Satu Islam Untuk Semua

Monday, 31 August 2015

KHAS – Tarmizi A Hamid, Pengumpul Naskah Kuno Kerajaan Aceh Darussalam


Aceh dikenal dengan peradaban dan budaya yang tinggi. Terlebih pada puncak kegemilangan di bawah pimpinan Sultan Iskandar Muda yang meninggalkan banyak aset budaya. Salah satunya adalah naskah kuno hasil tulis tangan para ulama abad ke-16 yang menjadi bukti peradaban Aceh pada generasi muda.

Bagi Tarmizi Abdul Hamid, manuskrip tidak hanya menjadi bukti sejarah tapi sebagai identitas dan jati diri Aceh yang bisa dikaji dan diteliti kembali. Alasan itu sudah cukup baginya untuk mengumpulkan ratusan naskah kuno yang tersimpan rapi di rumahnya di kawasan Ie Masen Kayee Adang, Banda Aceh.

“Identitas Aceh ada di manuskrip. Kita membaca sejarah, sosial, adat dan budaya Aceh di manuskrip,” sebut pegawai negeri di Badan Pengembangan Teknologi Pertanian (BPTP) Banda Aceh ini.

Meski latar belakang keilmuannya bukan Filologi, namun Tarmizi merasa bertanggung jawab untuk menyelamatkan naskah kuno agar dapat ditunjukkan pada generasi sekarang.  Bermula dari warisan sang kakek di Pidie tahun 1995 sebanyak 10 naskah, lelaki ini mulai mencari lembaran naskah lainnya yang masih tersebar di masyarakat. Proses pengumpulan naskah itu tidak bisa dibilang mudah, karna banyak manuskrip yang tersebar di seluruh Aceh.

Untuk mendapatkan naskah ini, tarmizi tidak turun sendiri ke masyarakat, dia menempatkan beberapa orang di gampong-gampong untuk mencari informasi keberadaan naskah. Jika sudah didapat, maka dialah yang akan bernegosiasi dengan sang pemilik tentang uang ganti rugi. Uang kompensasi tersebut juga diberikan dengan merongoh koceknya sendiri.

“Kita ingin menyelamatkan teks itu, jadi kita berilah uang ganti rugi pada mereka. Kadang mereka masih simpan tapi tidak terlalu dirawat.  Paling banyak ada di Ulim, Perlak, Sigli, dan Aceh Besar,” sebutnya.

Hingga tahun 2015, ada 482 naskah yang menjadi koleksinya. Disamping 115 naskah yang hilang akibat tsunami tahun 2004 silam. Selama 20 tahun ini, sudah puluhan juta rupiah yang dia keluarkan untuk mendapatkan kitab-kitab kuno tersebut. Tarmizi mengatakan, hobinya mengoleksi artefak sejarah ini awalnya ditentang oleh keluarganya. Karena menghabiskan banyak uang pribadi, kenangnya sambil tersenyum.

Akan tetapi melihat banyaknya peneliti dari luar dan dalam negeri yang berkunjung untuk membaca naskah dirumah mereka, perlahan pihak keluarga mulai menerima keinginan lelaki paruh baya ini. “Akhirnya mereka sadar bahwa ini adalah harta karun yang berharga,” ungkapnya.

Manuskrip kuno yang ada di tangan pria kelahiran 1964 ini sudah berusia lebih dari 400 tahun. Kebanyakan koleksinya adalah kitab ilmu tasawuf karya Syech Nurruddin Ar-Raniry, Syech Abdurrauf As-Singkili dan ulama lainnya. Kitab ternama lainnya adalah Mir’at Ath-Thulllab karya Syech Abdurrauf Al-Fansuri berisi tentang fiqih kontemporer yang ditulis atas permintaan Sultanah Safiatuddin Syah. Kitab ilmu lain yang dimilikinya adalah Ilmu Alam, Perobatan, Ilmu gerak Tubuh, Kitab tentang Perang serta Syair Munajad Wanita Sufi karta Pocut di Beutong. Tarmizi juga mengoleksi 4 mushaf Al-Quran ukuran 32×31 cm hasil tulis tangan dilengkapi dengan ukiran (illuminasi) khas Aceh pada dua lembar bagian awal, tengah dan akhir. Alquran ini ditulis khusus atas permintaan raja Aceh pada abad 17 M.

“Masa Sultan Iskandar Muda, para ulama berlomba-lomba menuliskan naskah yang orientasinya tasawuf. Raja pun mengimpor kertas-kertas dari eropa sebagai media untuk menulis,” sebutnya.

Semua kitab ditulis dengan aksara Arab Jawi naskah ini dapat dibaca dalam tiga bahasa, yakni Bahasa Aceh, bahasa Melayu dan Bahasa Arab. Ketiga bahasa ini menjadi bahasa nasional Kerajaan Aceh Darussalam. Tarmizi mengatakan dalam satu naskah ada yang ditulis dengan ketiga bahasa ini.  Seperti kumpulan karangan tekait budaya, adat istiadat, dan Islam yang ditulis dalam bahasa melayu dicampur bahasa Aceh.

Lembaran naskah ini pun sudah mulai berwarna kecoklatan dan pingirannya tampak hitam karena jamur. Beberapa diantaranya bahkan ada yang sudah berlubang karena disantap rayap dan kutu buku. Meski demikian tulisan dalam kitab tersebut masih jelas dan tidak pudar meski sudah berusia hampir empat abad lebih. Tarmizi mengakui kelihaian orang Aceh pada masa dahulu. Para endatu dulu tahu bagaimana mengorder kertas-kertas dari Eropa yang sesuai dengan kondisi alam Aceh, sehingga naskah-naskah ini bisa bertahan hingga ratusan tahun.

“Tinta yang dipakai oleh ulama saat itu terbuat dari rendaman bijih besi, jadi tidak ada pudar. Namun ada beberapa lembaran yang tintanya terurai karena zat asam tinta yang terlalu tinggi,” paparnya.

Tarmizi mengaku saat ini dirinya belum punya tempat penyimpanan naskah dengan standar profesional seperti museum yang ada di luar negeri. Selama ini dia hanya menyimpan lembaran-lembaran sejarah itu dibalut dengan kain putih dan diletakkan dalam lemari di rumahnya. Perawatan manuskrip itu juga masih dilakukan dengan cara manual. Atas saran peneliti manuskrip asal Jepang, Tarmizi menggunakan cengkeh, kapur barus, lada hitam, lada putih. Bahan-bahan itu, ujarnya dimasukkan dalam lembaran manuskrip agar tidak dimakan ngengat dan rayap. Tiap bulannya tak lupa pula dia membersihkan debu-debu yang melekat pada naskah. Perawatan ini dilakukan untuk menjaga agar naskah tidak rusak.

“Saat ini kita sedang membangun perpustakaan khusus, namun belum selesai,” ungkapnya.

Tahun 2010, sejumlah naskah miliknya telah dibersihkan dan dikembalikan lagi keutuhan kertasnya (restorasi) oleh tim ahli filologi. Restorasi kitab-kitab ini dilakukan atas kerjasama dengan Pemerintah Jepang. Hal ini dilakukan untuk menjaga keutuhan lembaran naskah agar tidak rusak saat dipegang. Selain bentuk fisik, Tarmizi juga menyimpan 30 judul masnuskrip dalam bentuk digital. Pendigitalan manuskrip dilakukan secara suka rela dengan alat-alat dari teman-teman yang perhatian terhadap benda budaya diatas 50 tahun. Alat pendigitalan berupa kamera foto khusus yang bisa merekam text dengan jelas. Beberapa judul manuskrip juga pernah dipamerkan dalam blog pribadinya.

“Biar bisa diakses oleh banyak orang,” alasannya.

Tarmizi memang bukan ahli membaca naskah kuno. Dia juga bukan sejarawan. Namun dirinya ingin menyelamatkan bukti sejarah Aceh yang makin gencar diburu kolektor luar negeri. Koleksi yang ada padanya hanya tidak sampai sepertiga dari jumlah seluruh koleksi kejayaan aceh yang kini beredar di luar negeri. Tarmizi menyebutkan naskah-naskah kuno Aceh paling banyak terdapat di Malaysia dan Brunai Darussalam. Beberapa juga ada di Australia.

(Nurul/Islam Indonesia)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *