Satu Islam Untuk Semua

Thursday, 07 July 2022

4 Prinsip Standar Tata Kelola Lembaga Filantropi Islam


islamindonesia.id –  Belajar dari kasus yang saat ini tengah disorot publik berkenaan dengan lembaga filantropi bernama Aksi Cepat Tanggap (ACT), di antaranya dengan menyimak dokumen investigasi 43 halaman yang diterbitkan oleh Majalah Tempo hingga memicu viralnya kasus tersebut, ada baiknya kita simak usulan dari Peneliti Senior Indef, Rachmat Mulyana.

Rachmat Mulyana menekankan tentang pentingnya tabayyun kepada pihak-pihak terkait. Namun sambil menunggu langkah tabayyun tersebut, dia mengusulkan beberapa poin penting sebagai pembelajaran untuk perbaikan ke depan terkait tata kelola lembaga penghimpun dan penyalur dana umat, yang disebutnya sebagai Draft Standar Tata Kelola Lembaga Filantropi Islam. Sebagai draft, tentu diharapkan untuk selanjutnya dapat terus disempurnakan dan dikembangkan.

Sebagaimana diketahui, sudah ada Zakat Core Principles dan Waqf Core Principles. Namun masalahnya ACT ini bukan lembaga amil zakat melainkan distributor sedekah. Itulah sebabnya mengapa yang mungkin diperlukan adalah prinsip tata kelola saja, diambil dari prinsip-prinsip syariah atau dengan kata lain: asal usulnya diambil dari prinsip syariat.

Standar tata kelola Lembaga Filantropi Islam, paling tidak berisi 4 (empat) prinsip yaitu:

1. Transparansi (Keterbukaan)

Jika kita membaca Surah Al Baqarah ayat 282, yang merupakan ayat terpanjang di dalam Alquran, maka jelas bahwa kita diwajibkan menerapkan transparansi pada setiap saat melakukan transaksi. 

“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Janganlah penulis menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya, maka hendaklah dia menuliskan. Dan hendaklah orang yang berutang itu mendiktekan, dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya, dan janganlah dia mengurangi sedikit pun daripadanya. Jika yang berutang itu orang yang kurang akalnya atau lemah (keadaannya), atau tidak mampu mendiktekan sendiri, maka hendaklah walinya mendiktekannya dengan benar. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki di antara kamu. Jika tidak ada (saksi) dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan di antara orang-orang yang kamu sukai dari para saksi (yang ada), agar jika yang seorang lupa, maka yang seorang lagi mengingatkannya. Dan janganlah saksi-saksi itu menolak apabila dipanggil.

Dan janganlah kamu bosan menuliskannya, untuk batas waktunya baik (utang itu) kecil maupun besar. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah, lebih dapat menguatkan kesaksian, dan lebih mendekatkan kamu kepada ketidakraguan, kecuali jika hal itu merupakan perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu jika kamu tidak menuliskannya. Dan ambillah saksi apabila kamu berjual beli, dan janganlah penulis dipersulit dan begitu juga saksi. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sungguh, hal itu suatu kefasikan pada kamu. Dan bertakwalah kepada Allah, Allah memberikan pengajaran kepadamu, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Prinsip “Faktubuhu” ini tentu saja aplikasinya akan disesuaikan dengan perkembangan sains dan teknologi. Misalnya untuk masa mendatang teknologi blockchain yang lebih menjamin transparansi akan sangat dibutuhkan. Di samping itu tentunya soal reporting dan segala keterbukaan informasi yang sekarang ini diterapkan di perusahaan publik seharusnya juga bisa diadopsi secara bertahap di lembaga filantropi Islam.

2. Oversight (Pemantauan)

Konstruksi kehidupan kita sejatinya oleh syariat sudah dibangun (built-in) akan adanya pengawasan. Setiap manusia dijaga dan dicatat segala amalnya oleh makhluk gaib yang disebut malaikat.

Kita disunahkan berpasangan agar keputusan penting dalam perjalanan hidup senantiasa diputuskan bersama. Ketika meminang seorang gadis, maka keputusan terbaik datangnya dari dua pihak, yakni sang calon pengantin serta walinya, dinikahkan dengan akad yang di dalamnya hadir para saksi serta pejabat pemerintahan (ulil amri). Di sini prinsip-prinsip pemantauan diletakkan.

Ketika mendakwa seseorang kita diwajibkan menghadirkan saksi dan bukti dan dilakukan melalui proses pengadilan, tidak boleh kita menjatuhkan hukuman hanya atas prasangka sendiri. Itu artinya, pemantauan dalam kehidupan dan keputusan-keputusan itu penting.

Dalam kasus ACT misalnya, mereka memutuskan besaran gaji di antara mereka sendiri. Mereka mengambil keputusan tanpa kendali Pengawas, Komite Etik, atau apa pun stuktur yang ada di antara mereka. Dalam Bahasa umum, penerapan good governance harus lebih diperhatikan. Prinsip Dewan yang mengambil putusan melalui collective collegial juga diperlukan untuk memenuhi prinsip saling mengontrol ini.

3. Standar Etik (Kepantasan)

Mungkin kita sudah sering mendengar kisah tentang betapa tingginya standar etika para sahabat Nabi, khususnya mereka yang diberi amanah untuk mengelola urusan umat. Dalam banyak riwayat disebutkan bahwa mereka dikenal sangat berhati-hati dalam menjalankan amanah, khususnya soal kejelian dalam memilah antara mana yang termasuk urusan pribadi atau keluarga dan urusan umat. Itulah yang seharusnya kita jadikan sebagai teladan standar etika sangat berharga selaku Muslim. Sebaliknya, temuan berbagai kasus di ACT yang diungkap Majalah Tempo, sejatinya menunjukkan banyaknya etika yang dilanggar.

Padahal penerapan standar etika sebenarnya bisa dilakukan dengan berbagai pendekatan,  misalnya dengan mendirikan Komite Etik, membuat Pedoman Kode Etik dan Tata Perilaku, dan lain sebagainya yang biasa dipakai dalam prinsip GCG. Tinggal diadopsi saja.

4. Indikator Kinerja (Key Performance Indicator/KPI)

Salah satu prinsip kinerja dalam Islam yang mencerminkan keadilan Allah adalah kita akan dimintai pertanggungjawaban serta ditimbang antara amal saleh dan kesalahan yang kita perbuat. Jadi, prinsip penilaian kinerja dan indikator kinerja sesungguhnya juga termasuk Sunnatullah.

Kasus alokasi gaji di ACT yang dinilai tidak wajar, juga alokasi penyaluran dana umat yang dianggap tidak proporsional adalah sebagian dari masalah yang timbul akibat tidak ditetapkannya indikator kinerja yang disepakati antara para pihak (stakeholders).

Untuk itu, ke depannya, lembaga Filantropi Islam harus menetapkan KPI jumlah alokasi biaya sendiri, jumlah alokasi penyaluran sedekah, proporsi biaya operasi, persentasi gaji, dll sesuai dengan aturan syariah dan undang-undang.

Setidaknya itulah empat prinsip standar tata kelola dana umat yang harus ditegakkan di Lembaga Filantropi Islamdi masa depan.

EH/Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *