Satu Islam Untuk Semua

Monday, 18 July 2022

Mengenal Sosok dan Karomah Mbah Yai Hamid Pasuruan


islamindonesia.id – Nama K.H Abdul Hamid (Mbah Yai Hamid) bagi warga Pasuruan sudah tidak asing lagi karena pengasuh Pesantren Salafiyah ini dikenal dengan keistimewaan dan karomahnya.

Abdul Hamid begitu nama pria yang dilahirkan pada tahun 1914 M/1333 H, di Desa Sumber Girang, Lasem, Rembang, Jawa Tengah itu dibesarkan di tengah keluarga santri. Ayahnya, Kiai Abdullah bin Umar, adalah seorang ulama asal Lasem, dan ibunya Raihanah adalah putri Kiai Shiddiq, juga ulama di Lasem. Kiai Shiddiq adalah ayah KH Machfudz Shiddiq, tokoh NU.

Abdul Hamid sejak kecil dipersiapkan untuk menjadi kiai, dia mula-mula belajar Alquran dari ayahnya. Tiga tahun kemudian, Abdul Hamid menimba ilmu di pesantren kakeknya, KH Shiddiq, di Talangsari, Jember, Jawa Timur.

Setelah menikah dengan putri Kiai Ahmad Qusyairi, Abdul Hamid pindah ke Pasuruan, dan melanjutkan kepemimpinan pesantren yang didirikan mertuanya itu. Pesantren yang nyaris kosong karena ditinggal para santri ini, di tangan Abdul Hamid justru berkembang pesat.

Sejak kecil, sudah tampak tanda-tanda bahwa dia bakal menjadi wali dan ulama besar. Konon pada usia enam tahun, dia sudah bertemu dengan Rasulullah. Dalam kepercayaan yang berkembang di kalangan warga NU, khususnya kaum sufi, Rasulullah walau telah wafat sekali waktu menemui orang-orang tertentu, khususnya para wali. Bukan dalam mimpi saja, tapi secara nyata.

Berikut di antara karomah Mbah Yai Hamid Pasuruan

1. Melipat Bumi

Salah satu karomah Kiai Abdul Hamid yang masyhur di kalangan warga Pasuruan adalah kemampuannya berada di berbagai tempat dalam waktu bersamaan dengan wujud serupa. Kemampuan ini disebut ilmu melipat bumi. Hal ini terjadi, antara lain, saat Habib Baqir Mauladdawilah berkunjung ke pesantrennya.

Sang Habib yang pernah berguru kepada al-Ustadzul Imam Al-Habr al-Quthb al-Habib Abdulqadir bin Ahmad Bilfaqih diberikan ilmu untuk bisa melihat sesuatu yang gaib.

Suatu hari Habib Baqir yang punya kemampuan melihat sesuatu yang gaib ini datang menemui Kiai Abdul Hamid. Waktu itu banyak orang yang datang untuk meminta doa atau keperluannya yang lain. Setelah bertemu, Habib Baqir kaget lantaran orang yang terlihat seperti Kiai Abdul Hamid ternyata bukan Mbah Yai Hamid. Sebab orang yang ditemuinya adalah sosok gaib yang menyerupai beliau.

Kemudian Habib Baqir mencari di mana sesungguhnya Mbah Yai Hamid yang asli berada. Setelah ia selidiki dengan menggunakan ilmu gaibnya, ternyata Mbah Yai Hamid yang asli sedang berada di Tanah Suci Makkah.

2. Menyaksikan Masjidil Haram

Karomah Kiai Abdul Hamid juga pernah ditunjukkan kepada seorang habib sepuh yang datang kepadanya. Ia bertanya ke mana sang Kiai pergi ketika digantikan oleh sesosok gaib yang menyerupainya.

Mbah Hamid tidak menjawab, tetapi langsung memegang habib sepuh itu. Seketika itu kagetlah sang habib, melihat suasana di sekitar mereka berubah menjadi bangunan masjid yang sangat megah.

Masya Allah! Ternyata habib sepuh tadi dibawa Mbah Yai Hamid mendatangi Masjidil Haram.

3. Berbicara dengan Nabi Khidir

Berikut ini cerita KH Muhammad Yunus atau Mbah Yunus dari Tulungagung. Kata dia, suatu ketika Mbah Yai Hamid berkata bahwa Nabi Khidir akan datang di kediamannya besok pagi hingga waktu Zuhur.

Pada saat itu kebetulan Mbah Yunus sedang berada di kediaman Mbah Yai Hamid. Keesokan harinya orang-orang pun datang, ingin jumpa Nabi Khidir. Bahkan menurut Mbah Yunus ada beberapa habib dengan berpakaian jubah lengkap dengan surbannya juga hadir di situ ingin bertemu Nabi Khidir.

Ketika orang-orang berkumpul, Kiai Yunus dipanggil oleh Mbah Yai Hamid dan diminta agar mendekat. Beberapa saat kemudian datanglah seorang pemuda mengenakan pakaian yang sedang ngetren waktu itu. Orang-orang yang hadir tidak begitu mempedulikan pemuda yang pakaiannya berbeda dengan mereka.

Ketika bertemu Mbah Yai Hamid, pemuda itu langsung bersalaman dan mencoba mencium tangannya. Mbah Yai Hamid menolak dan justru dia sendiri yang ingin mencium tangan pemuda itu. Pemuda itu pun menolak.

Kiai Yunus yang menyaksikan adegan tersebut, kemudian diberi tahu oleh Mbah Yai Hamid bahwa pemuda itu adalah Nabi Khidir.

Lalu sang pemuda berganti pakaian dengan pakaian yang sudah kotor. Ia membersihkan selokan di sekitar kediaman Mbah Yai Hamid sampai waktu Zuhur. Kemudian pergi.

Seusai Salat Zuhur, salah seorang yang hadir bertanya kepada Mbah Yai Hamid kapan Nabi Khidir akan datang. Mbah Yai Hamid lalu menjawab bahwa orang yang membersihkan selokan tadi adalah Nabi Khidir.

4. Membantu Saudara Seiman yang Sedang Susah

Salah satu karomah lainnya yaitu ketika Asmawi, salah seorang santrinya harus melunasi utang yang sudah jatuh tempo kepada panitia pembangunan masjid. Besarnya Rp300.000, cukup besar untuk ukuran waktu sekitar tahun 70-an.

Asmawi tidak tahu dari mana uang sebanyak Itu bisa didapat dalam waktu singkat. Karenanya, dia hanya bisa menangis, malu kalau sampai ditagih. Akhirnya dia mengadukan hal tersebut kepada Kiai Hamid.

Kemudian dengan lembut Mbah Yai Hamid lantas menyuruh Asmawi menggoyang pohon kelengkeng yang tumbuh di halaman depan rumah beliau. Di sana ada dua pohon kelengkeng. “Kumpulkan daun-daun yang gugur itu dan bawa kemari,” perintah Mbah Yai Hamid.

Setelah menerima daun-daun kelengkeng itu, Mbah Yai Hamid memasukkannya ke dalam saku bajunya. Ketika ditarik keluar, di tangannya sudah tampak tergenggam uang kertas. Kemudian dia menyuruh Asmawi melakukan hal sama tapi pada pohon kelengkeng yang lainnya.

Dengan cara yang sama pula, daun kelengkeng itu berubah menjadi uang kertas. Setelah dihitung Asmawi, jumlahnya Rp225.000. Masih kurang Rp75.000.

Lalu apa yang terjadi? Tiba-tiba datang seorang tamu menyerahkan uang tunai Rp75.000 kepada Mbah Yai Hamid. Uang itu kemudian diserahkan ke Asmawi.

5. Membaca Keinginan Umat

Lain lagi yang dialami Said Ahmad, santri lainnya. Dia justru seolah ingin menguji kewalian Kiai Hamid yang telah kesohor. Said Ahmad ingin tahu, apakah Kiai tahu bahwa dia ingin diberi makan olehnya.

Ketika sampai di pesantren milik Mbah Yai Hamid, kebetulan saat salat lsya sudah masuk. Said Ahmad pun ikut salat berjemaah.

Usai salat, dia tidak langsung pulang, melainkan menunggu sampai jemaah pulang semua. Lampu teras rumah Kiai Hamid pun sudah dipadamkan, pertanda pemilik rumah siap-siap beristirahat. Dengan demikian, dia pikir, niatnya berhasil, yaitu bahwa keinginannya untuk ditawari makan oleh Kiai tidak diketahui.

Said Ahmad pun melangkahkan kaki meninggalkan masjid. Namun tiba-tiba dari rumah Kiai Hamid ada yang melambaikan tangan kepadanya. Dengan langkah ragu, dia pun mendekatinya. Ternyata tuan rumah atau Mbah Yai Hamid sendiri yang memanggilnya.

“Makan di sini ya,” kata Mbah Yai Hamid sambil senyum. Said Ahmad pun diajak masuk ke ruang tengah. Di sana hidangan sudah tersaji.

“Maaf, lauknya seadanya,” kata Mbah Yai Hamid, santai. “Sampeyan tidak bilang-bilang kalau maumakan di sini, sih.”

Said Ahmad pun merasa malu, tersindir oleh ucapan Mbah Yai. Dan sejak itu dia percaya, Mbah Yai Hamid adalah wali.

EH/Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *