Satu Islam Untuk Semua

Monday, 03 August 2015

Berdosakah Dokter yang tetap Melayani Pasien BPJS pasca Fatwa ‘Haram’ MUI?


adiwarman-a-karim

Redaksi Islam Indonesia tergelitik mencari jawaban pertanyaan itu dan segudang pertanyaan lain yang menyembur dari benak publik pasca keluarnya ‘fatwa haram’ kontroversial Majelis Ulama Indonesia: jika pendapat Majelis itu harus dibeli, adakah ini berarti beratus-ratus anggota DPR yang mensahkan kelembagaan BPJS, termasuk politisi partai Islam PKS, PKB dan PPP, ikut menanggung dosa? Kemana saja Majelis selama ini? Kenapa mereka seolah sengaja membiarkan publik berkubangan dosa dengan menerbitkan ‘fatwa haram’ baru setelah lembaga dua tahun beroperasi? Bagaimana pula Majelis menegakkan disiplin dan muruahnya setelah salah seorang Ketua Majelis, KH Cholil Ridwan, ‘tertangkap basah’ berobat dengan kartu BPJS Kesehatan di sebuah rumah sakit di Jakarta pekan lalu? Zainab Zilullah mendapatkan sebagian jawabannya dari wawancara via telpon dengan Wakil Ketua Dewan Syariah Nasional MUI, Adiwarman A. Karim, akhir pekan lalu. Petikannya:

   
BPJS Kesehatan sudah dua tahun beroperasi saat MUI mengeluarkan fatwa ‘haram’. Banyak masyarakat yang lalu bertanya sinis: “kemana saja MUI selama ini?”. Tanggapan Anda?

Pertama, ketika UU BPJS dibuat pada waktu yang lalu, MUI memberikan banyak masukan. Termasuk masukan agar UU BPJS mengambil nilai-nilai syariah. Kemudian, saran agar UU memungkinkan adanya produk syariah dan konvensional. Kami mengamati bahwa UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional, red.) dan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS sudah mengakomodir itu, tapi belum terealisasi.

Kedua, MUI belum mengeluarkan fatwa haram, tapi “keputusan ijtima’ ulama” Komisi Fatwa se-Indonesia V 2015 (menyatakan) bahwa produk BPJS Kesehatan tidak sesuai syariah pada rapat pleno MUI di Tegal.

Dalam hal ini, MUI menerima pertanyaan dan keluhan dari masyarakat soal BPJS. Sebagian besar keberatan dengan sistem yang berlaku sekarang karena dinilai tidak sesuai dengan syariah Islam. Akhirnya, kami membuat kajian terhadap UU tersebut dan memperhatikan laporan keuangan BPJS.

MUI memberikan jalan keluar agar BPJS Kesehatan membuat produk baru yang berdasarkan syariah, disamping produk konvensional. Jadi, tidak mengubah regulasi, tapi aturan internal BPJS saja.

Kesimpulannya, keputusan MUI bahwa produk yang ditawarkan BPJS Kesehatan “tidak sesuai syariah”, bukan fatwa BPJS (hukumnya) haram.

Nah, keputusan ijtima’ ulama MUI masih berupa “rekomendasi”. Nanti, bila MUI akan mengeluarkan fatwa, kami akan mengundang pihak BPJS. Setelah mempertimbangkan pemaparan dari BPJS dan keputusan seluruh ulama, kami baru mengeluarkan fatwa.

Jadi yang benar tidak ada fatwa BPJS haram?

Iya, benar.

Bagaimana dengan pengurus MUI seperti Cholil Nafis dan Aminuddin Yaqub yang menyatakan ke media bahwa keputusan “BPJS Haram” di Tegal itu bersifat “fatwa”?

Bila kita lihat, dokumen “keputusan ijtima’ ulama” tentang produk BPJS Kesehatan tidak dimasukkan dalam kategori fatwa. Dalam mengeluarkan suatu fatwa, MUI akan mengundang pihak yang terkait dengan fatwa. Jadi, jika kami akan mengeluarkan fatwa, maka di dalam pertemuan seharusnya melibatkan pihak BPJS. Begitulah mekanisme fatwa di MUI.

Menurut saya, ini gara-gara berita yang beredar. Mungkin karena panjang bila disebutkan “Keputusan Ijtima’  ulama tentang produk BPJS Kesehatan tidak sesuai dengan syariah”. Dimaksudkan untuk memudahkan penulisan, maka media menyebut “Fatwa Haram BPJS”. Berita di media itulah yang menyebabkan ketidakjelasan.

Apakah keputusan ijtima’ ini memungkinkan menjadi fatwa?

Ya, rekomendasi ini bukan fatwa, tapi merupakan proses tahap akhir sebelum menjadi fatwa. Nanti, rekomendasi akan dibawa ke komisi fatwa di MUI Pusat. Perlu diketahui bersama bahwa di MUI ada Dewan Syariah Nasional (DSN) dan Komisi Fatwa. Keduanya berbeda.

Nah, ketika di komisi fatwa, kami akan mengundang BPJS dan pihak terkait. Fatwa MUI sesungguhnya tidak ada yang ‘leterlek’ langsung menyebutkan haram, tapi ada penjelasan.

Keputusan Fatwa MUI tentang sesuatu, kemudian ada pernyataan Dewan Pimpinan MUI setelah memperhatikan, menimbang, meneliti kembali, dan memutuskan, memfatwakan.

Menurut Anda, apakah keputusan Ijtima’ ulama ini akan menjadi fatwa?

Iya, ini akan dilanjutkan menjadi fatwa. Kami hanya tinggal mengkonfirmasi pihak BPJS saat pembahasan fatwa.

Jadi MUI memang tidak mengundang pihak BPJS sebelum keputusan ijtima’ ulama dikeluarkan?

Iya, kami belum mengundang pihak BPJS. Tapi, seluruh ulama komisi fatwa se-Indonesia sudah melakukan kajian dalam rangka menganalisa UU terkait dan laporan keuangan BPJS.

Sejauh mana keterlibatan pihak eksternal dalam proses pengambilan keputusan ijtima’ ulama?

Bila merujuk pada website kami, redaksi fatwa berbeda dengan keputusan ijtima’ ulama. Pada “Hasil Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia” (memutuskan) tentang sesuatu. Dilanjutkan dengan Ketentuan Umum, Ketentuan Hukum, dan Rekomendasi. Jadi, tidak memerlukan keterlibatan pihak eksternal dalam keputusan ijtima’ ulama.

Apa yang Anda maksud dengan BPJS Kesehatan ‘tidak sesuai syariah Islam’? Adakah itu sama, misalnya, dengan haramnya Muslim memakan daging babi lantaran ‘tidak sesuai syariah’?

Dalam Ilmu Syariah, ada haram yang bersifat mutlak dan haram yang termasuk level Fikih. Dalam artian, haram yang melalui keputusan ulama. Sebagaimana kita ketahui, tidak ada pembahasan babi itu haram di kalangan ulama karena sudah ada syariah, serta bersifat mutlak.

Nah, produk BPJS itu termasuk haram level Fikih, sehingga perlu kajian yang mendalam para ulama. Haram pada level ini bisa dicarikan jalan keluar. Dalam konteks ini, kami menawarkan solusi kepada pihak BPJS untuk membuat produk BPJS syariah, tanpa menghapus yang konvensional.

Bukankah MUI nanti tetap meggunakan menggunakan kata “haram” ketika menjadi fatwa?

Biasanya dalam fatwa, tidak langsung disebutkan “fatwa haram”, tapi ada penjelasannya. Dalam konteks ini, kami tidak akan menyebutkan redaksi bahwa produk BPJS “hukumnya haram”, tapi “tidak sesuai dengan syariah”.

Apakah tepat sistem BPJS dianalogikan dengan sistem bank non-syariah?

Iya, benar itu analogi yang tepat karena keduanya haram pada level Fikih.

Jadi masyarakat yang menggunakan BPJS itu berdosa?

Dalam kondisi sekarang, maka mereka terkena hukum “darurah”. Karena tidak ada pilihan produk yang syariah, jadi tidak berdosa. (Dokumen resmi MUI sama sekali tidak menyebut berlakunya azas kedaruratan bagi Muslimin seiring terbitnya ‘vonis’ awal Majelis atas BPJS, Red).

Bagaimana dengan para dokter yang terlibat dalam pelaksanaan program ini?

Ya, karena hukumnya darurah, maka mereka tidak dihukumi berdosa. Jadi, tidak apa-apa.

Jadi intinya masyarakat tidak perlu khawatir dengan fatwa MUI?

Kami mengakui bahwa produk BPJS sudah bagus karena terkait dengan kegitan sosial. Tapi, di dalamnya ada kekurangan. Maka, BPJS diharapkan agar menyempurnakannya menjadi produk syariah.

Masyarakat Indonesia itu beragam, sehingga harus ada pilihan produk, ada yang konvensional dan syariah. Kami menyarankan produk BPJS Syariah untuk mengakomodir Muslim yang menginginkan produk syariah.

Jika BPJS milik swasta, maka tidak masalah bagi kami jenis produknya. Namun, BPJS Kesehatan ini milik pemerintah, maka harus melihat kondisi masyarakat Indonesia yang sebagian besar menginginkan produk asuransi syariah.

Sebenarnya yang menjadi sorotan masyarakat dan masukan untuk MUI pada poin yang mana?

Ada perbedaan mendasar dari segi metodologinya. Kalau dalam produk syariah menggunakan ilmu risk sharing (berbagi resiko); cara pengelolaan resiko asuransi berbeda dengan konvensional.

Lalu, dalam produk syariah, akadnya bersifat tabarru (tolong-menolong dan gotong royong), misalnya yang sehat membantu yang miskin. Ini sudah berjalan di BPJS yang mana sesuai dengan syariah, tapi akad masih belum jelas bagi anggota BPJS. Kejelasan akad penting apakah sah atau tidaknya, sesuai dengan syariah. Selain itu, ada yang belum sesuai syariah karena terdapat unsur maisir, gharar dan riba. Ini berdasarkan kajian yang matang dari para ulama.

Kami mengecek laporan keuangan BPJS, yang mana ada persen-persenan yang belum jelas disampaikan pada masyarakat. Nah, ada perbedaan mendasar antara produk yang konvensional dan syariah, yaitu proteksi dan investasi.

Pertama, pada “produk proteksi” harus berbagi resiko, yakni saling tolong menolong. Pada neraca keuangan belum memperlihatkan pengelolaan yang jelas. Sedangkan, dalam produk syariah, ada kejelasan akad. Perhitungannya, ada 93,5 persen dalam neraca keuangan BPJS Kesehatan yang tak jelas milik siapa? Seharusnya, dana ini dikelola oleh masyarakat.

Kedua, “investasi harus jelas” karena dana yang masuk tak mungkin didiamkan. Dalam neraca BPJS dijelaskan bahwa investasi mencakup tiga hal, yaitu deposito pada bank konvensional milik Negara, surat utang pada lembaga pemerintah, dan obligasi dengan sistem konvensional.

Semua bersifat konvensional, maka ini salah satu yang harus disempurnakan. Dengan kata lain, karena produk yang kami tawarkan syariah, maka investasi juga pada lembaga syariah. Dalam beberapa media tampaknya lebih menekankan persoalan denda pada BPJS, padahal itu bukan persoalan utama dalam sistem syariah.

Selama ini DPR tidak melibatkan MUI dalam kajian UU BPJS?

Saat Rancangan UU, kita dilibatkan oleh DPR untuk memberikan masukan. MUI memang mendukung pendirian BPJS.

Ketika itu telah dijelaskan mendetail tentang produk BPJS kesehatan?

Iya sudah dijelaskan pada saat pembahasan RUU. Kami juga memberikan masukan agar UU memungkinkan adanya produk syariah, jadi harus ada 2 kamar. Meskipun tidak dijelaskan secara spesifik pada UU, tapi tersirat kemungkinan adanya produk BPJS yang konvensional dan syariah. Nah, untuk langkah awal karena 2 kamar repot, jadi BPJS hanya mengeluarkan satu produk sebagai tahap awal, yaitu produk konvensional.

Sebagian anggota DPR dan juga Wakil Presiden Jusuf Kalla mempertanyakan sikap MUI yang kontroversial ini, tanggapan Anda?

Saya ingin menjelaskan mengenai hal ini karena saya hadir saat pertemuan dengan Jusuf kalla di Bappenas Rabu lalu (29/ 7). Pak Kalla menyatakan seperti itu karena merespon pertanyaan wartawan: “Bagaimana pandangan Bapak atas fatwa haram MUI terhadap BPJS kesehatan?”

Sontak beliau kaget, karena memang tidak dibahas fatwa haram, melainkan keputusan ijtima’ ulama bahwa produk BPJS Kesehatan tidak sesuai syariah. Nah, itu pertanyaannya yang salah. Wajar bila Wapres mempertanyakan, “Apa yang tidak sesuai syariah? Itu masih kita kaji”.

Kabarnya, NU (Nahdatul Ulama) mengundang pejabat BPJS untuk memperbincangkan masalah ini. Bagaimana pendapat Anda jika NU mengeluarkan fatwa yang berbeda dengan keputusan ijtima’ ulama?

Saya ingin klarifikasi bahwa NU tidak mengeluarkan fatwa mengenai BPJS Kesehatan.

Lalu, berita yang ada di media NU bagaimana?

Sekarang kita bisa bertanya, bila memang NU sudah mengeluarkan fatwa, mana dokumennya jika ada? Kan setiap fatwa ada dokumennya. Belum ada fatwa dari NU, tapi berupa “rekomendasi yang belum final” karena akan dibincangkan di Muktamar.

Adapun yang dilakukan para ulama NU adalah kajian fiqh dengan mengundang orang BPJS, tapi tidak melakukan pengkajian UU No 24 dan 40 dan laporan keuangan BPJS. Sama halnya dengan MUI, fatwa itu membutuhkan kajian yang mendalam bukan hanya sekadar pertemuan singkat para ulama. Kami mengetahui hal ini dari kawan-kawan NU bahwa belum dikeluarkan fatwa.

Keputusan PBNU pada 28 Maret 2015, BPJS telah sesuai dengan syariah?

Karena yang dikaji berbeda.

Bentuk perbedaanya?

Approach (pendekatan) yang dilakukan NU dan MUI berbeda. MUI mengkaji UU terkait, regulasi, laporan keuangan BPJS, tapi belum mengkonfirmasi pada BPJS. Sedangkan NU mengkaji Fikih dan mengkonfirmasi pada pihak BPJS. Jadi perbedaannya, NU belum melakukan kajian UU terkait, sementara kami belum mengundang BPJS. Namun, ujung-ujungnya sama.

Tersebar di media sosial bahwa Ketua MUI, KH. Cholil Ridwan, kena serangan jantung dan berobat ke RS Pasar Rebo dengan kartu BPJS. Apa benar demikian?

Dari pihak BPJS Pusat meng-cut kartu beliau untuk mempermalukan MUI. BPJS seolah-olah memperlihatkan inkonsistensi MUI di tengah merebaknya pemberitaan “Fatwa Haram MUI terhadap BPJS”

Dari pihak BPJS yang mempublikasikannya?

Iya, ada oknum lah. Tapi tidak apa-apa, kami tidak mau menanggapi hal ini secara serius.

Soal keluarga pengurus MUI yang masih memegang kartu BPJS?

Seperti telah disebutkan sebelumnya, selama produk syariah belum ada, maka “boleh” menggunakan produk BPJS Kesehatan karena hukumnya darurah. Jadi, tidak masalah bagi mereka yang menggunakan produk BPJS sekarang selama belum ada pilihan.

Respon BPJS terkait dengan keputusan ijtima’ MUI?

Pihak BPJS Kesehatan menyambut baik rekomendasi kami.

Apa langkah selanjutnya yang akan dilakukan MUI?

Pada hari Selasa, jam 2 di kantor OJK (Otoritas Jasa Keuangan) akan ada pertemuan antara MUI, BPJS, dan OJK, serta pihak terkait lainnya seperti Kementerian Kesehatan. Saya benar-benar memberikan informasi lengkap pada wawancara ini. Sebenarnya ini rahasia karena merupakan undangan tertutup. Dalam pertemuan nanti, kami bukan membicarakan “halal-haram”, tapi bagaimana BPJS membuat produk baru yang bernama BPJS Syariah.

Apa yang akan dilakukan MUI?

Kami akan terlibat dalam penggodokan produk BPJS Syariah agar mereka tidak salah lagi. Jadi, tak sekadar memberikan masukan, tapi ikut serta pada produk BPJS Kesehatan Syariah.

Pesan Anda pada masyarakat Indonesia?

Jika ada kabar kepadamu, maka ber-tabayyun-lah agar mengetahui kebenaran kabar tersebut. Jika kita tidak ber-tabayyun, maka tidak jelas.

Memang secara syariah, kalo mau ‘telek-telekkan’, kita menggunakan kata “haram”. Karena pilihannya apa lagi? Dalam Fikih ada lima hukum. Namun, MUI tidak mau mengeluarkan keputusan yang meresahkan masyarakat. Kita mengeluarkan keputusan yang bijaksana bahwa kata-kata yang tepat adalah “produk BPJS Kesehatan tidak sesuai syariah”.

Pada dasarnya Ijtima’ ulama telah membuktikan haramnya BPJS, hanya saja MUI memilih redaksi “tidak sesuai syariah”?

Pada kajian ilmiah memang haram, tapi dalam keputusan, tidak ada redaksi yang menyatakan haram; karena lucu, bila kami mengatakan haram, tapi kami tetap membolehkan atau mendukung BPJS. Bisa kontradiksi.

 

Zainab/ Islam Indonesia. Foto: ekonomisyariah.info

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *