Satu Islam Untuk Semua

Tuesday, 28 December 2021

Islam Jawa Sama Otentiknya dengan Islam di Timur Tengah Sana. Oh Ya?


islamindonesia.id – Selama ini, pembahasan tentang Islam Jawa cenderung dimaknai oleh sebagian orang, bahkan di kalangan internal kaum Muslim sendiri sebagai Islam yang tidak otentik sebagaimana halnya Islam Timur Tengah sana. Namun benarkah demikian?

Islam Jawa sebagai sebuah komunitas telah diteliti para sarjana Barat. Jejaknya bisa dilacak pada karya Sir Thomas Stamford Raffles (Letnan Gubernur Jenderal Inggris pada 1811-1816) berjudul The History of Java. Selain itu, orientalis dan teolog berkebangsaan Inggris dan Belanda yang mengkaji tentang Islam Jawa antara lain Andrian Reland, JFC Gerick, Snouck Hurgronje, Rassers dan Pigeaud. Kemudian setelah kemerdekaan muncul nama-nama Clifford Geertz, Ben Anderson, Paul Stange, Mark Woodward dan lain-lain.

Mengapa Islam Jawa memiliki daya tarik dan strategis bagi kajian para orientalis? Di samping untuk kepentingan kolonial, mereka menyadari populasi Islam Jawa lebih besar dari populasi sejumlah negara Arab. Juga karena corak Islam Jawa “berbeda” dari arus utama Islam di Timur Tengah. Clifford Geertz dalam Religion of Java menyimpulkan Islam Jawa adalah lapisan tipis dan bersifat sinkretis. Sinkretis karena bercampur dengan tradisi-tradisi dan adat istiadat Jawa (Hindu-Buddha-animisme).

Perdebatan tentang Islam Jawa sesungguhnya masih berlangsung hingga hari ini. Perdebatan itu, apakah Islam Jawa dapat dikategorikan sebagai Islam otentik atau hanya lapisan tipis yang penuh bid’ah?

Saya tidak akan mengulas titik pertengkaran dari diskursus tentang Islam Jawa, tapi hendak menegaskan, kritik pedas Geertz telah banyak dibantah oleh para ahli dan yang terkenal adalah ungkapan Marshal G Hodgson yang menyatakan kajian Geertz bermetodologi lemah karena memandang Islam Jawa dari sudut pandang kaum modernis. Geertz, menurut Hodgson, lupa atas kenyataan Jawa dari ujung ke ujung telah menampilkan tradisi Islam dengan sangat sempurna.

Harus diakui dewasa ini Islam tidak lagi hanya dilihat dari pusat (pusat lahirnya Islam di Timur Tengah), tetapi juga dilihat dari pinggir. Islam bukan hanya milik pusat, tetapi juga milik bangsa-bangsa yang letaknya jauh dari Timur Tengah. Islam di pinggir (seperti Islam Indonesia, Pakistan, Thailand, Australia dan lain-lain) tidak lebih rendah dan bahkan bisa melebihi Islam di Timur Tengah. Meletakkan Islam Jawa dalam perspektif Geertzian sangatlah ketinggalan zaman.

Jadi, Islam Jawa sama otentiknya dengan Islam di Timur Tengah. Universalitas Islam pada dasarnya tidak akan efektif jika tidak dikaitkan dengan lokalitas. Dalam konteks tulisan ini berarti dengan kejawaan. Keislaman dan kejawaan sederajat jika dilihat dari perspektif titik temu nilai-nilai universal. Dengan cara pandang demikian, kita tidak mudah jatuh pada radikalisme teologis, tetapi justru mendorong pada sikap toleran dan plural. Nilai-nilai semacam ini mengartikulasikan prisma rahmatan lil-alamin yang menjadi ciri dasar sebuah fungsi agama yang bersifat integratif.

Namun, studi Islam Jawa di lembaga-lembaga pendidikan Islam kurang memperoleh perhatian. Islam Jawa seringkali dianggap sebagai bid’ah yang harus dijauhi. Alih-alih memasukkannya ke dalam kurikulum, Islam Jawa justru dianggap sekadar wacana outsider (islamolog atau orientalis) dan tidak perlu dikembangkan. Padahal kita mestinya sadar bahwa Islam Jawa memiliki potensi untuk menumbuhkan peradaban Islam yang penuh rahmat tanpa sekat watak puritanisme kaku.

Untuk itulah maka tugas para cendekiawan dalam menyampaikan Islam Jawa adalah bagian tak terpisahkan dari Islam dan perlu mengembangkan penelitian tentangnya guna mewujudkan harmoni.

Islam Jawa adalah kenyataan hidup dan telah menganyam sendi-sendi peradaban Jawa. Kita tidak seharusnya memahami Islam Jawa hanya dari perspektif outsider, yakni melalui karya-karya para orientalis. Kita harus memahami Islam melalui perspektif insider, yakni melalui karya-karya dan perilaku-perilaku faktual umat Islam itu sendiri.

Dengan demikian, tidak perlu dikedepankan secara tajam antara Islam Jawa dan Islam sejati—sebagaimana secara bias dideskripsikan sebagian outsider. Apalagi bila kita yakin bahwa Tuhan pada dasarnya tidak menakdirkan bangsa tertentu lebih baik dari bangsa yang lain. Kebaikan dan kejahatan berbagi sama dalam sejarah peradaban bangsa-bangsa selama berabad-abad.

Tuhan pada akhirnya akan menilai peradaban suatu bangsa dari prestasi-prestasi yang dicapainya dan berguna bagi kemaslahatan umat manusia. Dengan pandangan inklusif dan terbuka semacam ini, Islam Jawa selayaknya justru naik daun karena ajaran-ajarannya menampilkan moderasi, harmoni, menekankan rasa dan potensi-potensi positif-konstruktif lainnya bagi pembangunan bangsa.

Kembali pada Islam Jawa, para cendekiawan Muslim diharapkan mulai sadar pada tugas strategis yang bisa diembannya. Setidaknya untuk merumuskan konsep komprehensif tentang relasi Islam dan Jawa dari perspektif harmoni dan moderasi. Cara ini dapat dirintis, setidaknya agar semangat untuk mendalami Islam Jawa menghasilkan perspektif yang multikultural, rahmatan lil-alamin dan fungsional bagi pembangunan kerukunan antar serta intra umat beragama.

EH/Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *