Satu Islam Untuk Semua

Saturday, 24 December 2016

Mengenal Idham Chalid, Tokoh yang Wajahnya Diabadikan di Pecahan Uang Baru


islamindonesia.id – Mengenal Idham Chalid, Tokoh yang Wajahnya Diabadikan di Pecahan Uang Baru

 

Uang rupiah dengan desain anyar mulai beredar di masyarakat sejak 5 hari lalu (19/12). Dilaunching oleh Bank Indonesia, sebelas pecahan rupiah itu menampilkan gambar wajah tokoh-tokoh pahlawan nasional dari latar belakang agama dan suku yang beragam. Satu di antaranya ialah KH. Idham Chalid yang diabadikan di pecahan lima ribu rupiah.

Pihak Bank Indonesia mengatakan, semua gambar yang ada di uang tahun emisi 2016 ini telah dikonsultasikan ke kerabat atau keluarga yang bersangkutan sebelum resmi dicetak dan disebarluaskan. Pihak keluarga Idham Chalid juga mengaku bersyukur atas penghargaan yang diberikan pemerintah kepada sosok yang wafat 6 tahun lalu ini.

Terpilihnya pria kelahiran Satui ini sebagai salah satu tokoh di mata uang rupiah juga dinilai merupakan wujud keterwakilan masyarakat Kalimantan Selatan, khususnya Suku Banjar.

“Kami berterima kasih kepada Pemerintah dan Bank Indonesia yang telah memilh Ayah saya yang dianggap mewakili ulama, tokoh Islam, dan Kalimantan. Bagi Suku Banjar Kalimantan ini menjadi suatu penghargaan buat mereka. Orang banjar terpilih jadi pahlawan di mata uang baru, mereka merasa terwakili,” kata anak ke-5 Idham Chalid, Saiful Hadi, seperti dikutip GoHitz (20/12).

imagecontent-1

Pria yang pernah diamanatkan sebagai Wakil Perdana Menteri Indonesia ini berasal dari salah satu pemukiman tertua di Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Adapun ayahnya, H Muhammad Chalid, merupakan penghulu asal Amuntai yang berada sekitar 200 kilometer dari Kota Banjarmasin.

Idham dilahirkan pada 27 Agustus 1921 dan ketika berusia 6 tahun, Idham kecil hijrah bersama ayahnya ke kampung leluhurnya, di daerah Tangga Ulin. Sejak kecil, Idham memang dikenal cerdas dan pemberani. Sedemikian, ketika masuk Sekolah Rakyat (SR) Idham langsung duduk di kelas dua.

Sejak di SR, bakat seni pidato Idham mulai terlihat hingga kelak kemampuannya ini mewarnai perjalanan hidupnya selama aktif di dunia sosial – politik tingkat nasional.

Tamat dari SR, Idham melanjutkan pendidikannya ke Madrasah Ar-Rasyidiyyah pada tahun 1922, kemudian ke Pesantren Gontor Ponorogo, Jawa Timur. Selama ditempa di dua lembaga pendidikan inilah, Idham menguasai berbagai bahasa asing seperti Inggris, Arab, Jepang, Jerman, dan Prancis.

Karena skill bahasa ini, penjajah Jepang kerap memintanya menjadi penerjemah dalam setiap pertemuan penting dengan ulama. Dan dari pertemuan-pertemuan dengan para ulama inilah, Idham mulai akrab dengan lingkungan dan tokoh Nahdlatul Ulama.

Pada masa Perang Kemerdekaan, Idham berjuang di Kalimantan Selatan. Ia bergabung dengan badan perjuangan Serikat Muslim Indonesia (Sermi). Kemudian dengan Sentral Organisasi Pemberontak Indonesia Kalimantan (SOPIK).

Bersama dengan Komandan Divisi IV ALRI, Letnan Kolonel Hassan Basri, ia mendirikan Fonds Nasional Indonesia Kalimantan. Ia ikut bergerilya bersama anggota divisi IV ALRI, bahkan diangkat sebagai penasihat. Pada bulan Maret 1949 ia ditangkap Belanda dan baru dibebaskan pada bulan November.

Usai perang kemerdekaan, Idham diangkat menjadi anggota Parlemen Sementara RI mewakili Kalimantan. Tahun 1950 ia terpilih lagi menjadi anggota DPRS mewakili Masyumi. Ketika NU memisahkan diri dari Masyumi, tahun 1952, Idham memilih bergabung dengan Partai Nahdlatul Ulama dan terlibat aktif dalam konsolidasi internal ke daerah-daerah.

Idham memulai kariernya di NU dengan aktif di GP Ansor. Tahun 1952 ia diangkat sebagai ketua PB Ma’arif, organisasi sayap NU yang bergerak di bidang pendidikan. Sepanjang tahun 1952-1955, ia, yang juga duduk dalam Majelis Pertimbangan Politik PBNU, sering mendampingi Rais Am K.H. Abdul Wahab Hasbullah berkeliling ke seluruh cabang NU di Nusantara.

Demikianlah seterusnya perjalanan Idham dalam memberikan kontribusinya bagi bangsa Indonesia termasuk melalui jabatan yang diamanatkan padanya. Amanat terakhir yang diemban Idham Chalid dalam pemerintahan adalah ketua Dewan Pertimbangan Agung sampai tahun 1983.

Meski demikian, sebagian besar waktu hidup Idham “diwakafkan” untuk membesarkan NU. Di ormas yang didirikan para ulama tersebut, Idham mengemban jabatan sebagai Ketua Umum PBNU selama 28 tahun.

Dalam resensi buku “Idham Chalid: Guru Politik Orang NU” karya Ahmad Muhajir, Titik Suryani sempat menyinggung penilaian soal “politikus gabus” yang pernah dialamatkan pada Idham. Hal ini karena ada pihak yang tidak senang dengan langkah politik Idham yang dinilai berpihak pada penguasa.

Sebagai tokoh masyarakat di masa rezim seperti Soeharto, kata Titik, Idham sebenarnya melakukan strategi politik yang dilandaskan pada tiga prinsip.

“Pertama, lebih menekankan sikap hati-hati, luwes dan memilih jalan tengah ketimbang sikap memusuhi dan konfrontasi yang justru membahayakan kepentingan umat,” katanya dalam kolom resensi di portal NU 2007 silam.

Kedua, politik yang memperhitungkan kekuatan umatnya di hadapan kekuatan rezim atau kekuatan lain di tengah masyarakat. Ketiga, dengan menggunakan pendekatan partisipatoris terhadap pemerintah sehingga mampu memengaruhi kebijakan penguasa demi kemaslahatan umat.

“Dalam kaitan ini, Idham memandang bahwa NU harus ikut andil dalam kekuasaan sebagai kekuatan penyeimbang.”

Cara ini dianggap lebih tepat ketimbang berada di luar kekuasaan yang justru lebih menyulitkan untuk bergerak. Hal ini, misalnya, terlihat ketika ia mengompromikan langkah pemerintah pada masa Orde Lama dengan Demokrasi Baru. Karena itu, lanjut Titik, kehadiran buku perjalanan hidup sosok Idham Chalid dinilai dapat membuka tabir tersembunyi atau sisi senyap pemikiran seorang Idham.

Ketua PBNU saat ini, KH. Said Aqil Sirajd pun menjelaskan bahwa sosok Idham sangat berjasa dalam meredam situasi nasional yang sangat panas. “Sekitar tahun 1965. Ketika ada G 30 S, beliau memediasi semua pihak sehingga berjalan dengan tenang. Dan selalu, kalau ada persoalan, Pak Idham selalu jadi penengah,” katanya seperti dikutip portal resmi NU.

Dalam lingkup internasional, Kiai Idham juga lah yang memperkenalkan NU di Timur Tengah, terutama di Mesir. “Mesir menghormati NU karena peran beliau,” kata Said

Kisah lain dari Idham juga pernah dibeberkan oleh Kiai MN Harisudin, Katib Syuriyah PCNU Jember. “Ketika dalam perjalanan haji menuju Makkah menggunakan kapal laut yang berlangsung beberapa bulan, ketika shalat shubuh, KH Idham Chalid memilih untuk tidak doa qunut karena jamaah di belakangnya adalah Buya Hamka. Sebaliknya, ketika jadwal Buya Hamka yang imam shalat shubuh, maka beliau memilih untuk doa qunut karena di belakangnya ada jamaah dari NU, yakni KH Idham Chalid,” katanya.

Dalam hal ini, Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai, Idham Chalid merupakan sosok moderat dan terbuka bagi siapa saja. “Beliau itu moderat, bisa diterima di segala cuaca, berada di tengah, oleh sebab itu ia bisa diterima di mana-mana. Ia berada di tengah titik ekstrim yang ada,” kata JK ketika peluncuran buku biografi Idham Chalid karya Arief Mudatsir (2008)

Di usianya yang ke-88 tahun (11/7 2010), Idham menghembuskan nafasnya yang terakhir di kediamannya, kawasan pendidikan Darul Ma’arif, Cipete, Jakarta Selatan setelah melawan penyakit yang dideritanya selama 10 tahun terakhir.

“Kiai Idham sebetulnya akan dimakamkan oleh negara di Taman Makam Pahlawan di Kalibata, Jakarta Selatan. Namun karena wasiat ayah agar pemakaman dilakukan di Cisarua Bogor, pihak keluarga pun mengikuti apa yang diwasiatkan,” kata Saiful, Putra Idham Chalid, seperti dikutip Kantor Berita Antara sebelum jasad sang pahlawan itu dikebumikan.[]

 

YS/ islam indonesia / dari berbagai sumber/ foto: nu.or.id

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *