Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 12 January 2022

Perpaduan Corak Budaya Minang-Bugis pada Arsitektur Masjid Kuno Jami Bua di Sulawesi Selatan


islamindonesia.id – Masjid Jami Bua adalah salah satu penanda dan jejak peradaban Islam yang monumental di Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan.

Seperti namanya, lokasi masjid ini terletak di Kecamatan Bua, tepatnya di Desa Tana Rigella.

Masjid Jami Bua dibangun pada tahun 1594 Masehi yang merupakan tonggak sejarah peradaban Islam di Sulawesi Selatan.

Arsitektur Masjid Jami Bua tampak kental dengan perpaduan antara budaya Minangkabau, Sumatera Barat dan suku Bugis Sulawesi Selatan. Tak heran, karena masuknya agama Islam di Sulawesi Selatan, khususnya di Kabupaten Luwu, memang dibawa oleh seorang khatib asal Minang, yakni Datok Sulaiman, pada abad ke-15 Masehi.

Menurut budayawan dan sekaligus pemangku adat Maddika Bua, Andi Syaifuddin Kaddiraja, arsitektur Masjid Jami Bua sangat mirip dengan Minangkabau, Sumatera Barat.

Andi menjelaskan, arsitektur masjid ini sangat mirip dengan arsitektur rumah adat di Minangkabau, karena pembawa Islam pertama di Luwu ini asalnya dari Minangkabau, yaitu Datok Sulaiman bersama dua rekannya, yakni Datok Ditiro dan Datok Ribandang.

Di Luwu, Agama Islam pertama kali diterima oleh Datu (Raja) Luwu bernama La Patiware pada abad yang sama dan dilanjutkan oleh putranya bernama Pati Pasaung dengan nama Islam “Sultan Abdullah”.

Masjid Jami Bua termasuk salah satu masjid tertua di Sulawesi Selatan, sekaligus salah satu situs sejarah Islam. Masjid inilah cikal bakal peradaban Muslim di Sulawesi Selatan, bahkan sebagian kawasan timur Indonesia.

Lalu seperti apa struktur bangunan masjid kuno tersebut?

Masjid Jami Bua, memiliki kubah segi empat, berbalut cat warna putih dan hijau dengan menara di sisi kiri masjid.

Struktur bangunan secara keseluruhan terdiri dari tiga susun, mengikuti konsep rumah panggung. Konsep tiga susun ini juga konsisten diterapkan pada bagian lainnya seperti atap dan hiasannya yang terdiri dari tiga susun.

Selain itu, masjid ini memiliki lima kubah atau bahasa setempat disebut Coppo’. Tiga di antaranya adalah kubah utama dan sisanya kubah kecil.

Jumlah lima Coppo’ ini menandakan hubungan manusia dan keesaan Allah.

Sebelum Islam masuk memengaruhi masyarakat di tana Luwu, manusia meyakini adanya 4 kesempurnaan dalam dirinya. Namun setelah Islam mengajarkan kesempurnaan, maka manusia meyakini bahwa empat tak cukup tanpa yang kelima, yaitu keesaan Sang Pencipta melalui roh manusia.

Sejak didirikan tahun 1594 Masehi, masjid ini telah banyak mengalami perubahan. Selain karena usianya yang sudah tua, masjid ini pernah dirusak dan dibakar tentara NICA. Peristiwa itu terjadi pada 23 Januari 1956 dan memicu kemarahan rakyat Luwu.

Kendati demikian, masih ada sisa-sisa keasilan masjid ini, yakni ada sebuah bangunan kecil di belakang masjid berukuran panjang 3 meter, lebar 2 meter dan tinggi 2 meter berbentuk terowongan. Bangunan tersebut hingga saat ini belum diketahui kegunaannya.

Masjid ini setiap saat dikunjungi sebagai tempat beribadah rutin warga sekitar, terutama pada Bulan Ramadhan, seperti untuk shalat tarawih, tadarus, dan kuliah subuh.

EH/Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *