Satu Islam Untuk Semua

Monday, 03 June 2019

In Memoriam Ani Yudhoyono: Gugur Flamboyan di Penghujung Ramadan


islamindonesia.id — In Memoriam Ani Yudhoyono: Gugur Flamboyan di Penghujung Ramadan

Perempuan bernama lengkap Kristiani Herrawati yang sepuluh tahun lamanya sempat menyandang status sebagai Ibu Negara, istri Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono dan putri dari mantan Pangdam Cenderawasih Sarwo Edhie Wibowo itu divonis mengidap kanker darah sejak empat bulan lalu. Sejak itu, dia dirawat intensif di Rumah Sakit National University Hospital (NUH), Singapura.

Sepekan lalu, kondisi kesehatan ibu yang biasa disapa Memo oleh kedua anaknya, Agus (AHY) dan Ibas (EBY) itu sempat dikabarkan membaik. Pihak rumah sakit pun mengizinkannya keluar sejenak dari ruang perawatan, jalan-jalan berkeliling dengan kursi roda, sekadar menghirup udara segar bersama SBY, yang setia menemani dan tegar menguatkan semangat istri tercinta yang dijulukinya Flamboyan itu.

Tak ada yang menyangka, ternyata itulah momen terakhir sang Flamboyan menyaksikan biru langit dan hijau dedaunan taman di negeri jiran, sebelum Tuhan memanggilnya “pulang” di penghujung bulan suci Ramadan.

Meski jasad almarhumah telah dikubur di TMP Kalibata, diiringi prosesi upacara resmi yang dihadiri para tokoh dan warga biasa, namun banjir ucapan duka disertai doa dari segenap penjuru negeri, tak henti mengalir hingga kini. Mungkin inilah cara Tuhan memberi jeda, mendinginkan suasana dan perlahan memulihkan interaksi sosial antar warga yang beberapa bulan terakhir sempat meregang-memanas akibat terpapar nyala liar api pesta demokrasi. Wallahu ‘a’lam.

Setidaknya, hal ini senada pandangan dan pernyataan Budayawan Jaya Suprana saat mengaku sangat kehilangan salah seorang pejuang kebudayaan dan kemanusiaan. Boleh jadi memang benar kata Jaya, bahwa pada hakikatnya wafatnya Ibu Ani merupakan wake-up call bagi bangsa Indonesia untuk tersadar bahwa masa hidup manusia sebenarnya terbatas dan dapat berakhir setiap saat. Maka sebaiknya jangan sia-siakan waktu hidup yang terbatas dan fana ini sekadar untuk saling cemooh, caci maki, hujat, fitnah, lapor ke polisi demi saling membenci bahkan saling mencelakakan sesama warga Indonesia apalagi pada bulan suci Ramadan yang sebenarnya merupakan bulan kasih-sayang.

Di samping itu, ada pula pelajaran lain dari kepergian Ani Yudhoyono. Salah satunya, adalah potret kesetiaan dan ketelatenan SBY selaku suami, yang belakangan banyak menuai simpati dan pujian.

Tercatat, SBY dan Ani menikah pada 30 Juli 1976. Artinya, sudah 43 tahun keduanya hidup bersama. Publik yang menyaksikan kebersamaan mereka lewat media, setidaknya dapat mencatat bahwa selama Ani Yudhoyono sakit, SBY terus mendampingi istrinya dan tak lelah memotivasinya demi meraih kembali kesembuhan. Totalitas SBY pun terlihat, saat dirinya memutuskan tak lagi terlibat hiruk-pikuk perpolitikan di Tanah Air, begitu sang istri divonis tengah ditimpa penyakit kronis. Selaku politikus kawakan yang dianggap sebagai salah satu tokoh berpengaruh dan faktor penentu warna perpolitikan Indonesia ke depan, SBY pun memilih menarik diri sepenuhnya dari urusan prosesi pesta rutin lima tahunan itu. Semua, sudah tentu demi sang istri; Ani, si Flamboyan.

Dari peristiwa ini, bagaimana rakyat Indonesia seyogianya dapat mengambil hikmah?

Di antara hikmahnya adalah, bahwa di hadapan takdir kematian, manusia sehebat apapun pasti akan terhenyak dan takkan kuasa menahan haru dan kesedihan terdalamnya yang manusiawi saat ditinggalkan orang terdekat yang mereka cintai. Ini berlaku untuk semua orang, tak terkecuali juga SBY. Sang Jenderal dan mantan Presiden dua periode yang selama ini dikenal tenang, tegas, dan mampu mengendalikan emosinya di depan publik itu, saat mengetahui bahwa istrinya telah pergi untuk selamanya, dia pun tampak tak kuasa menahan raut sedihnya di hadapan para sahabat yang datang melayat.

Begitulah Tuhan melalui kuasa dan kehendak mutlak-Nya atas kehidupan dan kematian, memberikan kepada kita semua banyak pelajaran berharga, terutama tentang kepapaan hakiki kita di hadapan-Nya.

Seperti halnya dahulu, sebaris bait dalam puisi berjudul “Flamboyan” yang ditulis SBY untuk Ani saat mereka tengah berpacaran, tampaknya masih relevan kini, tatkala maut telah memisahkan.

“…Kembang merah di ujung kota. Menunggu sapa angin utara atau langkah kuda penarik kereta. Membawa berita dan simfoni cinta. Flamboyan, kaulah yang dirindukan. Sang pengembara yang menapaki harinya tanpa huru hara…”

EH/Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *