Satu Islam Untuk Semua

Monday, 23 December 2013

Surat Seorang Belanda Kepada Sejarawan Indonesia


Berbeda dengan anda yang seorang sejarawan terkenal Indonesia, saya hanya seorang warga Belanda biasa saja. Namun saat ini perkenankanlah saya untuk berbagi pemikiran tentang sejarah kita dan berbicara tentang apa yang seharusnya kedua bangsa harus lakukan di masa depan. 

 

Pada 9 Desember 2011 , saya berkunjung ke Rawagede. Ketika itu, saya berdiri tak jauh dari Duta Besar Tjeerd de Zwaan  kala ia atas nama Kerajaan Belanda, menyampaikan permintaan maaf kepada para janda yang suaminya menjadi korban prilaku tentara kami di masa lalu. Terusterang, saat itu saya merasa bangga karena pada akhirnya Belanda bisa bertindak sebagai sebuah negara bermartabat. Bagi saya, ini adalah langkah awal yang positif untuk melangsungkan rekonsiliasi atas sejarah kelam kolonial yang berdarah-darah. 

Permintaan maaf kembali diucapkan Kerajaan Belanda pada 12 September 2013. Kali ini ucapan itu kami tujukan kepada para janda yang suaminya terbunuh dalam proses eksekusi tentara Belanda selama perang kemerdekaan Indonesia.

Sebelumnya, saya melihat anda tampil di  Televisi Nasional Belanda. Dan saya terkejut karena alih-alih menyambut permohonan maaf tersebut, anda justru menyatakan Indonesia hendaknya menolak permohonan maaf kami itu. Ketika merespon pernyataan anda tersebut, pertama-tama yang saya pikirkan adalah: siapa anda? Apa motivasinya dan mengapa televisi Belanda memberinya jeda waktu yang cukup panjang untuk menampilkan pernyataan anda? Lalu setelah membaca kisah anda “Ayahku dan Dua Saudaraku Terbunuh oleh Westerling”, maka maklumlah saya.

Yang terhormat Bapak Anhar Gonggong…

Saya secara pribadi menyampaikan rasa empati terdalam atas apa yang terjadi pada ayah, kakak dan seluruh keluarga anda dan atas bayangan masa kelam yang masih menghantui anda hingga kini. Ternyata waktu memang tidak dapat menyembuhkan seluruh luka,suatu hal yang bertentangan dengan pepatah masyarakat bahwa waktu pasti akan menyembuhkan semuanya.
Yang terhormat  Bapak Anhar Gonggong…

Saya harus malu mengakui pada anda bahwa perdebatan intelektual  tentang tindakan kriminal perang kami di masa lalu masih sangat rendah di Belanda saat ini. Sebagian besar dari golongan veteran perang Indonesia ( indie veteranen) dan beberapa golongan lain masih berfikir dan meyakini bahwa tindakan mereka adalah untuk “restoring law and order” dan pasukan Belanda telah bertindak terhormat selama aksi  polisionil di Indonesia. Alih-alih mengakui segala tindakan kejam yang dilakukan tentara Belanda, mereka malah menyebut para “gerombolan pelopor dan para perampoklah  yang menjadi biang keladi semua ini. 

“Permohonan maaf yang ditawarkan oleh pemerintah  Belanda pada Kamis kemarin di Jakarta sesungguhnya merupakan sesuatu yang tidak perlu karena hanya ditekankan pada satu pihak. Indonesia juga seharusnya meminta maaf atas banyaknya pembunuhan terjadi di sana”, demikian pernyataan Leendert Noordzij, Ketua dari asosiasi veteran belanda (VOMI).

Kami juga harus menyesal bahwa para elite politik kami pun secara gila gilaan menggunakan para veteran ini sebagai tameng hidup: bersembunyi dibelakang pungung mereka. Para politisi tak mau dan tak ingin disalahkan atas kesalahan fatal yang terjadi karena keputusan mereka untuk tidak menghormati dan tidak menghargai kemerdekaan Indonesia. Padahal  pada saat yang sama seluruh bangsa di dunia telah memahami kapan bangsa anda terlahir dan  bahwa masa “tempoe doeloe” bagi Belanda telah berakhir. 

Dan gilanya,  sebagai imbalan atas semua ini, para politisi telah membuat sebuah hukum spesial pada 1971 (special law 1971). Hukum ini memberikan imunitas kepada seluruh pasukan Belanda yang melakukan kejahatan perang selama era 1945-1950 di tanah yang dulu dikenal  sebagai Hindia Belanda.Pada waktu yang sama ketika permohonan maaf itu dinyatakan di Jakarta, surat kabar Trouw datang dengan sebuah berita mengejutkan: banyak korban terbunuh dalam pembantaian di Sulawesi Selatan salah satunya dilakukan oleh Jan Vermeulen,seorang pahlawan Belanda dalam aksi bawah tanah melawan Jerman.

 
Andakan, hari ini dia masih hidup, saya yakin penjahat perang seperti  Vermeulen akan mendapatkan “kekebalan hukum”juga dari “Special Law 1971”. Ini suatu hal yang ironis bagi saya karena di sisi lain Belanda memiliki kredibilitas dan menyatakan diri sebagai pusat keadilan internasional ( Center of International Justice ).

Tekanan tangan kolonialisme Belanda selama 350 tahun, telah menyebabkan munculnya bermacam penderitaan yang tak dapat terlukiskan oleh kata kata. Tapi justru inilah yang membuat takdir antara keluarga anda dan keluarga saya bertemu.

Saya memiliki seorang paman yang bernama Rudy van der Werff yang saat ini sudah tiada.Saat berusia 16 tahun, paman saya itu tewas dalam kondisi tubuh terpotong-potong akibat prilaku “para gerombolan” dalam suatu masa yang dikenal oleh kami sebagai “zaman bersiap” . Kini sisa sisa tubuhnya telah digali dan  dimakamkan kembali di kuburan massal yang terletak di Pemakaman Pandu, Bandung. 

Atas kejadian memilukan tersebut, kami merasa tidak perlu permohonan maaf, atau menuntut penggantian dengan uang dari Pemerintah  Indonesia. Mohon kata-kata saya terakhir itu jangan disalahtafsirkan. Ini hanya upaya saya menunjukkan, mengajak anda merenung,  bahwa saya memiliki perasaan yang sama dengan anda, juga dengan para korban dari masa-masa itu.

Yang terhormat Bapak Anhar Gonggong…

Pada 2015 yang akan datang, usia negara anda akan mencapai angka 70 tahun. Menurut pendapat pribadi saya, pada tahun itu bisa jadi pemerintah Belanda akan menarik semua permohonan maafnya. Mereka akan menutup seluruh perasaan bersalah mereka. Mengapa saya berpendapat sepesimis itu? Karena saya sadari, permohonan maaf tersebut sesungguhnya tak pernah datang dari hati yang paling dalam, namun dibuat akibat dari tekanan dari berbagai pihak, yang bisa jadi motivasi mereka untuk kemanusiaan patut diragukan Mereka tidak pernah merenungkan dan menyadari bahwa pada masa itu Belanda berada dalam sisi yang salah, sisi yang kelam dalam sejarah bahkan hingga saat ini.

Politisi modern berpikir itu semua mereka lakukan semata-mata demi  “information management and damage control”. Meskipun demikian saya berharap bahwa pidato Raja kami pada 17 Agustus 2015 harus mengandung pesan yang kuat akan penyesalan atas “pembelajaran masa lalu” atau mungkin tak perlu seorangpun warga Belanda yang menghadirinya. Saya merujuk pada kekacauan kunjungan Ratu Beatrix pada 1995 dan pidato semantik Ben Bot pada 2005.

Tapi saya optimis, proses dekolonialisasi di kepala orang Belanda pasti akan terjadi juga pada akhirnya. Namun ini butuh waktu untuk mencapainya.

Sambil menunggu saat itu tiba, izinkan saya menyampaikan pada anda permohonan maaf atas segala permohonan maaf.

Salam hangat

Max van der Werff Jr
(surat ini dimuat di situs ini atas izin yang bersangkutan).(hendijo)

 

Sumber:Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *