Satu Islam Untuk Semua

Saturday, 25 November 2017

KHAS – Ketika Cak Nun, Haidar Bagir, Nursamad Kamba Diskusi Tasawuf di UIN Bandung


islamindonesia.id – KHAS – Ketika Cak Nun, Haidar Bagir, Nursamad Kamba Diskusi Tasawuf di UIN Bandung

 

Aula Universitas Islam Negeri Gunung Djati Bandung tak lagi mampu menampung pengunjung yang berdatangan sejak sore hari, 24 November. Padahal, acara ‘Ngaji Bareng Cak Nun, Haidar Bagir dan Nursamad Kamba’ di aula itu baru dimulai pukul delapan malam.

Jelang acara, salawatan ‘Marhaban’ yang diiringi tabuhan rebana memecah suasana aula yang berjibun orang itu. Ketiga tokoh yang dikenal pakar Tasawuf itu pun tiba di tengah-tengah forum bertajuk ‘Rimba Raya Ilmu Pengetahuan’.

Pada kesempatan pertama, penulis buku Epistemologi Tasawuf Haidar Bagir memulai berbicara Tuhan sebagai Sumber segala ilmu. Manusia, kata Haidar, dapat mengenali Sang Sumber lewat tanda-tanda (ayat) keberadaan-Nya yang merupakan manifestasi atau tajalli-Nya.

Secara mendasar, kata Haidar, tajalli Allah dibagi menjadi tiga; Ayat qauliyah (Al-Qur’an), kauniyah (alam semesta) dan manusia seutuhnya (insan kamil).  Namun, manusia justru kerap melupakan dirinya sendiri sebagai salah satu manifestasi Ilahi.

“Manusia modern seperti dijauhkan dari pemahaman manusia sebagai tajjali Allah padahal Dia menampakkan Diri-Nya di dalam diri manusia,” kata Pengajar Tasawuf dan Filsafat Islam ini sembari menjelaskan hadis “Siapa yang mengenali dirinya, maka ia telah mengenal Tuhannya”.

Bagi Haidar, jika manusia mengenali dirinya dan Tuhan-Nya, ia akan mengenali manifestasi Ilahi lainnya, baik Al-Qur’an maupun alam semesta. Dengan mengenal alam, misalnya, manusia dapat mengetahui cara menyikapi alam sebagaimana mestinya.

Sayangnya, lanjut pria kelahiran Solo ini, selama ini manusia tak jarang mengeksploitasi hutan, kekayaan laut hingga isi bumi tanpa mengenal batasan. “Sebabnya, kita gagal mengenal alam,” ujarnya.

Nah, salah satu cara mengenal diri, kata Haidar, ialah melalui jalan tasawuf. Dengan jalan ini, manusia dapat mengenal Tuhan yang ber-tajalli dalam hati setiap hamba-Nya.

Senada dengan Haidar, Pakar Tasawuf  UIN Gunung Djati Nursamad Kamba mengatakan, upaya pengenalan diri dengan tasawuf merupakan hal yang dibutuhkan untuk memahami semesta. Namun, Nursamad menekankan, manusia sendiri adalah semesta yang kompleks.

“Dalam diri manusia terdapat semesta indrawi, semesta akal, semesta hati, semesta ruhani, dan  lain-lain,” kata Doktor jebolan Filsafat Al Azhar Mesir ini. Salah satu jalan untuk mengakses kompleksitas semesta ini ialah dengan jalan penyucian jiwa yang kerap disinggung oleh para sufi dalam karya-karyanya terdahulu.

Semetara penulis buku Tuhanpun Berpuasa, Cak Nun mengatakan, laku tasawuf dapat dimulai dari hal yang paling sederhana. Di sisi lain, Cak Nun mengingatkan hadirin tidak mudah terjebak dengan istilah teknis formal dalam memandang laku tasawuf.

“Tidak sedikit orang yang mengaku bukan ahli tarikat tapi menjalani prinsip-prinsip laku tasawuf hingga orang itu mengalami tarikan Ilahi,” kata pria yang bernama lengkap Emha Ainun Najib ini.

Menyinggung insan kamil  seperti dikemukakan Haidar sebelumnya, Cak Nun menambahkan, manusia sempurna ialah tujuan penciptaan manusia itu sendiri. Sempurnanya angka satu bukanlah ‘sepuluh’ tetapi ‘satu’ itu sendiri.  Kesempurnaan manusia bukan menjadi sesuatu yang lain tapi menjadi manusia seutuhnya sebagaimana tujuan penciptaannya.

Dalam konteks ini, Cak Nun tak lupa berbicara tentang manusia agung bernama Muhammad Saw.  Selain bergelar utusan Tuhan, Muhammad juga dikenal sebagai ‘kota ilmu’ dengan gerbang kota bernama Ali bin Abi Thalib. “Rasulullah adalah kota – tempat semua ilmu bersemayam -, dan Sayidina Ali adalah gerbang kotanya,” kata pria yang pernah menimba ilmu di Pondok Pesantren Gontor ini.

Tak heran jika ayat Iqra’ (bacalah) yang merupakan firman induk, ibu ilmu, diturunkan pertama kalinya kepada insan kamil, Muhammad Saw.  Dengan analogi sederhana, Cak Nun bilang, ibu adalah tempat bagi anak mengecap makanan pertamanya. “Anak-anak ini disebut umat, sekelompok manusia yang berasal dari satu rahim ibu, satu susuan pengetahuan yang sama,” ujarnya.

Karena itu, persaudaraan manusia seharusnya dapat dirangkai dengan dasar kesatuan induk pengetahuan yang sama. Tapi sayangnya, menurut pria yang juga budayawan kondang ini, masyarakat Indonesia belum mencerimkan hal itu.

Dari pantauan IslamIndonesia, Ngaji Bareng yang disertai tanya jawab bersama hadirin ini berlangsung hingga tengah malam. Pada kesempatan itu, penerbit Mizan juga me-launching buku karya Cak Nun berjudul ‘Indonesia Apa Adanya’.

Setelah Cak Nun membubuhkan tandatangan pada lima bukunya itu, Direktur Mizan Haidar Bagir membagikannya kepada hadirin yang terpilih melalui kuis berhadiah. Acara di Aula Abdjan Soelaiman UIN itu pun berlangsung khidmat hingga berakhir dengan shalawatan dan doa yang dipimpin oleh Nursamad Kamba.[]

 

AL/ Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *