Satu Islam Untuk Semua

Monday, 22 October 2018

Sejarah Hari Santri Nasional


islamindonesia.id – Sejarah Hari Santri Nasional

 

Setiap tahunnya, setiap tanggal 22 Oktober kini di Indonesia diperingati sebagai Hari Santri Nasional (HSN). Keputusan HSN ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia di masa kepemimpinan Presiden Jokowi melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 22 Tahun 2015.

Namun apakah alasan dibalik pemilihan tanggal 22 Oktober sebagai HSN? Dilansir dari NU Online, penetapan tanggal tersebut terkait erat dengan sejarah tegaknya NKRI, yakni Hari Pahlawan tanggal 10 November.

Indonesia mengenal peristiwa 10 November 1945 ketika rakyat Indonesia melakukan pertempuran hebat melawan pasukan sekutu yang dipimpin oleh Inggris. Meskipun banyak korban yang berguguran, namun Indonesia berhasil mempertahankan kedaulatannya. Untuk menghormati pahlawan yang gugur pada peristiwa tersebut, maka sejak tanggal 16 Desember 1959, Pemerintah Indonesia melalui Keppres No. 316 tahun 1959, menetapkan 10 November sebagai Hari Pahlawan.

Lalu apa kaitannya dengan 22 Oktober? Ternyata sebelum pecahnya pertempuran 10 November, 20 hari sebelumnya, yakni tangal 22 Oktober 1945, ulama-ulama terkemuka di Indonesia, salah satunya adalah KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, menetapkan hari itu sebagai Resolusi Jihad untuk melawan penjajah. Jadi kesuksesan peristiwa 10 November untuk mempertahankan NKRI tidak terlepas dari peran para ulama dan santri-santrinya yang turut berjuang untuk mempertahankan NKRI.

Beberapa catatan sejarah menyatakan bahwa tanpa bantuan para santri dan ulama, kesuksesan bangsa Indonesia mempertahankan NKRI tidak akan terwujud. Terlebih, pada waktu itu, karena pemerintah Indonesia masih pemerintahan muda yang baru merdeka, ketimbang menuruti pemerintah, para santri lebih patuh terhadap kiai/ulamanya.

 

Perbedaan Pendapat

Bertolak dari peristiwa bersejarah tersebut, maka pada tahun 2015 ormas-ormas Islam Indonesia berkumpul di Bogor untuk menetapkan HSN. Dilansir dari CNN Indonesia, mereka yang hadir adalah Al Irsyad, DDI, Persis, Muhammadiyah (Sekretaris Umum Abdul Mu’ti), MUI (Ketua Umum KH Ma’ruf Amin), PBNU (Ketua Umum Said Aqil). Selain ormas, ada juga sejarawan dan pakar Islam, seperti Azyumardi Azra.

KH Abdul Ghoffar Rozien, atau biasa disapa Gus Rozien, masih mengingat betul peristiwa bersejarah 22 April 2015. Pada Rabu itu, bertempat di Hotel Salak, Bogor, Jawa Barat tengah dibahas agenda penting. Tema utama yang diusung adalah pembahasan kapan pastinya Hari Santri ditetapkan.

Gus Rozien menceritakan, beragam pemikiran muncul dalam pertemuan tersebut. Seperti, Hari Santri akan melahirkan eksklusifisme. Sebab, bukan tidak mungkin kelompok lain di luar santri akan menuntut hal serupa.

Dari rangkaian pemikiran itu, sampailah pada 22 Oktober diusulkan menjadi Hari Santri. Pada tahap ini, dia mengaku, masih ada yang tidak setuju Hari Santri jatuh pada 22 Oktober. Namun, akhirnya mayoritas yang hadir dalam pertemuan tersebut sepakat Hari Santri ditetapkan pada 22 Oktober.

“Tetapi dari 13 ormas yang hadir itu, 12 di antaranya menandatangani usulan Hari Santri tanggal 22 Oktober. Semua sepakat kecuali satu. Kecuali satu yang kemudian tidak menandatangani usulan itu. Semuanya sepakat,” kata dia.

Salah satu ormas yang tidak menandatangi kesepakatan itu adalah Muhammadiyah. Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj mengatakan, mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Hidayat Nur Wahid pun ikut setuju penetapan 22 Oktober sebagai Hari Santri.

“Eh, begitu sudah dekat mau dideklarasikan, Din Syamsuddin tidak setuju. Kirim surat ke Presiden Jokowi,” kata Kang Said, sapaan akrab KH Said Aqil Siradj.

Alasan penolakan Muhammadiyah, dia mengungkapkan, di saat-saat Indonesia membutuhkan persatuan, akan terjadi polarisasi jika nantinya ada Hari Santri. Akan ada santri dan nonsantri sehingga berpotensi menimbulkan perpecahan.

“Saya jawab, pertama, yang namanya santri di sini bukan hanya alumni pesantren atau jiwanya santri, tapi beragama Islam, berakhlak, hormat sama kiai. Saya contoh ke pak Nuh (Muhammad Nuh, mantan Mendikbud era SBY). Prof Nuh itu bukan (keluaran Pondok Pesantren) Lirboyo, bukan Jombang, alumninya, SD, SMP, SMA, ITS, (lulusan) Prancis, sudah, tapi santri itu. Itu bukan (keluaran) pesantren, tapi jiwanya santri. Hormat pada kiai, hormat pada ulama. Jadi tidak benar kalau memaknai hari santri itu hanya miliknya santri, miliknya alumni pesantren,” katanya menjelaskan.

Kang Said menjelaskan, dengan ditetapkannya Hari Santri tidak akan membentuk polarisasi di masyarakat. Tidak juga berpotensi memecah persatuan. Sebab, banyak hari nasional yang dimungkinan menimbulkan gejolak ternyata tidak.

“Sama waktu Pak Jokowi meresmikan Masjid KH Hasyim Asy’ari, di Daan Mogot (Jakarta Barat), Din kirim surat juga. Minta ditunda peresmian Masjid KH Hasyim Asy’ari. Alhamdulillah Pak Jokowi menerima usul saya menetapkan ada hari santri, hari di mana peran santri dan kiai, sangat menonjol dalam perjalanan bangsa ini,” ujarnya.

Pertemuan yang dihelat dua hari itu, merupakan perintah langsung Presiden Jokowi kepada Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Syaifuddin. Sebelumnya, pemerintah mengusulkan Hari Santri diperingati pada 1 Muharram atau Tahun Baru Islam.

Usulan tersebut tidak disetujui Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Akhirnya, melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 22 Tahun 2015, Presiden Jokowi menetapkan 22 Oktober sebagai Hari Santri.

“Mereka (para menteri terkait) memberikan dukungan terhadap rencana penetapan Hari Santri pada 22 Oktober dan pada tanggal tersebut bukan hari libur nasional,” ujar Sekretaris Kabinet Pramono Anung.

Kang Said menambahkan, usulan Hari Santri belum ada pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY. Usulan tersebut baru lahir pada kepemimpinan Presiden Jokowi. Sebab, saat kampanye Pilpres 2014 Jokowi sempat menjanjikan hal tersebut.

“Karena Pak Jokowi melemparkan dulu maka kita sambut. Hanya belum jadi hari libur, belum. Tidak apa-apa. Tidak harus liburlah,” ucapnya.

Dia mengaku, awalnya PBNU belum berkeinginan Hari Santri menjadi hari libur layaknya hari libur nasional. Walaupun wacana tersebut sudah dibicarakan di internal.

“Ya di internal sudah. Memeriahkannya enggak tersentuh dengan kerja. Ini kan memeriahkannya jadi tersendat,” ujarnya.

 

Gagasan NU

Terkait tuduhan yang mengatakan HSN sebagai bentuk eksklusifitas NU, karena ketika peristiwa 22 Oktober 1945 tokoh sentral yang mengeluarkan Resolusi Jihad adalah KH. Hasyim Asy’ari, beberapa tokoh NU menyangkalnya.

Gus Rozien misalnya mengatakan, “Mbah Hasyim sebagai motornya. Mbah Hasyim itu cuma mengorganisir. Kalau Mbah Hasyim mau, resolusi jihad cukup ditandatangani Mbah Hasyim saja. Tetapi tidak, Mbah Hasyim mengumpulkan ulama se-Jawa dan Madura. Itu bukti bahwa Mbah Hasyim merangkul kebersamaan para kiai dan ulama serta ormas lain. Ada dari Muhammadiyah yang hadir (pada resolusi jihad yang kedua).”

Rais Aam PBNU KH Ma’ruf Amin mengatakan, ditetapkan Hari Santri merupakan bentuk pengakuan pemerintah terhadap peran santri. Alasannya, merupakan hari besar gerakan kaum santri menentang penjajah.

“Kalau mau hari santri, ya di mana gerakan santri itu, dalam konteks pembela negara. Ini yang tepat, lahirnya Resolusi Jihad. Runutan dan konteksnya dalam konteks kenegaraan. Runutnya juga dan ke-Indonesia-an. Peristiwanya kebangsaan dan ke-Indonesia-an. Kalau ini gerakan santri,” ujarnya.

Dia juga menampik jika dikatakan santri itu adalah NU. Sebab, ada yang santri bukan merupakan NU.

“Cuma karena NU itu kebanyakan santri, yang santri itu kebanyakan NU, kemudian sepertinya diidentikan NU dengan santri. Sebenarnya santri itu tidak hanya NU, tapi karena kebanyakan santri adalah NU,” katanya mengungkapkan.

 

 

PH/IslamIndonesia

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *