Satu Islam Untuk Semua

Saturday, 03 June 2017

Mengenal Khadijah Al Kubra (Bagian 2)


islamindonesia.id – Mengenal Khadijah Al Kubra (Bagian 2)

 

Mayoritas masyarakat Arab pada abad VI Masehi meyakini patung berhala dapat mendatangkan keberuntungan. Mereka memahat patung, memberikan nama lalu menyembahnya. Berjudi, mabuk, perang, menyiksa binatang dan tawanan perang hingga mati adalah kegemaran suku-suku di Arab. Bahkan salah satu tradisi zaman itu ialah mengubur hidup-hidup anak perempuan yang baru lahir.

Baca juga: Mengenal Khadijah Al-Kubra (Bagian – 1)

Sebagian dari mereka takut anak perempuannya kelak menjadi tawanan perang antar suku. Martabat mereka seolah diinjak-injak jika anaknya yang ditawan dijadikan budak oleh musuh. Sebagian juga menganggap perempuan sebagai pembawa nasib sial. Meskipun ada perempuan yang dibiarkan hidup,  mereka tetap diperlakukan sebagai kelas terendah dalam masyarakat.

Meskipun masyarakat Arab kala itu identik dengan kasar, brutal, memandang rendah wanita dan penyembah berhala, namun tidak semua orang Arab berkarakter demikian. Segelintir dari mereka tidak percaya dengan berhala dan tidak pernah menyembahnya. Salah seorang di antara mereka ialah Waraqah bin Naufal yang menjadi pengikut setia ajaran Nabi Ibrahim.

Waraqah merupakah saudara sepupu Khadijah yang termasuk sanak keluarga tertua. Ajaran Tauhid yang diimaninya menjadikan ia sebagai orang Arab yang tidak pernah menyekutukan Tuhan, berjudi, mabuk, apalagi membunuh manusia yang tak berdosa. Sebaliknya, ia mengutuk penyembahan berhala, membela hak-hak anak perempuan, menyantuni yatim piatu, dan membantu orang-orang tertindas.

Sepupu Khadijah ini salah satu dari segelintir orang Arab yang terpelajar. Salah satu penulis buku biografi Khadijah menggambarkan Waraqah kerap membaca kitab-kitab yang ditulis teolog Yahudi dan Kristen. Selain itu, ia juga menerjemahkan kitab Injil dari bahasa Ibrani ke bahasa Arab.

Di zamannya yang gelap dengan kebodohan dan kedzaliman, Waraqah memiliki cita-cita luhur untuk perubahan masyarakatnya. Gagasan-gagasannya senantiasa menginspirasi Khadijah yang juga penganut pandangan dunia Tauhid. Sayangnya, Waraqah belum menemukan cara bagaimana mewujudkan gagasannya itu hingga ia menghembuskan nafas yang terakhir.

Dengan iman yang teguh, kejernihan berpikirnya, ketekunan dan kedermawanannya, Khadijah hidup di tengah masyarakat yang memandang perempuan sebagai kelas terendah. Namun keberhasilannya yang gemilang dalam usaha ekspor-impor membuat Khadijah dihormati dan disegani oleh penduduk Makkah. Bahkan laki-laki yang mendominasi masyarakat Arab dengan keangkuhan itu menjuluki Khadijah sebagai ‘Ratu Makkah’.

Tidak hanya itu, mereka juga memberi gelar ‘Ath-Thahirah’ (yang suci) kepada putri Khuwaylid bin Asad ini. Selain dikenal sukses dalam bisnis, track record-nya di mata masyarakat tanpa cacat. Tidak seperti orang kaya lainnya, perempuan darah biru ini senantiasa bersikap rendah hati, suka menolong, hidup sederhana, dan jujur.

Keindahan dan keagungan akhlaknya membuat setiap pangeran dan bangsawan di Arab terpesona padanya. Satu per satu dari mereka datang melamar namun tidak satu pun yang membuat Khadijah jatuh cinta. Ada yang berusaha mengumpulkan harta sebanyak mungkin untuk memikat hati Khadijah. Ada juga berusaha melobi para sesepuh bangsawan untuk menundukkan Khadijah. Tapi semuanya tertolak.  Sikap Khadijah yang dikenal tidak pernah ceroboh ini membuat masyarakat selalu bertanya-tanya; siapa sesungguhnya laki-laki pilihan Khadijah?

(Bersambung)

YS/ Islam Indonesia/sumber foto : yahspeople.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *