Satu Islam Untuk Semua

Monday, 17 September 2018

Cak Nun, Maiyah dan Indoautonesia


islamindonesia.id – Cak Nun, Maiyah dan Indoautonesia

 

Dalam sebuah penerbangan, atau bisa juga pelayaran, penumpang tidak bisa mengetahui secara tepat dan pasti kapan pesawat atau kapal yang ditumpangi sedang dalam mode autopilot. Penumpang tidak sadar kalau pesawat atau kapal yang ditumpangi tidak sedang dalam kendali sang kapten. Kemudi otomatis memanfaatkan berbagai sensor dan sistem mekanik untuk kondisi perjalanan yang sudah diprogram.

Penumpang memang tidak bisa dan tidak boleh masuk sembarangan ke kokpit dan sistem kemudi. Dan kondisi ini adalah hal yang wajar saja. Pilot dan nahkoda tidak wajib memberitahukan kalau mereka sedang menggunakan pilot otomatis.

Tentu saja mode autopilot ini hanya dapat dilakukan dalam situasi yang memenuhi syarat, lokasi dan cuaca. Autopilot tidak mungkin saat lepas landas, atau dalam kondisi cuaca buruk, misalnya. Peran kapten di sini tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Kapten, harus punya kemampuan management piloting untuk mengetahui kapan autopilot dapat diaktifkan. Apa yang harus dilakukan jika kabin tidak aman, suasana tidak kondusif. Cuaca tidak dalam kondisi baik untuk penerbangan, karena tidak ada cuaca buruk, yang buruk adalah penilaian manusia terhadap cuaca.

Pilot sebatas mengemudikan pesawat berdasarkan keahlian yang terbentuk selama latihan dan pengalaman menerbangkan pesawat. Terhadap kondisi cuaca dan mesin pesawat selama perjalanan seorang pilot tidak berkuasa penuh. Bisa saja tiba-tiba ada perubahan cuaca ekstrem yang tidak diprediksi dan terdeteksi oleh sensor, atau ada benda asing yang masuk ke dalam mesin. Pada kondisi ini peran kapten sangat dibutuhkan.

Sebuah negara bisa mendapat predikat sebagai negara autopilot. Ini bukan berarti negara tanpa presiden, menteri, dan aparatur negara, lantas tetap dapat berjalan baik-baik saja. Yang terjadi, operasional negara sekadar menjalankan rute-rute rutinitas saja. Kebijakan pemerintah diprogram dan bergerak sekadar merespons situasional kondisi masyarakat dan perekonomian dunia.

Pembangunan mengandalkan hutang luar negeri, bukan sebagai wujud pertumbuhan ekonomi yang benar-benar tumbuh dan mengakar dari rakyat. Negara sekadar sebagai alat transportasi untuk meraih tujuan-tujuan jangka pendek. Okelah kalau memang pesawat itu yang dikehendaki para pemangku pelaksana negara dan masyarakat saat ini.

Persoalannya adalah pesawat yang bernama Indoautonesia ini sudah lama mengalami dis-manajemen sistem yang bertambah tahun semakin parah. Belum lagi kondisi mesin pesawat yang sudah tidak memenuhi standar. Selain itu, suasana yang tidak kondusif juga terjadi dalam bilik cockpit pesawat. Antara pilot dengan co-pilot juga dengan awak kabin memiliki kepentingan masing-masing. Sementara para penumpang juga saling sikut-sikutan satu dengan yang lainnya. Turbulensi akibat cuaca buruk pun tidak membuat seluruh penumpang sadar bahwa keadaan sangat membahayakan nyawa mereka.

Kita bersama-sama menyaksikan bagaimana gesekan demi gesekan tidak hanya berlangsung di tataran elit politik saja, namun juga pada tataran akar rumput masyarakat selalu dibawa-bawa. Hampir setiap hari ada saja opini yang digiring untuk membenturkan sesama rakyat. Mulai dari isu SARA, ekonomi, hukum, yang kesemuanya mengerucut pada perbedaan pandangan politik. Hanya karena perbedaan pandangan politik saja bangsa ini sedang mempertontonkan perpecahan yang sangat nyata.

Kapten pesawat hanya sekadar peran saja saat situasi sangat tidak kondusif, radar menunjukkan warna-warna merah disana-sini menandai cuaca ekstrem sedang terjadi, mesin pesawat semakin rusak parah dan bahan bakar semakin tipis. Para penumpang sibuk bertengkar, antara yang memuja dan menghujat kapten pesawat. Gumpalan-gumpalan awan di radar tidak terhindarkan, mau tidak mau ditabrak saja. Penumpang saling bertengkar, malah ikut ngomporin.

Tahun 2018 menjadi satu tahun dari seperlima terakhir rute penerbangan pesawat Indoautonesia. Bukan hal yang baru ketika mulai musim pemilu para awak pesawat yaitu para pejabat dan politikus sudah mulai mendua, ya bekerja ya kampanye. Bekerja sembari berkampanye agar terpilih kembali pada pemilhan umum yang akan datang. Berjuang semaksimal mungkin, dengan segala cara agar meraup suara sebanyak-banyaknya.

Lazimnya, pemerintahan bertugas selama 5 tahun penuh untuk memenuhi sumpah jabatan yang mereka ucapkan pada awal periode. Namun dengan sistem demokrasi yang ada, pada satu tahun menjelang Pemilihan Umum seluruh elit politik yang mayoritas juga menduduki posisi penting dalam pemerintahan membagi fokus mereka untuk tidak saja mengurus negara. Secara bersamaan, bahkan mencampur adukkan kegiatannya dengan kepentingan mempersiapkan kekuatan demi kemenangan pada Pemilu tahun depan.

Namun demikian, mungkin juga kondisi ini menyesuaikan dengan era Revolusi Industri 4.0, di mana segala sesuatunya serba otomatis. Mungkin juga sistem otomasi dalam pengelolaan negara sudah seharusnya diaplikasikan. Sementara itu, rakyat Indonesia sendiri memang memiliki DNA kemandirian yang kuat dengan mental dan sikap hidup yang sangat tangguh, adanya pemilihan pemimpin pada setiap pesta demokrasi pun sebenarnya tidak memberi dampak yang signifikan bagi kehidupan rakyat. Toh, siapa pun pemimpinnya pada kenyataannya tidak memimpin dan menunaikan tugas dengan baik sesuai dengan apa yang diamanahkan. Kesenjangan sosial tetap terjadi, kesejahteraan hidup pun hanya dinikmati oleh segelintir orang saja.

Tentu Indonesia bukan sekadar Indoautonesia walaupun banyak kemiripan, atau memang itu adanya. Kenduri Cinta pada Jumat 14 September 2018 mengambil judul IndoAutoNesia, ini bukan untuk menegasikan peran kapten, bukan untuk mengkerdilkan awak pesawat. Namun mencoba mengingatkan cuaca-cuaca di sekitarnya. Kenduri Cinta bersama-sama Sinau Bareng membersamai sahabat semua. Maiyah memposisikan dirinya sebagai sahabat bagi Indonesia, sahabat yang begitu mencintai negara yang bernama Indonesia.

Sahabat tidak selalu seiring sejalan, namun selalu menemani. Sahabat yang tidak ingin sahabatnya jatuh, tenggelam dan terpecah-belah. Maiyah sama sekali tidak memiliki kewajiban apa-apa terhadap Indonesia. Maiyah memposisikan Indonesia sebagai bagian dari dirinya. Sehingga, Maiyah sama sekali tidak menagih apapun kepada Indonesia, justru sebaliknya sedapat mungkin Maiyah melakukan sesuatu untuk Indonesia. Andaikan apa yang dilakukan oleh Maiyah pun tidak dianggap oleh Indonesia, setidaknya Maiyah tidak menambah masalah bagi Indonesia.

 

EH / Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *