Satu Islam Untuk Semua

Thursday, 15 November 2018

Pengamat: Mimbar Nabi di Mekkah sedang Dinodai dan Dikotori


islamindonesia.id – Pengamat: Mimbar Nabi di Makkah sedang Dinodai dan Dikotori

 

 

Arab Saudi Menyalahgunakan Makkah

 

Oleh Khaled M. Abou El Fadl | Profesor Hukum di University of California, Los Angeles, dan penulis buku Reasoning With God: Reclaiming Shari‘ah in the Modern Age.

 

Penguasa Arab Saudi memperoleh banyak legitimasi dan prestise di dunia Muslim karena mereka memiliki kendali dan hak pemeliharaan atas Masjidil Haram dan Kabah di Makkah, dan masjid Nabi Muhammad di Madinah. Raja Salman, seperti para penguasa sebelumnya, memakai gelar “Khadim al-Ḥaramayn al-Sharifayn,” yang artinya “Penjaga Dua Masjid Suci” atau, lebih tepatnya, “Hamba Dua Tempat Suci yang Mulia.”

Meski bergelar rendah hati (Penjaga atau Hamba), pada kenyataannya monarki Saudi telah memiliki sejarah panjang dalam pengeksploitasian mimbar Masjidil Haram Makkah, dengan cara meminta para imam untuk memuji, menyucikan, dan membela para penguasa beserta tindakannya.

Sebagai buntut dari pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi, karena tuduhan dunia menunjuk kepada Pangeran Muhammad bin Salman, monarki Saudi memulai kembali menggunakan Masjidil Haram untuk membela dan mengagung-agungkan putra mahkota dalam sebuah cara yang dapat membuat legitimasi dan penguasaan mereka atas Makkah dan Madinah secara moral menjadi bermasalah, yang mana belum pernah terjadi sebelumnya.

Pada 19 Oktober, Sheikh Abdulrahman al-Sudais, imam Masjidil Haram dan pemilik otoritas tertinggi keagamaan yang ditunjuk secara resmi oleh kerajaan, menyampaikan khotbah Jumat dengan panduan teks tertulis. Khotbah Jumat di Masjid Agung itu disiarkan secara langsung di jaringan TV kabel dan situs media sosial, ditonton dengan penuh hormat oleh jutaan Muslim, dan di pundaknya melekat nilai otoritas moral dan agama yang tinggi.

Imam Sudais menyampaikan khotbah yang bermasalah, menodai kesucian ruang suci yang dia tempati. Dia menyampaikan sebuah riwayat dari Nabi Muhammad yang mengatakan bahwa dalam setiap abad sekali, Allah akan mengirim mujaddid, seorang pembaharu yang hebat, untuk mendirikan atau menghidupkan kembali iman. Dia menjelaskan bahwa seorang mujaddid diperlukan untuk mengatasi tantangan unik dari setiap zaman.

Dia kemudian memuji Pangeran Muhammad bin Salman, menyebutnya sebagai karunia ilahi bagi umat Islam dan menyiratkan bahwa putra mahkota adalah mujaddid yang dikirim oleh Allah untuk menghidupkan kembali iman Islam di zaman kita. “Jalan reformasi dan modernisasi di tanah yang diberkati ini…. melalui kepedulian dan perhatian dari putra mahkota pembaharu yang muda, ambisius, dan diilhami ilahi, terus menyala maju dipandu oleh visinya tentang inovasi dan modernisme yang berwawasan luas, terlepas dari semua tekanan dan ancaman yang gagal,” kata imam itu dari atas mimbar di mana Nabi Muhammad menyampaikan khotbah terakhirnya.

Membahas perdebatan tentang pembunuhan Khashoggi, Imam Sudais memperingatkan umat Islam agar tidak mempercayai desas-desus media dan desau yang tidak diinginkan yang berusaha untuk meragukan pemimpin besar Muslim. Dia menggambarkan bahwa persekongkolan terhadap putra mahkota dimaksudkan untuk menghancurkan Islam dan Muslim, memperingatkan bahwa “semua ancaman terhadap reformasi modernnya bukan hanya dapat mengakibatkan kegagalan, tetapi juga akan mengancam keamanan internasional, perdamaian, dan stabilitas.”

Dia memperingatkan bahwa serangan terhadap “tanah yang diberkati” ini adalah provokasi dan pelanggaran terhadap lebih dari satu miliar Muslim. Imam Sudais menggunakan kata “muhaddath,” yang artinya “unik dan luar biasa berbakat” untuk menggambarkan Pangeran Muhammad. “Muhaddath” adalah gelar yang diberikan oleh Nabi Muhammad kepada Umar bin Khattab, sahabatnya dan khalifah Islam yang kedua. Sang imam secara implisit membandingkan putra mahkota dengan Khalifah Umar.

Imam Sudais berdoa kepada Allah untuk melindungi Pangeran Muhammad dari persekongkolan internasional yang dijalin untuk melawannya oleh musuh-musuh Islam, orang-orang yang menghancurkan dan munafik, dan menyimpulkan bahwa itu adalah kewajiban suci bagi seluruh Muslim untuk mendukung dan mematuhi raja dan putra mahkota yang patuh, pelindung, dan penjaga tempat suci dan Islam.

Para ulama Saudi sebelumnya tidak pernah memanfaatkan mimbar Nabi di Masjidil Haram sebegitu kurang ajarnya untuk melayani monarki.  Tidak ada satupun imam Masjidil Haram yang pernah mengangkat-angkat penguasa Saudi sebagai mujaddid zaman atau berani untuk menyatakannya terang-terangan.

Khotbah di Makkah dan Madinah dibaca dari naskah, yang disetujui sebelumnya oleh pasukan keamanan Saudi. Sementara raja menunjuk seorang imam terkemuka untuk Masjidil Haram dan Masjid Nabawi di Madinah, masing-masing imam memiliki sejumlah wakil yang ditunjuk secara resmi yang bergantian untuk memimpin shalat dan menyampaikan khotbah.

Selama beberapa dekade, khotbah-khotbah yang disampaikan di Makkah dan Madinah biasanya bersifat alim, dogmatik, dan dapat diprediksi. Mereka selalu menutup dengan doa untuk para keluarga kerajaan Saudi, tetapi para imam tidak akan mengaitkan kualitas sakral dengan monarki, dan bersikeras bahwa para penguasa harus dipatuhi hanya karena kepanjangan kepatuhan penguasa terhadap Allah.

Banyak yang telah berubah sejak naiknya Pangeran Muhammad ke tampuk kekuasaan. Putra mahkota telah memenjarakan ratusan imam Saudi terkemuka yang telah menunjukkan sedikit perlawanan – termasuk para ahli hukum yang sangat terkemuka dan berpengaruh seperti Sheikh Saleh al-Talib dan Sheikh Bandar Bin Aziz Bilila, mantan imam Masjidil Haram. Para jaksa Saudi telah menuntut hukuman mati bagi Salman al-Awdah, seorang ulama reformis terkemuka yang ditangkap September lalu. Beberapa laporan mengklaim bahwa ulama lain yang menonjol, Sheikh Suleiman Daweesh, yang ditangkap pada April 2016, telah meninggal di penjara Saudi setelah disiksa.

Imam yang diizinkan untuk memimpin doa dan memberikan khotbah di Masjidil Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah tampaknya adalah hanya mereka yang setuju untuk merestui apa pun yang diinginkan putra mahkota. Beberapa cendekiawan Saudi yang berpengaruh seperti Sheikh Abd al-Aziz Al Rayes mengatakan dalam sebuah ceramah, bahwa bahkan jika penguasa Saudi “bersetebuh di hadapan publik di televisi selama setengah jam setiap hari, Anda masih harus mengumpulkan orang-orang di sekitar penguasa, agar orang-orang tidak mengatakan hal buruk kepadanya.”

Khotbah Imam Sudais baru-baru ini menempatkan umat Islam pada titik balik aksial: Terimalah putra mahkota sebagai pembaharu Islam yang diilhami ilahi, dan percaya, serta menerima kata-kata dan perbuatannya, atau Anda adalah musuh Islam. Ulama Muslim bereaksi terhadap khotbah ini, terutama di media sosial, dengan menghina dan marah. Banyak ulasan komedi dan acara bincang-bincang di YouTube berbahasa Arab yang merespon dengan ejekan dan kecaman.

Ketika seorang imam Masjidil Haram menyerukan kepada Muslim untuk patuh menerima narasi Pangeran Muhammad yang meragukan tentang pembunuhan Khashoggi; untuk menerima penculikan, pemenjaraan dan penyiksaan para penentang, termasuk pemenjaraan beberapa ulama Islam yang dihormati; dan untuk mengabaikan perangnya yang tanpa belas kasihan dan kejam di Yaman, meruntuhkan impian demokratis di dunia Arab, dan dukungannya untuk kediktatoran yang menindas di Mesir, maka pengkategorian imam terhadap putra mahkota sebagai pembaharu yang diilhami ilahi tidak mungkin dapat diterima. Mimbar Nabi yang disucikan di Makkah sedang dinodai dan dikotori.

Penguasaan atas Makkah dan Madinah telah menciptakan ulama dan monarki yang kokoh, dan didukung oleh uang minyak, mereka menyebarkan interpretasi tentang Islam yang literalis dan kaku hingga melampaui batas-batas kerajaan. Sebagian besar Muslim tentunya akan selalu lebih memilih Islam yang toleran dan etis ketimbang jenis yang sedang dipromosikan oleh putra mahkota dan ulama Saudi yang patuh.

Dengan menggunakan Masjidil Haram untuk menutupi tindakan despotisme dan penindasan, Pangeran Muhammad telah membuat legitimasi penguasaan dan penjagaan Saudi atas tempat-tempat suci Makkah dan Madinah menjadi dipertanyakan.

 

 

PH/IslamIndonesia/Sumber: The New York Times/Ilustrasi: Christina Hägerfors

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *