Satu Islam Untuk Semua

Saturday, 30 December 2017

Namaku Ali Wallace (2)


islamindonesia.id – Namaku Ali Wallace (2)

 

 

Ali menemani Alfred Russel Wallace sejak Desember 1855 di Sarawak, Borneo, hingga Februari 1862 ketika Wallace kembali ke Inggris dari Singapura. Sejak April 1854 hingga Desember 1855, Wallace ditemani Allen masuk ke Sarawak, termasuk ke daerah pertambangan Si Munjon pada Maret 1855 saat keduanya bertemu orang utan.

Pada 10 Februari 1856, Wallace pergi dari Sarawak dan tak kembali lagi. Sedangkan Allen tetap di sana dan mencoba menjadi guru bagi misi Kristen. Keputusan Allen meninggalkan tim, seperti ditulis oleh Wallace kepada saudara perempuannya, membuat Wallace harus mencoba dan mengajari remaja Cina untuk mengumpulkan dan mengawetkan serangga.

Kemudian Wallace membawa Ali ke Singapura; mereka tiba di sana pada 17 Februari 1856 dan tinggal selama 96 hari. Di sini, Ali sempat melihat harimau hidup, mungkin ditangkap di Bukit Timah pada 10 Mei, yang dipertontonkan di ruang publik. Dari sana pengembaraan dimulai ke arah timur menuju Lombok dengan singgah di Bali selama dua hari. Selain Ali, Wallace juga membawa Manual Fernandez, orang Portugis dari Malaka, yang biasa menguliti burung. Mereka tiba di Lombok pada Juni 1856.

Perjalanan diteruskan ke Makassar dan Kepulauan Aru. Saat di Makassar, Ali telah cukup mahir melakukan pekerjaan-pekerjaan spesimen. Dia juga cukup terampil menggunakan senapan berburu. Wallace tentu punya asisten-asisten lain, tetapi Ali jelas punya tempat istimewa. Karena kepandaian dan kemampuannya, dia segera menjadi tangan kanan Wallace. Karena itu pula ketika Ali dan Wallace beberapa kali terserang demam malaria secara bersamaan, Wallace kebingungan.

“Asisten saya, Ali, juga terserang penyakit (malaria) yang sama. Karena dia bertugas menguliti burung, maka perkembangan koleksi saya pun menjadi terhambat,” kenang Wallace dalam The Malay Archipelago. Saat itu, Ali sudah mulai terampil menguliti burung namun demam yang menyerangnya membuat proses pengumpulan spesimen berjalan lambat.

Di Kepulauan Aru, Ali mendapat kawan dari Makassar, Baderoon. Wallace menggambarkan Baderoon ini sebagai remaja lumayan andal berusia sekitar 16 tahun, tapi pemain judi yang putus asa. Kemudian Wallace memarahi Baderoon karena kemalasannya. Upah dari Wallace habis di meja judi, dan belakangan Baderoon menjadi budak karena terjerat utang judi. Baderoon lalu meninggalkan pekerjaannya. Dalam situasi seperti ini, Wallace melihat Ali benar-benar sebagai orang baik dan dapat dipercaya untuk mencari burung dan mengulitinya.

Sejak dari Makassar, Ali sudah menghabiskan waktu setahun membantu Wallace. Ketika dia melanjutkan ekspedisinya ke Kepulauan Aru untuk mencari cenderawasih, Ali telah menjadi “kepala asisten”. Dan kepercayaannya kepada Ali tidak sia-sia. Dialah yang berhasil menangkap cenderawasih besar bagi Wallace. Lain waktu Wallace menugaskan Ali untuk menjelajah sendiri ke Wanumbai dan dia pulang membawa “harta karun” yang membuat semringah tuannya.

Paradisaea Apoda, tangkapan pertama Ali di Aru tahun 1857. Photo: d'Orbigny 1849

Paradisaea Apoda, tangkapan pertama Ali di Aru tahun 1857. Photo: d’Orbigny 1849

Cicinnurus regius, ditembak oleh Ali di Aru. Photo: Sharpe, 1891-8

Cicinnurus Regius, ditembak oleh Ali di Aru. Photo: Sharpe, 1891-8

“Saya menyuruhnya ke sana sendirian untuk membeli cenderawasih dan mengulitinya. Dia pulang membawa 16 ekor spesimen yang luar biasa dan sebenarnya bisa dua kali lipat lebih banyak kalau saja dia tidak terserang flu,” kata Wallace.

Dari Kepulauan Aru, mereka sempat balik ke Maros, utara Makassar, dan pada November 1857 menuju Maluku dengan naik kapal uap Belanda. Perjalanan diteruskan ke Ternate pada awal Januari 1858. Di kota ini, Wallace menulis esai tentang evolusi oleh seleksi alam dan mengirimkannya ke Charles Darwin. Esai ini yang mendorong Darwin untuk menuliskan teori evolusinya yang kemudian ditulis dalam buku On the Origin of Species.

Pengembaraan mereka dilanjutkan ke Manokwari (April 1858), Ternate (Agustus 1858), Gilolo (Jailolo), Tidore, Kaioa (Kayoa), dan Batchian (Bacan) (Oktober 1858), Pulau Buru (Mei-Juli 1861), dan terakhir ke Ternate (Juli 1861) lagi. Pada periode ini ada masa di mana Ali tidak bersama Wallace.

Erythropitta Rubrinucha, hasil tangkapan Ali di Pulau Buru. Photo: Elliot 1893-5

Erythropitta Rubrinucha, hasil tangkapan Ali di Pulau Buru. Photo: Elliot 1893-5

Jasa terbesar Ali bagi Wallace adalah ketika di Pulau Bacan dia membawa seekor burung aneh. Wallace belum pernah melihatnya sebelumnya dan membuatnya heran. Itu adalah seekor burung berbulu lebat dengan variasi warna hijau di dadanya. Bulu hijau itu mamanjang menjadi dua tajuk yang berkilau. Paruhnya berwarna kuning gading dengan mata hijau pucat. Fitur lain yang mengagumkan Wallace adalah sepasang bulu putih yang mencuat di tiap bahu barung itu.

Semioptera Wallacei hasil tangkapan Ali di Pulau Bacan. Photo: John Jennens, 1860

Semioptera Wallacei hasil tangkapan Ali di Pulau Bacan. Photo: John Jennens, 1860

Wallace segera menyadari bahwa Ali membawa cenderawasih jenis baru yang belum pernah dikenal. Kelak, oleh ornitholog British Museum, George Robert Gray, cenderawasih jenis baru itu dinamai Semioptera Wallacei. Burung itu kemudian juga dianggap penemuan terbesar Wallace.

Setelah dari Ternate mereka menuju Manado, Makassar, dan Pulau Jawa dengan naik kapal uap. Mereka tiba di Surabaya pertengahan Juli 1861 dan sampai Jakarta pertengahan September tahun itu. Dua bulan kemudian, Wallace dan Ali tiba di Bangka, Sumatra. Dilanjutkan naik perahu ke Palembang dan tiba di Singapura pada Januari 1862.

Menjelang perpisahan, Wallace memberi uang, dua senapan laras panjang dan amunisinya, juga banyak alat lainnya yang dipakai berburu kepada Ali. Untuk pertama kalinya, Ali memakai pakaian Eropa dengan jas dan dasi leher untuk diambil fotonya. Foto setengah badan itu masih tersimpan di Museum Sejarah Sains London.

Bersambung…

Sember Referensi:

John Van Wyhe and Gerrell M. Drawhorn, ‘I am Ali Wallace’: The Malay Assistant of Alfred Russel Wallace, JMBRAS, VOL. 88, Part 1 (2015), pp. 3-31.

The Conversation

Historia

PH/IslamIndonesia

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *