Satu Islam Untuk Semua

Friday, 17 September 2021

Adi Utarini, Peneliti Nyamuk asal Yogyakarta yang Namanya Masuk ke Dalam 100 Orang Paling Berpengaruh Dunia


islamindonesia.id – Adi Utarini, Peneliti Nyamuk asal Yogyakarta yang Namanya Masuk ke Dalam 100 Orang Paling Berpengaruh Dunia

Ilmuwan Indonesia Prof. dr. Adi Utarini, M.Sc, MPH, Ph.D kembali masuk dalam orang yang berpengaruh di dunia. Sebelumnya pada tahun 2020 Adi Utarini masuk dalam daftar 10 ilmuwan berpengaruh dunia menurut jurnal ilmiah Nature.

Kemudian, peneliti utama World Mosquito Program (WMP) Yogyakarta ini masuk dalam daftar 100 orang paling berpengaruh 2021 versi majalah Time. Akademisi Universitas Gadjah Mada ini masuk dalam kategori pionir, bersama dengan Billie Eilish dan Sunisa Lee.

Ulasan tentang Adi Utarini di majalah Time ditulis langsung oleh Melinda Gates, salah satu wanita terkaya di dunia yang juga aktif dalam kegiatan filantropi.

Adi Utarini berhasil memberikan terobosan hebat dalam dunia sains dan kesehatan lewat penelitiannya bersama WMP.

Saat tahu namanya masuk dalam daftar 100 orang paling berpengaruh 2021, Adi Utarini, M.Sc, MPH, menyampaikan rasa syukurnya.

“Bersyukur, itu buat saya kan artinya apa yang dirintis oleh seluruh tim WMP Yogyakarta sejak 2011 sampai dengan saat ini diapresiasi, dihargai dan disemangati oleh berbagai pihak,” ujar Adi, Kamis (16/9), sebagaimana dilansir dari Kompas.

Adi menyampaikan apa yang diraih saat ini tidak hanya menjadi kebanggaan tim peneliti. Namun juga mudah-mudahan menjadi kebangaan Yogyakarta dan Indonesia.

Adi dan tim selama ini fokus dan berusaha mengerjakan penelitian dengan sebaik-baiknya. Dia tidak pernah berpikir disandingkan dengan sejumlah orang penting dunia.

“Kami terus terang enggak pernah terus berpikir bahwa ini kita disejajarkan, itu tidak ya. Kita tidak berpikir seperti itu. Kita berpikirnya berusaha mengerjakan penelitian ini dengan sebaik-baiknya yang kita mampu, kalau kemudian itu diapresiasi ya alhamdulilah, bersyukur,” jelasnya.

Berbagai apresiasi dan penghargaan, lanjutnya, memang harus disyukuri. Namun, berbagai penghargaan tersebut bukan lantas membuatnya berpuas diri dan jumawa.

“Saya tidak ingin hal-hal (penghargaan dan apresiasi) seperti ini membuat kita lengah, lalu kita sombong, lalu kemudian juga kita menganggap penelitian ini sudah sangat sempurna, itu tidak,” ucapnya.

Adi Utarini menyampaikan rasa bangga dengan tim peneliti WMP Yogyakarta, masyarakat Yogyakarta, dan pemerintah daerah. Selain itu juga dengan Yayasan Tahija yang selama ini menjadi patner.

“Tanpa itu semua apalah artinya peneliti, peneliti juga tidak bisa berbuat banyak. Doa kita cuma satu, mudah-mudahan ini membuat jalan lebih banyak masyarakat bisa memperoleh manfaat, kita sekarang kan juga masih menyebar tahun (ini) di daerah Sleman, tahun depan Bantul,” kata Adi.

Dijelaskan Adi Utarini, uji efikasi Wolbachia selesai pada Agustus 2020. Setelah itu, fokus dalam implementasi teknologi Wolbachia di Kabupaten Sleman.

Program ini bekerja sama dengan Dinas Kesehatan Sleman melalui program Si Wolly Nyaman atau Wolbachia-Nyamuk Aman Cegah DBD di Sleman.

“Program yang sedang berlangsung, kami menitipkan telur nyamuk ber-Wolbachia di rumah orangtua asuh dan fasilitas umum,” tuturnya.

Penggantian telur nyamuk ber-Wolbachia dilakukan setiap 2 minggu sekali dalam periode 6 bulan. Setelah penitipan, diharapkan persentase Wolbachia mencapai 60 persen atau lebih dan akan memberikan proteksi dari ancaman DBD.

Pada Agustus 2020, WMP Yogyakarta menyampaikan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa di wilayah yang menerapkan Wolbachia, angka kejadian kasus demam berdarah mengalami penurunan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa di wilayah yang menerapkan Wolbachia, angka kejadian demam berdarahnya 77 persen lebih rendah dibandingkan wilayah yang tanpa Wolbachia.

“Wolbachia terbukti efektif menurunkan kasus DBD sebesar 77 persen. Serta menurunkan kasus DBD yang dirawat di Rumah Sakit sebesar 86 persen,” jelasnya.

Sulitnya Injeksi Mikro ke Telur Nyamuk

Dalam sumber berita yang lebih lama, Adi menjelaskan bahwa bakteri Wolbachia secara alami ditemukan di banyak spesies serangga, seperti lalat buah dan kupu-kupu.

Dalam tubuh inangnya, bakteri ini dapat memperpendek usia serangga tersebut.

“Wolbachia itu inang aslinya adalah lalat buah. Awal mulanya Monash University menemukan bahwa Wolbachia ini bisa memperpendek usia lalat buah itu, dan Wolbachia itu sebetulnya ada di sebagian besar serangga alami, hampir 70% (bakteri itu) ada di serangga, termasuk lalat buah, kupu-kupu, dan sebagainya.

“Hanya saja dia tidak ada di Aedes aegypti,” jelasnya, sebagaimana dilansir dari BBC (29/8/20).

Dr Katie Anders dari Monash University mengatakan bahwa proses penelitian di laboratorium atas bakteri ini, termasuk proses penyuntikan mikro ke nyamuk, memakan waktu satu dekade.

“Di Monash, kami meneliti di laboratorium selama satu dekade. Kami ‘memperkenalkan’ bakteri Wolbachia ini ke nyamuk demam berdarah, dan dengan ‘memperkenalkan’ saya maksud, secara harfiah, menyuntikkan bakteri tersebut ke telur-telur nyamuk yang sangat, sangat kecil sehingga ketika nyamuk tersebut tumbuh dewasa, mereka memiliki Wolbachia di dalam tubuhnya, yang sebenarnya tidak membahayakan atau mengubah perilaku mereka sama sekali.

“Namun ini berarti bahwa nyamuk demam berdarah tidak lagi bisa menyebarkan virus dengan efisien ke manusia sehingga mereka tidak bisa menyebarkan demam berdarah, virus zika dan chikungunya, secara efektif,” jelas Dr Katie.

Berbicara kepada program Newsday di BBC World Service (26/08/20), Prof Cameron Simmons, periset dan direktur Institute of Vector Borne Disease di Monash University, mengatakan bahwa proses penyuntikan mikro tersebut “sangat lama dan membosankan”.

“Ini adalah proses yang sangat, sangat lama dan membosankan…penyuntikan mikro bakteri Wolbachia dari lalat buah ke salah satu telur nyamuk Aedes aegypti betina. Proses infeksi nyamuk ini memakan waktu bertahun-tahun,” ujarnya.

“Kami sekarang adalah petani-petani nyamuk yang memproduksi nyamuk ber-Wolbachia dan melepaskannya ke masyarakat agar mereka bisa mengurangi demam berdarah.”

Dr Katie mengatakan bahwa periset membagi kota Yogyakarta menjadi 24 area, lalu secara acak memilih 12 area untuk melepas nyamuk-nyamuk demam berdarah yang sudah dimodifikasi, sementara 12 area lainnya tidak diintervensi.

Periset lalu mendorong masyarakat Yogyakarta yang menderita demam untuk memeriksakan diri ke puskesmas terdekat, di mana sampel darah mereka akan diambil dan calon pasien ditanyakan domisilinya.

Dari situ, periset mendapati bahwa sebagian besar pasien demam berdarah datang dari wilayah yang tidak diintervensi.

PH/IslamIndonesia/Foto utama: Times/Ed Wray

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *