Satu Islam Untuk Semua

Saturday, 04 March 2023

Meneladani Jalan Sunyi Kesahajaan Buya Syafii yang Rendah hati


islamindonesia.id – Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif, MA atau yang biasa disapa Buya, merupakan tokoh nasional kelahiran Sumpur Kudus, Kabupaten Sijunjung yang wafat pada hari Jumat tanggal 27 Mei 2022 lalu di RS PKU Gamping, Sleman dan dimakamkan di Pemakaman Husnul Khatimah, Kulonprogo, Yogyakarta.

Untuk mengenang sosok cendekiawan Muslim bersahaja ini, berikut sebuah sajak berjudul “Kehilangan Sangat” yang digubah oleh seorang akademisi bernama Ari Junaedi’

Bukan jubah dan tunggangan yang membuatmu hebat bertaji

Tapi dari sikap dan ajaranmu yang bermakna

Bukan dari kemewahan dunia yang kau perlihatkan

Tapi dari keteguhanmu melawan arus

Sementara yang lain lagak bergaya seolah hebat

Justru dirimu tafakur dalam kesunyian

Jika yang lain butuh pengakuan dan eksistensi

Justru darimulah kita beroleh makna kehidupan

Khawatir kami tidak bisa menemukan sosokmu (lagi) dalam kehidupan

Dunia ini sudah sesak dengan manusia bertopeng

Bejat seolah mulia, bodoh mematut pandai

Kami ingin, ada ratusan sosok sepertimu di tanah airku…yang gersang ketauladanan

Pria tua yang kerap bersepeda di Kawasan Perumahan Nogotirto Elok, Gamping, Sleman, Yogyakarta itu begitu saleh dalam kehidupannya.

Pernah ditawari jabatan komisaris – yang notabene banyak diperebutkan oleh anggota tim sukses pemenangan presiden atau relawan walau kontribusinya tidak jelas – namun ditolaknya dengan tegas.

Pernah diminta masuk menjadi anggota dewan pertimbangan presiden, pun ditampiknya pula. Padahal sosok suluh Bangsa ini begitu besar kontribusinya terhadap peradaban dan sumbangsih pikir untuk kemajuan kehidupan.

Ya, Buya Safii Maarif telah memberikan teladan kehidupan yang saleh dan kesederhanaan yang begitu mengagumkan.

Kepulangannya ke dunia fana tanggal 27 Maret 2022 lalu, begitu ditangisi dan dikenang segala kebaikannya.

Membicarakan sisi baik dari pendiri Maarif Institut itu seperti tidak ada habisnya, tidak sanggup kata untuk menarasikan semuanya.

Sebagai penyandang gelar master dan doktor dari Universitas Chicago, AS serta mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah, dengan pengaruhnya yang besar di lingkar terdalam pusaran politik nasional, seharusnya Buya bisa mendapatkan previladge yang selama ini begitu didamba dan dikejar orang.

Buya Safii tetaplah menjadi dirinya sendiri. Sosok ini tidak menyenangi kemewahan yang menyiksa bathinnya. Tetap menikmati “gowes” dengan sepeda semenjananya menelusuri perkampungan dan jalan kecil persawahan, tetap menyapa dan menerima tamu tanpa terjadwal apalagi teragenda ketat seperti teman saya yang anggota Dewan terhormat.

Buya masih mau naik kereta komuter dan ikut berdesak-desakan dengan penumpang lain. Buya tidak harus menjadi sosok yang selalu lantang mem-bully rezim yang tidak mengakomodirnya. Tidak harus mendalilkan tindakannya agar “benar” dan tidak memprovokasi umat dengan segala pengetahuannya.

Saya begitu kerap menyaksikan tingkah polah pejabat yang marah karena tidak disambut dengan protokoler.

Saya juga pernah membaca pejabat yang “melempar” pena ke arah pegawainya karena marah saat akan digunakan menandatangani berkas, tinta dalam pena sudah kering.

Buya begitu rela melepas atribut-atribut kemewahan yang layak diterimanya. Sebagai bekas petinggi di organisasi yang memayungi instusi pendidikan dan rumah sakit di antaranya, Buya tetap membiasakan antre untuk mendapat giliran pemeriksaan medis. Padahal, jika mau saja segala kemudahan bisa didapatkannya.

Di saat orang lain butuh layanan prioritas, Buya menempuh jalan “kebenaran” yang diyakininya. Buya tidak sungkan untuk makan di angkringan di saat petinggi negeri ini malah mengumbar “kehebatannya” makan di restoran mahal.

Jadikanlah Panutan

Publik baru saja dikagetkan dengan tontonan yang tidak layak dijadikan tuntunan beberapa waktu yang lalu. Seorang anggota Dewan yang terhormat menuntut mendapat meja makan yang langsung tersaji. Sementara sang pelayan gagap menjelaskan kondisi tempat bekerjanya yang sudah membuka pemesanan untuk tamu lain.

Karena merasa tidak mendapat pelayanan yang semestinya, maka tangan sang anggota Dewan “melayang” ke muka pelayan. Semuanya jelas terekam dari kamera pengawas, sementara wakil rakyat itu membantah yakin, dirinya hanya “mendorong” wajah sang pelayan yang berasal dari masyarakat biasa.

Antara frasa menampar dan mendorong saja, kalangan terhormat dan terdidik bingung. Bagaimana pula jika bicara tentang keadilan dan kemanfaatan hidup yang disuarakan Buya. Memang untuk urusan “menempelkan” tangan atau apalah istilah yang digunakan anggota Dewan ke warga biasa, sudah menjadi tabiat kekuasaan yang sombong.

Jika untuk urusan makan di Labuan Bajo di atas menjadi gambaran wakil rakyat di tingkat pusat, di Gorontalo pun hanya gara-gara tidak mau diperiksa barang bawaannya oleh petugas bandara maka tangan anggota Dewan lokal kembali “melayang”.

Di saat pejabat bahkan kita semua butuh “pengakuan”, Buya justru melepas atribut-atribut itu semua.

Seorang kawan kampus saya di Malang, Jawa Timur begitu kecele dengan cara pilihan yang ditempuh Buya.

Sebagai tamu seminar, Buya telah disediakan kamar mewah di hotel yang ternama di Batu, daerah wisata yang kondang di sekitaran Malang. Buya menolak dan memilih menginap di pemondokan yang sederhana, lengkap dengan gayung mandinya.

Bukan dibuat-buat tetapi itulah “lakon” yang ditempuh anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).

Di saat gaya hedonisme pejabat maupun mantan pejabat, baik yang di eksekutif, yudikatif terlebih di legislatif menjadi kebanggaan diri pribadi bahkan diumbar di media sosial, ukuran malu ikut dipertanyakan publik.

Aji mumpung dan mumpung “gratisan” memang susah dipisahkan dari kebiasaan orang-orang yang tengah memegang jabatan.

Dalam posisinya sebagai cendekiawan yang integritasnya diakui dunia, Buya Syafii Maarif yang didapuk sebagai Presiden World Conference on Religion for Peace (WCRP) bisa saja tinggal “nelpon” Istana untuk meminta segala fasilitas mewah.

Justru Buya memilih “jalan sunyi” sendiri.

Kita sangat membutuhkan kehadiran sosok-sosok yang copy paste laksana Buya Syafii Maarif di tengah fenomena paceklik tokoh-tokoh panutan. Kita butuh keteladanan yang tidak sekadar slogan tetapi kisah nyata “senyata-nyatanya” di kehidupan yang nyata.

Kita merindukan sosok yang berani menempuh “jalan sunyi” tanpa sorak sorai di keriuhan metaverse pencitraan semu. Buya Syafii Maarif……….kami rindu keteduhanmu di panas terik kehidupan yang menipu.

EH/Islam Indonesia – Disarikan dari tulisan Ari Junaedi – Kompas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *