Satu Islam Untuk Semua

Tuesday, 11 March 2014

Kampung Kristiani di Kota Santri: Pembangunannya Dibantu Bupati Cianjur


foto:dokumen GKP Palalangon

Dikenal sebagai kota santri, Cianjur menyisakan satu komunitas Kristen yang sudah ada sejak lebih dari seratus tahun lalu. Bagaimana sejarah  keberadaan mereka dan interaksi antara dua komunitas berbeda keyakinan di sana? Hendi Jo dari Islam Indonesia akan melaporkannya dalam  tiga bagian tulisan. Tulisan ini merupakan bagian kedua.

 

JAUH sebelum Kadaleman Cianjur lahir (pada 1677), agama Islam sudah berkembang cukup pesat di kawasan itu. Adalah Kerajaan Jampang Manggung  di bawah Prabu Laksajaya menjadikan Islam sebagai agama resmi di negaranya. Islam semakin berkibar saat Aria Wiratanu I mendirikan Kadaleman Cianjur (saat itu masih bernama Cikundul).

Dari abad ke abad, Islam lantas menjadi “darah daging” sebagian masyarakat Sunda yang tinggal di kadaleman tersebut. Perkembangannya pun berjalan signifikan seiring semakin bertambah banyaknya jumlah pondok pesantren yang perkembangannya bak cendawan di musim hujan. Sejak itu pula Cianjur ditabalkan sebagai kota santri. Sebegitu mencorongnya pamor sebagai kota santri ini hingga banyak kiai pengelola pondok pesantren di Jawa Barat dahulunya pernah nyantri di Cianjur. Tercatat beberapa pesantren seperti Pesantren Gelar dan Pesantren Gentur,  dijadikan acuan para santri dari berbagai tempat untuk memperdalam ilmu keislaman mereka. Lantas bagaimana ceritanya agama Kristen bisa berkembang di kota santri tersebut?

Aki Dadan (71), salah satu sesepuh Cianjur, menyebut saat pemerintahan Dalem Aria Wiratanu II (1691-1707) pernah datang ke Cianjur satu rombongan pedagang dari Portugis. Sebagai bentuk penghargaan dan toleransi, Dalem Wiratanu II lantas mempersilakan para tamunya untuk tinggal di satu wilayah dekat pinggiran Sungai Citarum. “ Sekarang namanya jadi kawasan Gunung Halu, kampungnya orang-orang Nasrani (Kristen) di Cianjur,”ujar Aki Dadan yang mengaku mendapat cerita tersebut dari kakeknya.

Namun berbeda dengan keterangan Aki Dadan, pihak Gereja Kristen Palalangon (GKP) Palalangon sendiri menyebut keberadaan orang-orang Kristen di wilayah Cianjur bermula dari adanya permintaan  pemerintah Hindia Belanda kepada Bupati Cianjur Raden Prawiradireja II (1862-1910) pada 1901. Mereka meminta bupati Cianjur ke-10 itu, menyediakan lahan yang masih kosong untuk komunitas Kristen pribumi yang ada dalam bimbingan NZV (Nederlandsche Zendings Vereeniging), sebuah pekabaran misi Injil dari Belanda.

Sebagai catatan, orang-orang Sunda yang memutuskan untuk memeluk agama Kristen saat itu mengalami situasi yang sangat memprihatinkan. Selain mengalami intimidasi, penganiayaan dan bahkan pembunuhan, mereka pun  tak diakui oleh keluarganya masing-masing. “Saat itu orang-orang Sunda mengidentikan Kristen sebagai agama orang Belanda. Jadi sangat dimengerti jika keberadaan mereka tak diterima oleh keluarga besarnya masing-masing,”ujar Raistiwar Pratama, peneliti dari ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia) yang pernah melakukan riset mengenai komunitas Kristen Sunda itu.

Setelah berhasil mengumpulkan 7 pengikut Kristen pribumi, salah seorang anggota NZV bernama B.M. Alkema kemudian menghadap Bupati Cianjur dan meminta sang bupati memberi petunjuk kira-kira lahan mana di Cianjur yang bisa mereka tempati. Bupati Raden Prawiradireja II lantas memberi wewenang kepada salah seorang wedananya yang bernama Sabri.

Sabri kemudian mengajak B.M. Alkema dengan ketujuh pengikutnya bergerak ke arah timur Cianjur. Mereka menyusuri aliran sungai Cisokan dan kemudian aliran sungai Citarum. Saat mendekati kawasan yang disebut sebagai Leuwi Kuya (Lubuk Kura-Kura), tiba-tiba salah seorang dari rombongan itu terperosok masuk ke sebuah jurang. Untunglah ia masih bisa diselamatkan.

Usai menolong kawannya yang terperosok itu, rombongan tidak berbalik lagi ke tempat asal. Mereka justru menaiki bagian lain dari tebing tersebut dan menemukan sebuah hutan belantara yang tanahnya agak datar. Alkema merasa cocok dengan kawasan itu. Setelah memeriksa beberapa sudut di kawasan itu, ia kemudian menancapkan tongkatnya di salah satu tempat tersebut dan berikrar: “Di tempat inilah saya tetapkan sebagai tempat pemukiman bagi orang-orang Kristen Sunda…”

Begitu selesai pembabatan hutan, dibuatlah beberapa pemukiman sederhana di kawasan itu. Ketujuh orang Kristen Sunda itu kemudian menjemput keluarganya masing-masing untuk tinggal di sana. Guna memenuhi kebutuhan ibadah kebaktian, dibangunlah sebuah “gereja darurat”  yang terbuat dari bahan dasar “eurih” alias ilalang. Kebaktian pertama sendiri terjadi pada 17 Agustus 1902 dan secara resmi para anggota jemaat memberi nama kampung tersebut dengan istilah Sunda ‘palalangon” yang artinya “menara”. (Bersambung)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *