Satu Islam Untuk Semua

Monday, 09 April 2018

Jejak Sunan Kalijaga dan Syekh Siti Jenar di Pulau Lombok


islamindonesia.id – Jejak Sunan Kalijaga dan Syekh Siti Jenar di Pulau Lombok

 

Pendapat yang menyebutkan bahwa Wali Songo hanya terkenal di pulau Jawa, ibarat menyatakan bahwa sebutan santri itu hanya berlaku bagi mereka yang ormasnya Nadlatul Ulama (NU).

Pernyataan semacam itu mengafirmasi pendapat para orientalis dan indonesianis soal Islam di Indonesia.

Misalnya, M.C Ricklefs dalam Islamization and Its Opponents (NUS, 2012) dengan asertif mengatakan bahwa tidak terdapat bukti historis yang sepenuhnya dapat dipercaya mengenai kesembilan wali (Wali Songo) tersebut serta karya-karya mereka. Artinya, Wali Songo itu dianggap fiksi belaka, dongeng khas Jawa, sehingga tidak faktual dan tidak mungkin dikenal di wilayah lain.

Pendapat Ricklefs ini niscaya berbeda dengan pandanga sebagian besar umat Islam di Indonesia, yang meyakini bahwa Wali Songo itu suatu jaringan kekerabatan, keilmuan, dan ingatan. Alhasil, kesembilan wali itu selalu terasa hidup di tengah mereka dengan cara memberikan makna baru mengenai koneksi keberislaman mereka dengan segala daya upaya (ijtihad) para wali membumikan Islam di Nusantara.

Sebut saja ziarah, haul, dan paling utama adalah mengamalkan ajaran mereka. Contoh amalan adalah mencintai agama sekaligus mencintai Tanah Air, menyemarakkan agama dengan langgam seni dan budaya, serta bersikap kreatif dalam mengarungi perubahan zaman.

Untuk mendukung pandangan umat Islam Indonesia di atas, setidaknya terdapat beberapa riwayat terkait kehadiran dan peran para Sunan di luar Pulau Jawa. Dalam hal ini yakni Syekh Siti Jenar dan Sunan Kalijaga.

Perlu diketahui bahwa nama-nama seperti Sunan Bonang, Syekh Siti Jenar, Sunan Kalijaga, dan Sunan Giri Prapen, sudah dikenal di berbagai daerah di Nusantara. Untuk menggenapinya, terdapat lima riwayat tentang Sunan Kalijaga di Pulau Lombok, yang tentu terkait pula dengan keberadaan para sunan yang lain.

Pertama, di ujung Timur Pulau Lombok, di Desa Suwela, tidak berapa jauh dari Labuan Aji, pelabuhan yang menghubungkan Pulau Lombok dengan pulau Sumbawa, terdapat makam raja-raja Selaparang. Di areal pesarean ini terdapat petilasan Patih Gadjah Mada yang diyakini sebagai tempat bertemunya antara sang patih Majapahit tersebut dengan Sunan Kalijaga.

Para peziarah dari luar Pulau Lombok sering terlihat memanjatkan doa di sekitar petilasan ini. Bahkan ada yang mengatakan bahwa pertemuan kedua tokoh yang tidak sezaman itu adalah tonggak penting dari penabalan Islam Nusantara.

Kedua, di sekitar makam Selaparang terdapat desa-desa yang terkait dengan mereka yang dimakamkan, seperti Pohgading dan Bagek Papan. Warga di kedua desa ini meyakini bahwa leluhur mereka datang dari Jawa. Tidak persis, Jawa bagian mana.

Berdasarkan catatan keluarga dan riwayat yang mereka rawat, pada abad-15 Masehi, tiba seorang bernama Djaya Prana yang mendarat di Labuan Tereng (dekat pelabuhan Lembar saat ini), kemudian melanjutkan perjalanan ke arah Timur sampai di Sumur Batu, di Bagek Papan, Lombok Timur.

Selang beberapa tahun, Djaya Prana disusul oleh adiknya yang bermana Wijaya Krama ke Lombok. Tokoh Djaya Prana ini (dalam versi Yogjakrta dan Solo) adalah kakak dari Sunan Kalijaga. Disebutkan pula bahwa maksud kedatangan Sunan Kalijaga ke Lombok adalah untuk menemui kakaknya yang menetap di pulau itu. Tokoh Djaya Prana ini kemudian dimakamkan di Pesarean para Sultan Mataram Islam, Kotagedhe, Yogyakarta.

Sementara dalan versi serat Centhini, Djaya Prana atau Andaya Prana adalah nama lain dari Sunan Kalijaga.

Hal serupa disebutkan juga oleh Husien Djadjadiningrat, bahwa ketika berada di Cirebon, Sunan Kalijaga memakai nama Djaya Prana. Jadi dalam tafsiran sejumlah sumber, Djaya Prana dan Sunan Kalijaga adalah satu orang dengan dua nama.

Ketiga, terkait dengan penyempurnaan ilmu batin Sunan Kalijaga yang diterimanya dari Syekh Siti Jenar. Dalam beberapa serat disebutkan bahwa Sunan Kalijaga adalah menantu sekaligus murid kesayangan Syekh Siti Jenar. Dalam mata rantai atau sanad tarekat Akmaliyah, terdapat sanad yang berujung di Syekh Siti Jenar dan Sunan Kalijaga, baru kemudian bersambung ke ke Sultan Pajang sampai Sultan Agung.

Syekh Siti Jenar mengajarkan Martabat Tiga, tapi karena dinilai sangat ekstrem, maka oleh Sunan Kalijaga ditata-ulang menjadi Martabat Tujuh. (Penjelasan tentang kronik Martabat Tiga dan Martabat Tujuh membutuhkan ruang tersendiri).

Ketika Syekh Siti Jenar meninggal, Sunan Kalijaga memerlukan dirinya datang ke Pulau Lombok untuk menyempurnakan ilmu tarekatnya kepada Pangeran Sangupati, seorang murid Syekh Siti Jenar yang lebih senior.

Terjadilah pertemuan keduanya di desa Bayan, di bawah Kaki Gunung Rinjani. Bayan sendiri adalah tempat para ulama penganut tarekat Watu Telu (bukan Islam Watu Telu seperti diperbincangkan banyak kalangan selama ini).

Bukti pertemuan ini adalah adanya makam Pangeran Sangupati yang bersebelahan dengan makam seorang yang disebut Sahid di sebelah Barat Masjid Pusaka Bayan. Nama “Bayan” sendiri adalah kode dari jaringan nama tempat (toponimi) yang didiami oleh para penganut ajaran Martabat Tiga Syekh Siti Jenar, di Jawa atau di mana pun.

Keempat, Sunan Kalijaga memiliki seorang putra kesayangan bernama pangeran Saridin. Tanpa alasan yang jelas, Pangeran Saridin menghilang, dan diperkirakan menuju ke arah Timur. Karena sangat sayang kepada putranya, Sunan Kalijaga mencarinya sampai ke arah Timur, tepatnya ke pulau Lombok.

Kelima, Sunan Bonang yang dikenal sebagai Syeikh Wahdat adalah guru dari Sunan Kalijaga juga. Salah satu kelebihan guru dan murid ini adalah memiliki ilmu seperti Nabi Yunus as, yakni akrab dengan para penghuni laut.

Dalam banyak cerita disebutkan bagaimana Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga melintasi lautan dengan menumpangi seekor ikan besar yang menjadi sahabat setia mereka. Disebutkan bahwa dalam suatu perjalanan, Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga singgah di beberapa tempat di pulau Lombok sehingga riwayat dua wali yang mengarungi lautan dengan menumpangi seekor ikan besar sangat terkenal di kalangan masyarakat Lombok.

Berdasarkan lima riwayat tentang keberadaan Sunan Kalijaga di Pulau Lombok di atas, menunjukkan bahwa Wali Songo adalah jaringan manakib keulamaan yang dikenal di Indonesia, tidak hanya di pulau Jawa semata. Wallahu ‘a’lam…

 

EH / Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *