Satu Islam Untuk Semua

Thursday, 17 August 2023

Makna Merdeka yang Sesungguhnya


islamindonesia.id – Perayaan atau peringatan hari ulang tahun kemerdekaan di negeri kita, biasa digelar setiap tahun, tepatnya setiap tanggal 17 Agustus. Hingga saat ini, yang terhitung sudah 78 tahun Indonesia merdeka, patut kita syukuri anugerah kebebasan yang dapat kita nikmati dan rasakan.

Kini, kita telah terbebas dari segala bentuk penjajahan dan penindasan serta berbagai diskriminasi yang menyudutkan. Namun, pernahkah kita melakukan refleksi terhadap sisi lain dari kemerdekaan? Jika secara sistem negara kita merdeka, sejatinya ada hal-hal lain yang juga perlu dipertanyakan. Misalnya, apakah diri kita sendiri sudah merdeka dari hawa nafsu duniawi?

Pertanyaan-pertanyaan demikian sering terlewatkan karena terlalu fokus dengan kenikmatan duniawi itu sendiri. Alhasil, merdeka yang semestinya mencakup berbagai sisi, hanya dipahami pada aspek-aspek tertentu dalam ruang lingkup yang sangat kecil.

Sedangkan Al-Qur’an menyuarakan dalam QS. Aljasiyah ayat 23: “Tahukah kamu (Nabi Muhammad), orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan dibiarkan sesat oleh Allah dengan pengetahuan-Nya. Allah telah mengunci pendengaran dan hatinya serta meletakkan tutup atas penglihatannya, siapakah yang mampu memberinya petunjuk setelah Allah (membiarkannya sesat)? Apakah kamu (wahai manusia) tidak mengambil pelajaran?”

Menurut Tafsir Kementerian Agamamelalui ayat ini Allah menjelaskan keadaan orang-orang kafir di Makkah yang tenggelam dalam perbuatan jahat. Mereka melakukan perbuatan jahat tersebut karena terdorong oleh hawa nafsu mereka sendiri. Dorongan tersebut disebabkan oleh godaan setan yang terkutuk. Hawa nafsu yang mereka miliki seakan seperti Tuhan yang selalu mereka patuhi dan ikuti.

Prof. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah juga menjelaskan bahwa orang-orang yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah orang yang menyembah hawa nafsunya hingga mereka tunduk dan patuh kepadanya. Oleh sebab itu mereka sesat dari jalan kebenaran. Padahal mereka mengetahui jalan kebenaran tersebut, tetapi Allah telah menutupnya. Alhasil, mereka tidak dapat menerima nasihat karena pendengaran mereka telah ditutup. Mereka juga tidak dapat melihat suatu peringatan karena Allah menutup penglihatan mereka.

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa orang-orang yang diperbudak oleh hawa nafsunya tersebut mengira bahwa mereka akan diperlakukan sebagaimana orang beriman dan beramal saleh, yaitu sama antara saat hidup dan setelah kematian mereka. Padahal prasangka demikian adalah tidak tepat. Allah akan membalas setiap perbuatan manusia dengan seadil-adilnya, sehingga tidak akan ada yang dirugikan.

Prof. Wahbah Az-Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir menambahkan bahwa berkenaan dengan ayat tersebut disebutkan satu nama yaitu al-Harits Ibnu Qais. Diceritakan, dia selalu menuruti keinginannya tanpa mempertimbangkan ridha Allah. Oleh sebab itu, Allah pun menyesatkannya sehingga tidak ada lagi yang dapat membimbingnya kepada kebenaran dan hak setelah Allah menyesatkannya.

Sebagai bandingan dari ayat ini, Allah juga berfirman dalam suarh Annaziat ayat 40-41: “Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari (keinginan) hawa nafsunya, maka sungguh surgalah tempat tinggal (nya).

Akhir dari ayat 23 pada surah Aljasiyah berbentuk kalimat pertanyaan yang bertujuan agar menjadi muhasabah atau perenungan atas apa yang dinyatakan Allah dalam ayat tersebut. Ayat tersebut juga merupakan peringatan sekaligus ancaman untuk orang-orang yang terbuai dengan hawa nafsunya sendiri, sebab Allah bisa saja menyesatkan orang-orang yang terlalu mengagungkan hawa nafsu hingga mengalahkan kedudukan Allah bagi diri mereka.

Nabi Adam dan Siti Hawa terusir dari surga “hanya” karena memakan buah Khuldi yang dilarang Allah. Tujuan pelarangan Allah adalah sebuah keharusan untuk mendidik kemauan, memperkuat kepribadian, mendidik diri untuk tidak terbelenggu oleh keinginan, syahwat dan hasrat hawa nafsu. Oleh sebab itu, setiap orang perlu melatih dirinya sendiri agar tidak terbujuk oleh hawa nafsu dan belenggu setan melalui riyadhah (latihan) yang terus menerus dilakukan.

Ala kulli hal, hakikat kemerdekaan sejatinya bukan hanya terbebas dari penjajahan yang dilakukan oleh sesama manusia atau pihak tertentu yang mengancam kesejahteraan atau kebebasan kita. Namun, merdeka yang sesungguhnya kini terletak pada diri sendiri yang harus kuat dalam melawan penjajahan hawa nafsu. Sebab, ketika hawa nafsu telah merenggut kepatuhan seseorang, Allah justru akan terus menyesatkannya hingga tidak akan ada yang dapat membimbingnya kepada jalan kebenaran.

EH/Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *