Satu Islam Untuk Semua

Friday, 22 October 2021

Ratu Ilah Nur, Pejuang Perempuan dan Penguasa Muslimah Aceh Masa Kerajaan Samudera Pasai


islamindonesia.id – Berbicara tentang para tokoh pejuang dan pahlawan Aceh, khususnya yang berasal dari kaum perempuan, maka begitu segar ingatan kita pada sederet nama seperti Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, Pocut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Laksamana Malahayati. Ini karena jejak perjuangan mereka pada masa perang menuju kemerdekaan bangsa, relatif banyak tercatat di lembaran buku-buku sejarah.

Begitu pula ketika kita telisik sejarah perjuangan tokoh pejuang Muslim, yang diawali pada masa Kerajaan Pasai di Aceh, maka perjuangan mereka pun diketahui terjadi di mana-mana. Namun demikian, pernahkan pembaca mendengar tentang satu nama, yaitu Ratu Ilah Nur di antara nama-nama pejuang perempuan Aceh tersebut?

Sekitar abad ke-14 ada beberapa peninggalan yang menjadi situs atau keberadaan agama Islam di Aceh. Salah satu yang ditemukan adalah batu nisan yang bertuliskan huruf Arab dan Jawa Kuno. Pada nisan itu tertulis Ratu Ilah Nur, yang disebutkan meninggal pada tahun 1365.

Lalu, siapa sebenarnya Ratu Ilah Nur itu?

Ratu Ilah Nur ternyata adalah seorang Ratu yang memerintah Kerajaan Pasai. Keterangan ini didapatkan dari Kitab Negara Kertagama, yang ditulis Mpu Prapanca.

Pada saat itu, peran kaum perempuan kalah dibanding kaum laki-laki, tetapi disebutkan bahwa Samudera Pasai merupakan daerah yang ditaklukkan Hayam Wuruk dengan patihnya Gajah Mada. Buku Hikayat Raja-Raja Pasai juga menyebutkan tentang kekuasaan Majapahit terhadap Pasai.

Setelah pengaturan kedudukan di Pasai, laskar Majapahit kembali ke Jawa. Namun sebelum kembali ke pulau Jawa, para pembesar Majapahit mengangkat seorang penguasa kerajaan, yakni Ratu Ilah Nur. Ratu ini adalah keturunan Sultan Malikuzzair.

Tidak banyak riwayat sejarah yang menceritakan masa Ratu Ilah Nur saat memimpin Kerajaan Pasai di bawah kendali Majapahit. Akan tetapi Ratu Ilah Nur inilah yang diketahui telah membentuk laskar wanita Inong Bale, yang identik dengan para janda syuhada.

Laskar ini kemudian berkembang hingga di hutan dan gunung-gunung yang jumlahnya mencapai ribuan. Rata-rata mereka berjuang dengan tuntutan persamaan hak dan kewajiban dalam berperang melawan penjajah (Belanda). Ini yang kemudian mencetuskan bahwa jika mati di medan perang, akan menjadi mati syahid dan bergelar syuhada.

Prinsip-prinsip keagamaan Islam selalu menjadi dasar perjuangan Kerajaan Pasai, terutama pada masa Ratu Ilah Nur. Prinsip inilah kemudian diteruskan oleh beberapa pahlawan perempuan Aceh seperti Laksamana Kumalahayati, Cut Nyak Dien, serta para penerus mereka lainnya.

Sebetulnya ada beberapa nama perempuan Aceh, yang juga berperan dalam syiar Islam pada masa perang, akan tetapi lebih banyak berperan membantu Ratu Ilah Nur dalam menegakkan syariat-syariat Islam dengan ketat, dan sebagian menjadi uleebalang (penguasa lokal). Namun keberanian dalam pertempuran lebih didominasi oleh Laksamana Malahayati, hingga disejajarkan dengan Semiramis, permaisuri Raja Babilonia dan Katherina II, Kaisar Rusia.

Ratu Ilah Nur tidak hanya memimpin dan memerintah Pasai, namun kekuasaannya meluas hingga Kedah Malaysia. Kedah terletak di seberang Selat Malaka, di pantai barat semenanjung tanah Melayu. Ini menunjukkan kekuasaan Kerajaan Majapahit yang begitu luas, tetapi sekaligus menjadi tanda-tanda keruntuhan Majapahit dengan berkembangnya ajaran Islam, yang disebarkan oleh beberapa penguasa kerajaan, salah satunya termasuk Ratu Ilah Nur dari Kerajaan Samudera Pasai.

Dalam beberapa naskah, nama Pasai juga disebutkan dalam naskah Jawa, Tapel Adam yang menceritakan tentang para pendakwah Islam pertama dari Pasai, yang berasal dari Majapahit. Pendakwah ini di antaranya Syaikh Jumadil Kubra keturunan Zainul Abidin. Selain itu, proses Islamisasi oleh pendakwah dari Pasai juga diceritakan dalam Hikayat Banjar.

Kematian Ratu Ilah Nur

Di beberapa catatan yang diterjemahkan dalam beberapa versi penelitian, dituliskan di Desa Minye Tujoh, Matangkuli, Aceh Utara, Ratu Ilah Nur meninggal pada tahun 1380.

Sementara dalam penelitian Stutterheim dalam sebuah inkripsi dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia disebutkan Ratu Ilah Nur meninggal pada tahun 781 Hijriah atau tahun 1365 Masehi.

Sedangkan dalam inkripsi batu nisan, diterjemahkan sebagai berikut: “Setelah hijrah Nabi, kekasih yang telah wafat, tujuh ratus delapan puluh satu, bulan zulhijjah, 14, hari Jum’at, Ratu iman Werda rahmat Allah bagi Baginda, dari suku Barubasa (di Gujarat), mempunyai hak atas Kedah dan Pasai, menaruk di laut dan di darat semesta, ya Allah, ya Tuhan semesta, taruhlah Baginda dalam surga Tuhan”.

Dari paparan singkat di atas, dengan demikian dapat kita ketahui bahwa pemerintahan Pasai telah dipimpin oleh raja-raja Islam, di antaranya Ratu Ilah Nur. Perjuangan Ratu Ilah, tidak hanya sebagai panglima perang melawan kolonial, tetapi juga sangat berperan dalam menyebarkan ajaran-ajaran serta budaya Islam di Pasai (Aceh).

EH / Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *