Satu Islam Untuk Semua

Monday, 06 February 2017

KOLOM – Kebebasan: Laa Ikraaha Fi Diin


Islamindonesia.id – Kebebasan: Laa Ikraaha Fi Diin

 

Oleh: Endang Kurnia*

 

Saya suka mengutip ayat laa ikraaha fi diin. Tidak ada paksaan dalam agama. Maksudnya agama Islam. Atau ayat lain, man yasya’ fal yu’min, waman lam yasya’ fal yakfuru. Siapa yang ingin, berimanlah, dan yang tidak ingin, kafirlah. Bagi saya Islam itu membebaskan. Orang mau beriman, boleh. Tidak juga boleh.

Iman itu seharusnya demikian. Tidak mungkin iman dipaksakan. Iman itu substansinya ada di pikiran setiap orang. Seseorang boleh saja mengerjakan ritual-ritual sebagaimana umumnya orang beriman.

Tapi kita tidak pernah tahu ia benar beriman atau tidak. Kalau kita ingin memaksa, yang bisa kita paksakan hanyalah gerakan-gerakan fisik saja. Batin yang merupakan substansi iman tidak mungkin bisa kita paksakan.

Salah satu faktor yang melatarbelakangi atau mempengaruhi sikap seseorang adalah pemahaman. Sikap orang terhadap sesuatu sangat dipengaruhi oleh pemahaman terhadap sesuatu tersebut.

Jadi, kalau pemahamannya negatif dan kurang komprehensif maka sikap yang muncul cenderung negatif dan distorsif. Maka tidak heran bila banyak sekali orang (khususnya umat muslim) yang menolak dan menyangkal kebebasan karena mereka masih memaknai kebebasan sebatas harfiah, yaitu ”bebas”.

Bebas bersikap, bebas melakukan apa saja, bebas beragama dan berkeyakinan, bebas berpikiran dan berpendapat, bebas bergaul, dan bebas-bebas yang lain. Bebas-bebas ini mereka tolak karena dianggap bertentangan dengan agama yang telah mempunyai nilai-nilai dan aturan final yang harus ditaati dan tidak boleh di-bebas-kan. Dengan asumsi ini mereka menolak kebebasan dan memusuhi para pembela kebebasan.

Fondasi ibadah adalah ikhlas. Artinya, seseorang beribadah hanya karena Allah. Bukan karena ingin dinilai baik oleh orang lain. Juga bukan karena paksaan dari orang lain. Ibadah karena sebab-sebab selain Allah adalah ibadah yang ditolak. Pelakunya masuk dalam golongan musyrik.

Islam itu membebaskan

Kalau urusan beriman atau tidak adalah sesuatu yang sifatnya bebas, tentu saja urusan di bawah itu pun bebas saja sifatnya. Orang mau salat atau tidak, itu bagian dari kebebasan dia. Puasa atau tidak, itupun bebas saja buat dia. Puasa diwajibkan atas orang-orang yang beriman. Yang tidak beriman, tentu tak wajib puasa, bukan?

Tapi banyak orang Islam yang keberatan dengan pendapat itu. Katanya tidak demikian. Kebebasan itu hanya ada untuk orang di luar Islam. Kalau sudah masuk Islam, orang tidak lagi bebas. Jadi, kalau orang tidak salat atau puasa, bolehlah ia dipaksa untuk melakukannya. Bahkan kalau perlu, diperangi. Orang-orang lalu memberikan contoh sejarah, di mana Abu Bakar memerangi orang-orang yang enggan membayar zakat.

Memaksa itu kata orang-orang adalah bagian dari amar makruf nahi munkar. Bahkan ada yang berpendapat bahwa itu harus dilakukan. Mula-mula orang memang akan merasa terpaksa. Tapi lama-lama dia akan terbiasa. Kalau sudah terbiasa, akan tumbuh kesadaran. Nanti dia akan ikhlas.

Itu hanya satu jalur, sebenarnya. Karena ada juga orang yang dipaksa semakin jadi antipati dan memberontak. Lepas dari soal efektif atau tidaknya pemaksaan, banyak orang berpendapat bahwa Islam membolehkan untuk memaksa kepada orang Islam lainnya. Itulah yang disebut organized religion.

Dalam organized religion, hubungan seseorang dengan Tuhan tidak lagi sebuah hubungan pribadi, tapi sebuah hubungan kolektif. Hubungan itu diatur oleh seperangkat aturan yang pelaksanaannya diawasi oleh manusia lain.

Peliknya, hampir semua muslim saat ini sebenarnya tidak pernah masuk Islam secara sukarela. Mereka sudah Islam sejak lahir. Agama dipilihkan oleh orang tua mereka. Sekali mereka menjadi muslim, nyaris tidak ada jalan untuk keluar. Berbagai sanksi sosial akan menjeratnya bila ia meninggalkan Islam. Bahkan ancaman dibunuh pun ada.

Karena itu, kebebasan harusnya dipahami dalam konteks pemberian ruang dan kesempatan kepada tiap individu untuk memenuhi hak-hak pribadinya dan untuk mengaktualisasikan dirinya sebatas itu tidak bertentangan dengan hukum dan aturan.

Hak-hak dasar ini juga diatur dalam konstitusi kita, seperti hak untuk berafiliasi dan menyamapaikan pendapat, hak untuk memeluk suatu agama atau kepercayaan sekaligus menjalankannya, hak untuk mendapatkan penghidupan yang layak, hak untuk untuk mendapatkan kesempatan pendidikan yang sama bagi setiap warga negara dan hak-hak lainnya.

Singkatnya kebebasan adalah memberikan keleluasaan individu untuk memenuhi hak-haknya.
Jadi, makna kata kebebasan itu sama sekali bukan sikap permisif atau segala boleh seperti yang disangkakan para konservatif melainkan kebebasan yang mempunyai rasa tanggung jawab, kebebasan yang tidak melawan aturan dan hukum.

Islam mengajarkan tentang kebebasan dan penghormatan akan pilihan setiap individu. Kita dapat merujuk kepada dua hal; yaitu dari aspek doktrinal dan dari praktik sejarah.

Dalam level doktrinal kita akan menemukan diantaranya diktum lâ ikrâha fî al-dîn(tidak ada paksaan dalam beragama) dan lakum dîinukum wa liyadîn (untukmu agamamu dan untukmu agamaku). Melihat dua penggalan ayat Al-Quran ini dapat kita pahami bahwa Allah memberikan kebebasan yang sangat luas pada seluruh umatnya bahkan untuk tidak beragama sekalipun.

Allah membebaskan manusia untuk memilih jalannya sendiri: jalan yang lurus atau yang sesat, keselamatan ataupun kecelakaan. Seperti yang dikatakan Al-Quran, andai saja seluruh umat manusia tidak taat dan menyembah Nya, maka Allah sedikitpun tidak akan rugi.

Ayat lainnya adalah faman syâ’a falyu’min, wa man syâ’a falyakfur (barangsiapa yang menghendaki bolehlah dia beriman dan barangsiapa yang menghendaki bolehlah dia kafir). Serta banyak lagi ayat-ayat lainnya yang menjamin akan kebebasan, khususnya kebebasan beragama dan berpendapat, yang tidak mungkin saya uraikan satu per satu.
Hal ini tidak berarti Islam mengajarkan relativisme-nihilistik. Tetap ada nilai ideal.

Dengan kebebasan bukan berarti kita membenarkan hal-hal yang secara ideal salah.Juga bukan membenarkan pandangan atau tindakan orang lain berdasarkan keyakinan kita. Kita hanya memberikan ruang dan kesempatan yang sama bagi orang lain untuk melakukan apa yang ia yakini.

Secara ideal-teologis saya percaya bahwa hukum ibadah Shalat itu wajib dan berdosa bagi umat muslimin yang meninggalkannya. Tapi keyakinan ini tidak lantas membuat saya membenci dan memaksa orang lain untuk melaksanakan Shalat juga, karena itu adalah hak pribadinya yang harus saya hormati dan terjamin kebebasannya.

Baron dan Byne, mengatakan ”Kebebasan dan keragaman boleh jadi meresahkan sewaktu-waktu, tetapi itulah harga yang harus kita bayar untuk menghindari kebekuan”[]

*Penulis buku Catatan Rindu pada Sang Rasul dan novel Curahan Hati Iblis. HP 085659700671

 

YS/ Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *