Satu Islam Untuk Semua

Monday, 18 April 2016

OPINI–Cak Nun: Pilih Dianiaya Ketimbang Menganiaya


Di Tanah Air awal Maret silam, saat orang lain ramai dan sibuk berfokus pada persiapan membeli kacamata khusus agar matanya terjamin aman saat melihat Gerhana Matahari Total (GMT), Cak Nun justru mengingatkan kita lebih bersiap, agar ke depan makin mendekat kepada Allah dengan memperpanjang rukuk dan sujud kepada-Nya.

Alih-alih mengikuti topik perbincangan mainstream yang berkembang kala itu, suami Novia Kolopaking itu justru menyoroti GMT dari sudut pandang lain.

“Gerhana matahari terjadi ketika matahari ditutupi bulan. Sementara gerhana bulan terjadi ketika bulan ditutupi bumi. Hal ini unik karena fokus penyebutan ternyata pada yang ditutupi, bukan pada yang menutupi. Orang-orang tetap menyebut “Gerhana Matahari” meskipun yang menutupi adalah bulan,” ujar Cak Nun memulai perbincangan di tengah majelis waktu itu.

“Begitulah yang disebut oleh sejarah dan ilmu pengetahuan adalah yang ditutupi, bukan yang menutupi. Jadi matahari adalah objek sedangkan rembulan adalah subjek,” lanjutnya.

Seolah menangkap kebingungan dari audiens di hadapannya, Punggawa Kiai Kanjeng itu pun menafsirkan apa saja yang baru disampaikannya.

“Tahukah Sedulur (Saudara-red) semua, bahwa yang dicintai oleh Allah adalah yang ditutupi? Sadarkah kita bahwa yang dikenang oleh sejarah secara abadi adalah mereka yang ditindas dan dianiaya. Sementara yang menutupi, yang menganiaya dan menindas, akan mengalami kehancuran dan dilupakan?” tanya ayah Sabrang Mowo Damar Panuluh itu. Pertanyaan yang tak lain berupa penekanan, bahwa sang penindas akan hancur dan dikalahkan. Sebaliknya mereka yang tertindas–yang makbul doanya di hadapan Tuhan, pada akhirnya akan senantiasa menang dan terus dikenang.

“Sayidina Ali bin Abi Thalib berkata, kun madhlûman wa lâ takun dhâliman. Kalau harus memilih, jadilah orang yang dianiaya jangan jadi orang yang menganiaya. Jadilah orang yang ditutupi jangan jadi orang yang menutupi,” terang Cak Nun mengutip kalimat menantu Nabi saw.

Keberpihakan Kiai Mbeling ini kepada kaum lemah–baik dalam artian tertindas ragawi maupun maknawi, seperti yang selama ini ditunjukkannya, seolah sudah merupakan jalan sunyi hidupnya.

Seperti yang pernah diungkapnya setahun silam, dalam bait-bait indah berikut ini, saat usianya genap 62 tahun:

 

Yang menderita hidupnya,

kurangkul pundaknya dan kupijit tangannya

agar ia percaya bahwa aku sewilayah dengannya.

Yang menderita akalnya,

kuajak berlari kemudian terbang melingkari cakrawala

dan setiap ufuk jagat raya.

Yang menderita ruhnya,

kugandeng tangannya menuju danau cahaya,

kuseret ia untuk terjun bersamaku ke dalamnya,

menyelami kesunyian, membasuh muka

dan memohon pengobatan luka-luka..

Bersama Cak Nun, alangkah baiknya bila kita mampu tak memilih menjadi penindas atau penganiaya. Bukan hanya penganiaya sesama, melainkan terutama penganiaya diri sendiri juga.

 

EH/Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *