Satu Islam Untuk Semua

Tuesday, 11 January 2022

Pengakuan Bung Karno Soal Pergumulan Batin: Dari ‘Islam Raba-raba’ menjadi ‘Islam yang Yakin’


islamindonesia.id – Saat ini, mungkin masih ada sebagian orang Indonesia yang setelah mengetahui kisah kedekatan Bung Karno dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) di saat-saat akhir kekuasaannya, menganggap Presiden pertama Indonesia itu sebagai tokoh berhaluan komunis. Terlebih, sejarah juga mencatat bahwa Bung Karno diketahui pernah memenjarakan tokoh-tokoh pergerakan Islam yang dianggap berseberangan dengannya. Sebut saja di antaranya, Buya Hamka dan Muhammad Natsir.

Hamka dipenjara selama dua tahun lewat empat bulan karena dituduh terlibat rencana pembunuhan presiden. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama itu pun kemudian ditahan tanpa disidang.

Bagaimana dengan Natsir? Senasib dengan Hamka, mantan Perdana Menteri itu ditahan pada 1962-1964 karena aktif dalam Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Pendiri Partai Masyumi itu lalu dijebloskan ke penjara karena menuntut adanya otonomi daerah yang lebih luas. Bahkan Masyumi pun dijadikan partai terlarang.

Hanya saja, sepertinya tak banyak yang tahu bahwa Bung Karno boleh jadi termasuk seorang yang religius menjelang revolusi. Pada masa-masa sulit itu, calon proklamator ini menjalin kasih dengan Tuhannya. Di balik dinginnya jeruji Belanda dan di pengasingan, konon Sukarno sering merenung dan beribadah.

Saat dilahirkan, Bung Karno sudah menjadi Muslim. Ayahnya, Raden Sukemi memiliki darah biru dari Sultan Kediri. Bung Karno menyebut Sukemi sebagai seorang teosofi. Pada zaman prakemerdekaan, gerakan ini sempat populer di tanah Jawa. Teosofi menganut asas pluralisme. Ajaran ini menganggap semua agama pada intinya sama. Menyembah Tuhan yang sama.

Bukti bahwa Raden Sukemi adalah seorang teosofi tampak pada perkawinannya dengan sang ibu Idayu Nyoman Rai di Sukaraja, Bali. Idayu dipersunting Sukemi meski dia beragama Hindu keturunan Brahmana. Mereka pun menikah dengan menggunakan tata cara Islam. Pernikahan ini pun ditentang keluarga Idayu sehingga pasangan ini harus pindah ke Surabaya, selain karena pekerjaan Sukemi sebagai guru yang harus sering berpindah tugas. Lantas, Idayu pun melahirkan Sukarno di sana.

Meski keluarganya tak mengajarkan Islam dengan baik, Sukarno mengakui dia taat menjalankan ibadah. Pengakuannya diungkapkan dalam otobiografinya yang dipaparkan dengan apik oleh wartawan Amerika Serikat Cindy Adams. Di buku bertajuk “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat” itu, Sukarno mengaku shalat lima kali sehari. Saat azan berkumandang, dia pun mengambil wudhu untuk bersujud. Dia juga berpuasa ketika Ramadhan tiba.

Bung Karno yang gemar dengan nuansa mistis tak jarang mengambil simbol-simbol ajaran Islam untuk meyakinkan lawan bicara. Ketika berdebat dengan para pemuda tentang kapan hari proklamasi tiba, Bung Karno pun membuat pernyataan semiotika soal pemilihan 17 Agustus 1945 sebagai hari proklamasi.

“Hari Jumat ini Jumat Legi. Jumat yang berbahagia. Jumat suci. Dan hari Jumat adalah tanggal 17. Alquran diturunkan tanggal 17. Orang Islam sembahyang 17 rakaat dalam sehari. Mengapa Nabi Muhammad memerintahkan 17 rakaat, mengapa tidak 10 atau 20 saja? Oleh karena kesucian angka 17 bukanlah buatan manusia.”

Saat berbicara tentang Pancasila, dia pun mengambil simbol rukun Islam yang juga berjumlah lima.

Lalu, kapan tepatnya aktivitas Bung Karno “mencari Tuhan” dimulai?

Pencarian Bung Karno akan Tuhan mulai tampak saat dia mendekam di balik jeruji Penjara Sukamiskin, Bandung pada 1930. Di sana, dia mengaku menjalankan shalat lima waktu. Dari Subuh hingga Isya.

“Tengah malam kudapati diriku dengan sendirinya bersembahyang dengan tenang,” tuturnya.

Dia pun membaca Alquran dan hadis. Setelah memahami sari pikiran-pikiran Rasulullah, Bung Karno enggan mencari-cari lagi buku sosiologi.

Di penjara, Bung Karno juga belajar dari pendeta. Dia pun membaca berulang-ulang Injil Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Pada ajaran Kristen, Bung Karno menaruh perhatian pada “Khotbah di Atas Bukit”.

Dahaga akan agama semakin terlihat saat dia diasingkan ke Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) pada 1934-1938. Dengan gamblang, Sukarno pun mengungkapkan keadaan jiwanya ketika dimintakan izin mencetak surat-surat dari Ende. Surat-surat itu dirangkum dalam buku “Di Bawah Bendera Revolusi I”. Orang buangan itu berkata, “Di dalam surat-surat itu adalah tergurat sebagian garis perobahannya saya punya jiwa. Dari Islamnya hanya raba-raba saja menjadi jiwa yang Islamnya yakin. Dari jiwa yang mengetahui adanya Tuhan tetapi belum mengenal Tuhan, menjadi jiwa yang sehari-hari berhadapan dengan Dia.”

Di sana, Bung Karno berkirim surat dengan seorang guru dari Persatuan Islam (Persis) Bandung yakni A. Hassan. Dalam surat itu, dia minta dikirimkan literatur-literatur Islam dari soal pengajaran shalat hingga kumpulan hadis shahih Bukhari-Muslim.

Ketertarikan Bung Karno terhadap hadis untuk membuktikan hipotesanya soal kemunduran yang dialami dunia Islam. Menurutnya, banyak orang Muslim yang tak mampu membedakan hadis shahih dan dhaif. Kepercayaan terhadap banyak hadis palsu membuat kemunduran. Dia mencontohkan soal hadis yang mengatakan bahwa dunia bagi orang Serani (Kristen), akhirat bagi orang Muslim.

Dengan bertebarannya hadis-hadis palsu, Agama Islam pun, tulis Sukarno, diliputi oleh kabut-kabut kekolotan, ketahayulan, bid’ah-bid’ah, antirasionalisme.

“Padahal, tak ada agama yang lebih rasional dan simplistis daripada Islam,” ujarnya.

“Islam is Progres,” tulis Bung Karno. Islam harus berkemajuan. Dalam korespondensi itu, dia hendak mengingatkan bahwa syariat tak hanya mengatur tentang halal dan haram. Sunah dan makruh. Syariat pun mengatur tentang hal yang mubah. Buat Bung Karno, mubah di sini diartikan boleh atau mubah untuk hal-hal yang belum diatur. Contohnya saja listrik dan pesawat terbang yang belum pernah dicontohkan Rasulullah, seharusnya masuk dalam perkara mubah.

Menurutnya, banyak orang terpelajar di Indonesia tak menyukai Islam karena Islam dipandang tak mengikuti zaman. Padahal, Alquran dan hadis yang menjadi dasar agama ini sejalan dengan pengetahuan. Bung Karno mengungkapkan, orang tak dapat dengan tepat memahami Alquran dan hadis jika tak memiliki ilmu pengetahuan.

Dia pun mencontohkan ayat Alquran yang berbunyi, “Kamu menyangka gunung-gunung itu barang keras (tetap), padahal semua itu berjalan selaku awan.” (QS. An Naml:88). Bung Karno pun bertanya, “Bagaimana seorang Muslim dapat memahami ayat tersebut jika dia tak pernah mengenal ilmu astronomi?”

Meski demikian, dia mengaku berideologi sosialis, bukan komunis. Pahamnya yang kiri menjadi antitesa terhadap kapitalisme dan kolonialisme. Meski pergerakannya bukan Islam, bagi Bung Karno, sosialisme adalah Islam masa kini. Islam tak memiliki sekat kasta dan ras. Islam pun mengajarkan cinta Tanah Air dan cinta kepada manusia.

Bung Karno juga mengajarkan nasionalisme, Islamisme, komunisme untuk tidak saling berkelahi. Sebagai paham yang dianut mayoritas pergerakan di Asia saat itu, tiga paham ini dinilai Bung Karno bisa rukun berdampingan.

Itulah sebabnya, lewat perpaduan ideologi Nasakom yang digagasnya Bung Karno bermimpi bahwa dirinya dapat menjadi Bapak dari semua ideologi yang ada di negeri ini.

EH/Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *