Satu Islam Untuk Semua

Thursday, 21 May 2020

RESENSI – Buya Syafii Mengutuk Zionis Israel


“Zionisme bukan anak kandung kemanusiaan,” kata sejarawan Ahmad ‘Buya’ Syafii Maarif dalam bukunya Gilad Atzmon. Ketika menulis buku ini, Buya mengaku tak lagi tertarik dengan “solusi dua negara” terhadap masalah Palestina.

Solusi ini seperti mendirikan benang basah. Sia-sia saja. Kaum Zionis, kata mantan Ketua Umum Muhammadiyah ini, hanya ingin menghapuskan Palestina dari muka bumi.

Pandangan Buya terhadap “solusi dua negara” bergeser usai menyelami artikel-artikel di The Palestine Chronicle. Media daring ini gencar membela dan memperjuangkan kemerdekaan bangsa Palestina yang teraniaya di bawah rezim Israel.

Dalam The Palestine Chronicle, Buya menemukan dua penulis yang menurutnya bernyali: Uri Avnery dan Gilad Atzmon. Uri yang pernah duduk di parlemen Israel ini menulis buku setebal 264 halaman pada 1971 dengan julul Israel Without Zionism: A Plan for Peace in the Middle East.

Buya telah mengenal lama Uri sementara Gilad adalah pendatang baru. Uri sepakat dengan “solusi dua negara” tapi Gilad menentangnya. Bagi Gilad, membiarkan Israel di sana dengan format “solusi dua negara” justru menyuburkan kekacauan. “Tidak saja di kawasan panas itu tetapi juga memiliki dampak global yang mencemaskan,” kata Gilad.

Karya Gilad semakin memikat pembaca seperti Buya lantaran pria kelahiran 9 Juni 1963 itu merupakan mantan serdadu IDF Israel. Ia lahir di Tel Aviv dan merupakan cucu dari seorang Zionis tulen yang pernah menjabat sebagai komando di Irgun, organisasi militer Zionis di Palestina sejak 1931.

Dengan menggunakan seragam IDF, Gilad juga pernah terlibat perang di Lebanon. Namun akhirnya ia hijrah ke Inggris setelah menyadari tanah yang digunakan Zionis mendirikan negara Israel pada 1948 merupakan hasil curian. Tentu sebelum memutuskan angkat kaki dari negara Yahudi itu, Gilad muda melalui pergulatan batin yang panjang.

Di London, Gilad meniti karir di bidang musik hingga BBC menobatkannya sebagai musisi jazz terbaik. Di samping memainkan saksofonnya, suara perlawanannya terhadap penjajahan Israel bertalu-talu di dunia maya dan forum-forum dunia.

Pada awal Mei 2011, Buya mengirimkan surat elektronik ke Gilad dan mengingatkannya agar menjaga diri. Agen intelijen Israel Mossad setiap detik bisa menjadi bencana bagi Gild.

“Tak ada yang bisa saya perbuat banyak terkait itu… mungkin saya juga akan syahid,” jawab Gilad. Bagi Buya, semua kerja berbahaya itu dilakukan Gilad dengan penuh kesungguhan, rasa tanggung jawab yang mendalam dan tentu nyali yang luar biasa.

Surat menyurat antara Buya dan Gilad berulang kali terjadi. Ketika mendengar Buya menjalin percakapan via email dengan Gilad, Fajar Riza Ul Haq – Direktur Ma’arif Institute kala itu – mengusulkan agar Buya menulis buku tentang musisi cum juru bicara Palestina itu.

Guru Besar Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta ini akhirnya menulis buku Gilad Atzmon setebal 147 halaman. Di samping pemerhati politik luar negeri Abdillah Toha, Gilad menyempatkan diri memberikan kata pengantar untuk buku yang diterbitkan Mizan ini.

Pada bab pertama, Buya menjelaskan alasan memperkenalkan Gilad kepada publik Indonesia. Menurutnya, keberanian Gilad dalam menentang Israel seharusnya menjadi inspirasi bagi siapapun yang dalam hatinya masih memuliakan kemanusiaan. Dalam buku inilah, Buya juga mengaku mendapatkan inspirasi dari Gilad.

“Semula saya juga tertarik dengan usul solusi dua negara bertetangga: Palestina dan Israel. Tetapi, karena kaum Zionis ingin menghapuskan Palestina dari muka bumi, tawaran Gilad semakin masuk akal, sekalipun sulit sekali,” ujar penerima Ramon Magsaysay Award pada tahun 2008 ini.

Dengan “solusi dua negara”, Palestina dibiarkan berdampingan dengan kekuatan Zionis yang meyakini kebenaran tunggal: tidak ada hak bagi rakyat Palestina untuk memiliki sebuah negara merdeka. “Inilah doktrin pokok Zionisme,” ujarnya.

Hasilnya dapat dilihat hingga kini, sampai awal abad ke-21 ini. Setiap saat Israel dapat menganeksasi lahan-lahan di Palestina. Pendudukan ilegal terus bertambah yang berakibat meroketnya jumlah pengungsi Palestina sejak malapetaka Nakbah meletus pada 1948. Pada 2003 saja, koalisi untuk hak pulang orang Palestina Al-Awda mencatat 7,2 juta warga Palestina yang mengungsi di berbagai negara.

Lalu apa sih Zionis itu? Buya memaparkan dengan beragam referensi pada bab-bab berikutnya. Klaim historis yang dinarasikan imigran ilegal Yahudi tentang tanah Palestina juga didedah dalam buku ini. Walhasil, Buya menjelaskan duduk masalah Palestina yang pelik itu dengan bahasa yang lugas dan enak dibaca.

Sesepuh salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia ini menaruh optimis Palestina akan merdeka suatu saat nanti. Harapan itu terbit seiring kekecewaannya terhadap raja-raja di Semenanjung Arab yang justru suaranya menciut di tengah tindakan lalim Israel terhadap bangsa berpenduduk mayoritas muslim itu. Alih-alih melawan penjajahan Israel, belakangan Kerajaan Saudi justru mengarahkan bedilnya ke Yaman, negara termiskin di Jazirah Arab.

“Islam di tangan para diktator Arab hanyalah berfungsi memenjarakan agama ini sehingga gagal untuk turut serta mengawal jalan sejarah peradaban univesal,” kata Buya dalam bab Gilad Atzmon di Tengah Kegusaran Kemanusiaannya.[]


-Judul buku: Gilad Atzmon; Catatan Kritikal tentang Palestina dan Masa Depan Zionisme

-Penulis: Ahmad Syafii Maarif

-Penerbit: Mizan

-Tahun: Cetakan I, Februari 2012

-Tebal: 147 halaman

***

YS/Islamindonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *