Satu Islam Untuk Semua

Saturday, 15 April 2023

Nurcholish Madjid dan Masyarakat Madani


islamindonesia.id – Memasuki pertengahan 1980-an dan awal 1990-an panggung politik di dunia internasional dikejutkan tiga ledakan peristiwa politik besar, yaitu terjadinya gelombang parlawanan masyarakat sipil dalam menggulingkan sistem otoriter-totaliter dibeberapa negara.

Pertama, runtuhnya tembok Berlin yang memisahkan antara Jerman Barat dan Jerman Timur. Kedua, ambruknya ideologi Marxisme-Komunisme di Uni Soviet dan Eropa Timur. Ketiga, tergulingnya rezim Marcos atas desakan people power melibatkan ratusan ribu massa rakyat turun ke jalan-jalan, menuntut perubahan sistem politik di Filipina ke arah lebih demokratis. Gelombang perlawanan rakyat itu ternyata memiliki kesamaan ketiganya dimotori kekuatan terorganisir bernama masyarakat sipil (civil society).

Istilah civil society sendiri sebenarnya tidak asing dalam khazanah ilmu politik, karena lima abad sebelum masehi tertulis dalam karya Aristoteles pada era Yunani Kuno, kata civil society berasal dari kata politike koinonia, menggambarkan sebuah masyarakat memiliki kedudukan sama atau setara di depan hukum. Pada perkembangannya kemudian konsep civil society mengalami perluasan makna, yaitu menunjukan masyarakat mandiri, berdaya, otonom, dan kritis ketika berhadapan dengan institusi negara, memiliki fungsi utama melakukan pengawasan atas jalannya roda kekuasaan.

Diskursus Civil Society

Pasca tiga gelombang besar perlawanan civil society yang berhasil menggulung penguasa despotik di Jerman Timur, Uni Soviet, dan Filipina. Wacana tentang civil society menjadi kajian politik hampir diseluruh penjuru dunia. Berbagai seminar digelar dimana-mana, terlebih di negara-negara otoriter-totaliter konsep civil society tentunya tidak sekedar wacana diperbincangkan kalangan akademisi di ruang kuliah atau ruang seminar, juga dipraksiskan para aktifis pro demokrasi dalam menggalang kekuatan menjatuhan rezim tirani, termasuk di Indonesia ketika itu dibawah bayang-bayang pemerintahan Orde Baru.

Konsep civil society ini dikalangan intelektual Indonesia mengalami padanan kata beragam atau tidak tunggal, seperti masyarakat sipil, masyarakat beradab, masyarakat kewarganegaraan, dan masyarakat madani (Culla, 1999). Tetapi meskipun berbeda dalam padanan kata, hampir semua kaum intelektual Indonesia sepakat, bahwa peran civil society sangat penting sebagai salah satu pilar tegaknya demokratisasi.

Terdapat beberapa karakteristik menjadi identitas mutlak dari kekuatan civil society. Bahwa civil society berkaitan dengan kepentingan publik (membela, memberdayakan, dan mendampingi) masyarakat, mereka tidak bertujuan merebut kekuasaan formal, tetapi hanya mempengaruhi (merubah) kebijakan yang dikeluarkan oleh negara. Jadi civil society berbeda dengan partai politik yang memiliki peran melakukan kontestasi politik berebut kekuasaan. Kemudian civil society menjunjung tinggi pluralitas, tidak melakukan tindakan mengancam atau memusuhi pluralitas, memegang prinsip teguh mengakui keragaman ditengah-tengah masyarakat, eksistensi mereka menjadi penyokong utama dari semangat toleransi dan kemajemukan sosial.

Masyarakat Madani

Nurcholish Madjid sering disapa Cak Nur, merupakan salah satu intelektual muslim Indonesia, memiliki pemikiran karakteristik dari civil society itu memiliki banyak kesamaan dengan nilai-nilai yang telah dipraksiskan masyarakat Islam (Kota Madinah) di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad s.a.w. Tidak heran dalam setiap ceramah dan tulisannya Cak Nur kerap menggunakan kata masyarakat madani untuk menunjukkan entitas masyarakat bersifat mandiri, kritis, dan berdaya.

Masyarakat madani bagi Cak Nur adalah masyarakat tidak hanya dalam tataran konseptual, tetapi disertai oleh beberapa tindakan secara sukarela seperti penegakan hukum serta menciptakan lingkungan sosial toleran dan terbuka (Zamharir, 2004).

Menurut Nurcholish Madjid masyarakat Kota Madinah menjunjung tinggi kesetaraan. Nabi Muhammad s.a.w, tidak pernah membeda-bedakan satu kelompok dengan kelompok lain ditengah-tengah keragaman, semuanya mendapatkan tempat yang terhormat. Bahkan aturan hukum betul-betul bersifat adil ditegakkan, Nabi tidak pernah membedakan perlakuan hukum antara kelompok elite (saudagar) dengan masyarakat biasa. Rasulullah s.a.w pernah berkata hancurnya peradaban sebuah bangsa di masa lalu, jika kelompok elite melakukan tindakan kejahatan dibiarkan, tetapi kalau yang melakukan tindakan itu dari masyarakat biasa pasti mendapatkan hukuman (Madjid, 1996).

Kemudian masyarakat madani, menurut Cak Nur merupakan komunitas sosial sangat konsisten menerapkan pola hidup demokratis, salah satu karakteristik dilihat dari diterapkannya prinsip musyawarah. Nabi Muhammad s.a.w senantiasa membuka ruang publik bagi para sahabat dalam menyampaikan pikiran, artinya memberikan hak untuk menyampaikan pendapat ketika membahas setiap persoalan yang muncul. Dengan diterapkannya musyawarah tersebut, maka masyarakat Kota Madinah dididik bersikap toleran terhadap munculnya perbedaan (Madjid, 1996).

Pengembangan sikap toleran di Kota Madinah ini akhirnya menciptakan masyarakat yang damai (salam) sebagaimana diajarkan dalam agama Islam, bahwa penanaman prinsip non-sektarian menjadikan kehidupan lebih dinamis dan kreatif, masyarakat jadi termotivasi mengembangkan minat serta pemikiran tanpa sekat ketakutan, karena semua orang mendapatkan jaminan dari potensi akal yang dimiliki (Gaus AF, 2010).

Masyarakat madani dalam bahasa Cak Nur merupakan bentuk dari masyarakat sudah modern, telah menerapkan secara empiris-konsisen prinsip normatif dari Islam dalam menciptakan kesetaraan, partisipasi, dan keadilan sosial. Dalam berbagai tulisan serta ceramahnya Cak Nur sangat mengagumi prinsip kemanusiaan dari masyarakat Kota Madinah ini, sehingga bisa menjadi pandangan hidup masyarakat kontemporer ke depan, dalam menghargai kebebasan beragama, menegakan hukum, serta memberikan ruang berpartisipasi sangat luas dan lapang.

EH/Islam Indonesia – Sumber: Gili Argenti

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *