sejak pesisir utara Pulau Jawa mulai dari Cirebon, Karawang, dan Bekasi terkena pengaruh Islam yang disebarkan orang-orang Pasai. Maka tidak sedikit orang-orang Melayu yang masuk Islam.

Pesantren Syekh Kuro mempunyai santri salah satunya Nyai Subanglarang, salah seorang istri Prabu Siliwangi. Hal ini menunjukkan proses Islamisasi tidak hanya terjadi pada kalangan rakyat biasa, juga pada tingkat elite.

Menurut legenda, Sang Prabu Siliwangi menolak masuk Islam, ketika diimbau putranya Kian Santang atau Pangeran Cakrabuana.

Proses Islamisasi di Jakarta dan sekitarnya di abad ke-14 sampai ke-16 pun tidak dapat dilakukan tanpa menyebut nama-nama besar seperti Kian Santang. Ia tanpa ragu-ragu mengikuti jejak ibunya, memeluk Islam. Setelah terjadi proses Islamisasi itulah Prabu Siliwangi lalu ngahyang atau meng-hyang. Bahkan menurut Ridwan Saidi, dari sinilah muncul kata: “parahyangan”.

Meski demikian, menurut dia, hingga sekarang masih menjadi pertanyaan besar: Apakah Prabu menolak ajakan putranya masuk Islam, atau menerima ajakan itu secara diam-diam?

Bersambung..

EH/Islam Indonesia – Sumber: Tulisan Alwi Shahab di Republika, 2016

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *